Connect with us

Kabar

Menyoal Dompet Digital di Pemilu 2024

Published

on

Oleh Achmad Fachrudin, Pendiri Literasi Demokrasi Indonesia, Dosen Institut PTIQ Jakarta

JAYAKARTA NEWS— Seiring dengan perkembangan e-commerce atau teknologi finasial (financial technology), kini marak muncul  e-wallet atau dompet digital. Kehadiran dompet ajaib tersebut langsung disambut antusias masyarakat digital.  Hal ini tercermin dari hasil riset yang berjudul “Consistency That Leads: 2023 E-Wallet Industry Outlook” pada Senin (28/11/2022) yang  menunjukkan, 71% responden aktif (1.300 orang) di area Jabodetabek dan sejumlah kota besar lainnya menggunakan dompet digital untuk berbagai macam transaksi. Kehadiran dompet digital ini berpotensi dijadikan instrument praktik politik transaksional/uang pada Pemilu Serentak 2024.  

Asumsi tersebut dilatari pengalaman pada Pemilu atau Pilkada sebelumnya. Dimana Pemilu sebagai pesta demokrasi atau pesta rakyat lima tahunan seringkali dianggap sebagai masa/musim  panen bagi pemilih untuk mendapat ‘sedekah politik’. Sementara bagi kandidat baik pendatang baru maupun petahana dianggap sebagai musim tanam untuk kelak mementik hasil positif pada Pemilu/Pilkada.

Pemilih di Indonesia memang dikenal permisif dan suka dengan uang. Studi Aspinall & Sukmajati (2015) misalnya memotret,  politik permisif dalam Pemilu Legislatif 2014 telah menjalar kuat pada tingkatan pemilih dengan maraknya politik uang, atau politik transaksional. Sedangkan hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan,  sebanyak 47,8 persen pemilih bakal terpengaruh dengan politik uang di Pilgub DKI Jakarta. Sebanyak 35,8 persen mengaku tidak dipengaruhi oleh politik uang dan 16,4 persen menyatakan tidak tahu. 

Begitu pula survei Indo Barometer di Pilgub Banten 2017 menyebutkan, sebanyak 45,6 persen mengaku akan menerima politik uang dan memilih calon yang memberi uang/barang tersebut. Hal yang kurang lebih sama berdasarkan data yang dirilis Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) (3 Desember 2017) yang menyebutkan, sikap permisif masyarakat pada politik uang semakin meningkat dalam setiap periode pemilu ataupun Pilkada.

Trend Politik Uang

Sementara pada Pemilu Serentak 2019, hasil penelitian LIPI menunjukkan, 40 persen responden menerima uang dari para peserta Pemilu tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Adapun 37 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Tidak mengherankan manakala politik uang, menurut Peneliti Politik Burhanuddin Muhtadi,  telah menjadi virus yang merusak kompetisi elektoral. Bahkan menempati peringkat terbesar ketiga di dunia yang paling banyak terpapar politik uang. Indonesia hanya kalah dibandingkan Uganda (41%) dan Benin (37%).

Tidak mengherankan manakala Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sekalipun optimistis Pemilu 2024 bakal terselenggara sesuai jadwal, hanya saja Mahfud pesimistis pesta demokrasi tersebut terhindar dari praktik politik uang.   Politik uang dan sebagainya, masih sangat sulit dihindari. Hal tersebut dikatakan Mahfud saat berdiskusi dengan Rocky Gerung di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, yang ditayangkan di RGTV Channel ID, Senin (17/10/2022). 

Faktor lain  yang berpotensi memicu tetap maraknya politik uang pada Pemilu Serentak 2024 ada kaitannya dengan kondisi objektif  bangsa dan masyarakat yang masih terkena imbas pandemi Covid-19. Baru saja bisa sedikit bernafas lega, suasana abnormal kembali menghajar Indonesia dengan munculnya resesi ekonomi. Indikasinya sudah terlihat dengan pertumbuhan ekonomi di tahun 2021 yang mengalami resesi dari kwartal satu jatuh pada angka 2.97 persen kemudian semakin menurun pada kwartal kedua dan sampai kwartal ketiga masih mengalami keadaan minus.

Bukan itu saja, sejumlah perusahaan dikabarkan mengalami penurunan hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawannya.   Seperti yang dilakukan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk, Ruangguru,  Shopee Indonesia,  Indosat Ooredoo Hutchinson (IOH), Startup Edutech Binar Academy, dan sebagainya. Hal ini belum terhitung berbagai sektor ekonomi lainnya, baik formal maupun informal, akan terimbas resesi ekonomi. Muaranya dipastikan akan menimbulkan pengangguran dan kemiskinan massal atau massif. Sementara pengangguran dan kemiskinan  merupakan ladang subur bagi bersemainya politik uang saat Pemilu.

Modus Operandi

Dari sisi modus operandi, ada sejumlah persamaan dan perbedaan antara modus lama dengan modus baru. Persamaannya dari sisi tujuan yakni: sebagai jurus pamungkas dari kandidat untuk mempengaruhi pemilih dan bentuknya sama-sama uang. Perbedaannya jika pada modus  lama, uang atau bentuk materi lainnya diberikan melalui transaksi secara langsung (tatap muka) dan dalam bentuk tunai (cash).  Pada modus baru,  transaksasinya dilakukan dengan mentransfer uang  melalui dompet digital atau melalui bank, baik langsung di kantor bank, Anjungan Tunai Mandiri (ATM) atau mobil banking.

Seperti melalui cara lama, metode atau cara pengiriman uang melalui dompek digital untuk kepentingan kampanye Pemilu  diawali dengan membangun semacam kesepakatan antara pihak pemberi (kandidat atau melalui agensinya) dengan yang diberi (pemilih) tentang tujuan pemberian uang, besaran jumlah, volume dan sebagainya. Serta jenis aplikasi digital yang akan digunakan yang kini banyak tersedia. Antara lain Tokopedia-Gopay,  Shopee-ShopeePay, Lazada-DANA, OVO-Bukalapak, dan lain-lain.

Kemungkinan besar segmen yang dibidik adalah kalangan yang sudah melek teknologi digital, khususnya kaum milenial. Kalangan milenial merupakan segmen yang paling dibidik karena selain melek teknologi, jumlah populasinya  sangat besar. Hal ini mengacu hasil penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis Senin (26/9/2022),  yang menyebutkan pada Pemilu 2024 akan didominasi oleh kaum generasi Z dan milenial yang rentang usianya 17-39 tahun mendekati 60% berdasarkan periode survei pada 8-13 Agustus 2022.

Bagi partai politik, tim kampanye, tim sukses atau kandidat tentu tidak mudah untuk dapat melakukan politik transaksional menggunakan dompet digital. Kesulitannya bukan pada pilihan aplikasi yang akan digunakan karena kini tersedia cukup banyak, melainkan lebih pada komunikasi politik untuk menjelaskan tujuannya dan teknis melakukan transfer uangnya manakala dilakukan secara orang per orang. Apalagi jika nilai uang yang akan dibagikan hanya kecil. Misalnya Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per pemilih. Sementara jumlah penerima yang akan ditransfer uang mencapai ribuan orang. Untuk mengatasi kendala teknis, sangat mungkin pihak pemberi uang (kandidat/pensuplai/bandar) akan menggunakan jasa orang atau kelompok orang yang piawai dalam melakukan transaksi uang melalui dompet digital.

Selain itu, karena kegiatan politik uang merupakan tindakan beresiko menjadi laporan masyarakat atau temuan dari Pengawas Pemilu, pihak pemberi uang akan memastikan tingkat kerahasian dan keamanannya. Dan hal ini tentu tidak mudah mengingat pemberian uang dari pihak pemberi ke penerima akan ada jejak digitalnya dan bukti transfer. Sementara jejak digital dan bukti transfer, dapat menjadi barang bukti dalam proses penanganan dan penindakaan dugaan pelanggaran Pemilu.

Kendala Pengaturan

“Sepandai-pandainya tupai melompat, sekali waktu pasti ada sialnya”, begitu kurang lebih kata sebuah pepatah. Hal yang sama berlaku pada aktivitas politik transaksional atau politik uang melalui dompet digital. Begitupun dugaan politik uang berdasarkan laporan masyarakat atau temuan dari Pengawas Pemilu, Pengawas Pemilu mesti memproses dan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundangan.

Kendalanya pada satu sisi peraturan perundangan yang ada seperti:  UU No.  7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, PKPU No.  23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, atau PKPU No.  11 Tahun 2020 tentang Kampanye tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, belum mengatur penanganan dugaan pelanggaran Pemilu berbasis dompet digital.

Pun demikian di lingkungan Bawaslu. Perbawaslu No. 28 tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilu,  Perbawaslu No. 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilu, Perbawaslu No8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu, atau Perbawaslu No. 9 tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu, juga belum mengatur  penanganan pelanggaran politik uang dengan menggunakan dompet digital.

Di sisi lain, Perbawaslu No8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu maupun Perbawaslu No. 9 tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), tidak mudah eksekusinya. Hal ini antara lain mengingat tenggat waktu yang diberikan cukup singkat, yakni: 14 hari memproses laporan. Sementara itu, untuk dapat mengecek dugaan pelanggaran melalui dompet digital harus melalui izin Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Problem lainnya adalah ketersediaan alat bukti, barang bukti, saksi, dan lain sebagainya. Terlebih jejak digital, mudah dan cepat dihapus.

Peran Bawaslu

Meskipun banyak terjadi sisik melik terkait dengan kerawanan politik uang dengan menggunakan dompet digital dan kendala karena kekosongan pada aspek peraturan perundangan, Penyelenggara Pemilu, khususnya Bawaslu harus menyiapkan piranti peraturannya untuk dapat mengatasi dugaan pelanggaran Pemilu yang relatif baru ini.  Caranya dengan merevisi Perbawaslu terkait penanganan pelanggaran politik uang dengan memasukkan penggunaan dompet digital untuk kepentingan politik uang sebagai salah satu ojek pelanggaran Pemilu.

Sebelumnya berkomunikasi dengan Pemerintah dan DPR, Bank Indonesia, PPATK, Kepolisian, dan sebagainya. Tujuannya agar peraturan terkait penanganan pelanggaran dompet digital diingini, dipahami dan didukung bersama. Tanpa dukungan politik dari pemangku kepentingan Pemilu, maka penanganan pelanggaran politik uang menggunakan dompet digital, diyakini tidak akan efektif.

Selain itu, untuk pencegahan penggunaan dompet digital melalui politik uang, Bawaslu mutlak berkolaborasi dengan Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk memanfaatkan cyber drone, dan cyber patrol dalam pengawasan dompet digital. Langkah lainnya yang sudah digagas dan diprogramkan Bawaslu adalah melakukan pendidikan pengawasan partisipatif sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat, khususnya kepada Pemilih milenial;  intensifikasi dan ekstensifikasi program “desa AMPUH” (desa anti politik uang, SARA, dan pelanggaran Pemilu) yang melibatkan semua elemen masyarakat.

Kemudian melakukan patroli pengawasan berbasis digital dengan menggerakkan semua jajaran pengawas dalam tahapan masa kampanye, masa tenang dan pemungutan dan penghitungan suara dengan melibatkan kepolisian, Kominfo, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, dapat memanfaatkan SiGapLapor (Sistem Informasi Penanganan Pelanggaran Pemilu) milik Bawaslu dalam penerimaan laporan politik uang dengan menggunakan dompet digital.

Diatas itu semua, pencegahan dan penanganan pelanggaran Pemilu Serentak 2