Connect with us

Feature

Pertemuan Bersejarah di Gedung Societet

Published

on

Foto bersama halal bihalal Teater Alam Yogyakarta. Setelah tiga puluh tahun tak bersua. Foto: Ronny AN

BANYAK peristiwa akbar melahirkan orang besar. Demikian pula, banyak gedung bersejarah mencatat peristiwa bersejarah. Hari Minggu 24 Juni 2018, gedung Societet Yogyakarta mencatat sebuah peristiwa langka pada sebuah kelompok teater. Tak kurang dari 60 orang yang pernah nyantrik di Teater Alam, berkumpul setelah lebih dari 30 tahun tidak bersua.

Angka 30 tahun barangkali terlalu dramatis. Sebab, beberapa di antaranya, terutama yang ada di Kota Gudeg, masih acap bersua barang sekali-dua. Bahkan, dalam jumlah yang lebih kecil lagi, tetap intens bertemu dan masih produktif berkarya. Selebihnya, lebih dari 80 persen memang benar-benar tak pernah bersua setelah lebih dari tiga dasawarsa. Ada yang dua dasawarsa, ada yang satu dasawarsa, ada yang hitungan bulan, dan minggu.

Alhasil, pertemuan yang dikemas dalam bungkus halal bihalal itu patutlah dicatat sebagai satu peristiwa bersejarah di dunia teater Indonesia. Jika Anda keberatan dengan kata “Indonesia”, baiklah kita ganti dengan “bersejarah untuk komunitas teater Yogyakarta”. Kalau ada yang ngeyel dan menolak skala itu, baiklah kita sebut saja sebagai peristiwa bersejarah untuk keluarga besar Teater Alam Yogyakarta. Jika ini pun masih ada yang protes…, “bacok wae…”, mengutip guyonan Agus Leylor, salah satu anggota Teater Alam yang masih aktif berteater sekaligus dosen ISI Yogyakarta.

Udik Supriyanta dan Sugeng Iwak Bandeng, menmandu jalannya acara dengan ruuarr biassaaa…. Foto: Nana Azmita Azwar

Dua anggota Teater Alam yang menjadi MC, Udik Supriyanta dan Sugeng Iwak Bandeng memandu jalannya pertemuan dengan 99 persen bagus. “Mestinya 100 persen, tapi karena mereka lupa satu tugas, jadi yaaa… 99 persenlah…,” ujar “provokator” pertemuan, Anastasia Sri Hestutiningsih seraya menambahkan, “janjine arep ngenalke yang hadir satu per satu. Karena ini kan pertemuan lintas angkatan dari angkatan 70-an sampai 90-an, tapi Udik dan Sugeng lupa. Jangan-jangan nek pentas teater mereka suka lali dialog… he… he… he….”

Tapi Anas tetap memuji kerja Udik dan Sugeng IB sebagai ruarrr biasa….. Laksana melodi tembang kenangan, satu per satu butir acara dirangkai menjadi melodi mengesankan. Ada doa yang dibawakan R. Bambang Nursinggih lewat mocopat. Lalu Anas berbicara mewakili anggota Teater Alam yang hadir maupun yang tidak hadir, lewat teks narasi yang puitis. Begini bunyinya:

AKU TEATER ALAM

Malam tadi ragaku tak hendak tidur

Mataku menerawang

Jauh ke masa belakang

Aku datang kepadamu dengan langkah tidak percaya diri

 

Belum selangkah kakiku masuk ke gerbangmu

Kudengar teriakan keras

Ulang!! Gitu aja gak bisa!!!

Salah lagi kulempar sendal kau!!!

Langkahku terhenti sejenak

Rasa tidak percaya diriku semakin kuat

Aku bukan siapa meskipun ingin menjadi siapa

Aku gamang

Mungkin bukan hanya sendal yang terlempar untukku kelak

Tapi seisi rumah akan menimpaku

 

Seorang perempuan cantik berkulit putih

Menurutku gizinya cukup terpenuhi saat itu

Karena terlihat tubuhnya padat berisi

Senyum ramahnya merekah

Menyambut  dan membawaku  melangkah masuk

 

Keraguanku menjadi cair

Aku mulai masuk dalam kehidupan kebersamaan bersamamu

Sejalan dengan waktu aku memahami

Suara keras adalah bagian dari pembelajaran

Aku yang bukan siapa mulai berani mengatakan aku siapa

 

Hari ini aku harus mengingat kembali

Kehidupan bersamamu dalam suka dan suka sekali

Kedukaan hanya karena kami harus berjuang keras

Menempa diri untuk menjadi sekarang

 

Terimakasih teater alam

Terimakasih bang Azwar, mas Ratmo, dan para pejuang Teater Alam

Terimakasih mbak Titik Azwar (alm).

Keramahanmu, ketulusanmu melayani kami

Pengabdianmu untuk keluarga dan kesenian

Semoga membawamu ke alam keabadian surgawi yang bahagia dan mulia

 

Hari ini

Kami datang karena kami punya kerinduan

Pada keluarga yang kami cintai

Keluarga besar Teater Alam

Pasti banyak kesalahan yang selama ini masih terpendam

Di mana maaf belum sempat terucap

 

Pada bulan yang suci ini

Dari lubuk hati yang tulus

Perkenankan kami memohon maaf lahir dan batin

atas segala kesalahan kami

Kepada sesepuh dan para pejuang Teater Alam

Bukakan pintu maaf kepada kami

Nyuwun pangestu

agar api semangat Teater Alam

tetap menyala di hati sanubari kami

 

Terima kasih

Salam kekeluargaan dan kebersamaan yang abadi

Keluarga besar Teater Alam

anas, 24 juni 2018

Anastasia Sri Hestutiningsih membacatakan pidatonya yang puitis, mewakili anggota Teater Alam seluruh angkatan. Foto: Nana Asmita Azwar

Selesai Anas berbiciara, Udik dan Sugeng melanjutkan acara. Kali ini, mereka berganti-gantian membacakan nama-nama dulur Teater Alam yang sudah meninggal dunia. Yang tercatat, ada 30. Doa terbaik buat mereka: Yoko, Yoyok Aryo Ini, Yoyok Coa Ong, Niki Kosasih, Hendra Cipta, Bani IW, Bambang Darto, Gatot, Deded E Murad, Titiek Azwar AN, Nanok, Noor WA, Niesby Sabakingkin, Wahid alias Kak We Es, Cholila Ibrahim, Nining Gege HA, Susi, Ramidi, Abdul Qadir, Agus Joli, Ragil Suwarna Pragolopati, Amry Yahya, Hartono Djumino SH, Moorti Poernomo, Agus Subagyo PMN, Sundrek Godean, Darto Guru, Budi Centhol, Memek Jambu, Alex Suprapto Yudho, dan Ganti Winarno.

Kisah belum lagi usai…

Azwar AN, pepunden para kadang Teater Alam tidak saja diminta berbicara, tetapi juga didaulat untuk memimpin prep. Ini untuk mengingatkan kembali kepada masa-masa saat masih berlatih teater dulu. Sebelum latihan, didahului dengan prep atau preparation.

Masih dengan nada dan gaya bicara seperti dulu, Azwar AN pun memimpin prep. “Duduk serileks mungkin…. Yang mau bersila silakan, yang mau slonjor silakan… rileks…,” kata Bang Azwar memulai “ritual” prep.

Udik Supriyanta dan Sugeng IB, sedang (pura-pura) prep. Foto: Nana Azmita Azwar

Setelah itu, barulah Bang Azwar meminta peserta memejamkan mata pelan-pelan…. Melambungkan imajinasi, dan mengatur pernapasan. Dulu, saat-saat prep, selalu diiringi alunan musik Ludwig van Beethoven. Sayang, siang itu panitia tidak memutar Beetvoven dan menggantinya dengan instrumen easy listening. Tidak mengapa…. (Bersambung)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *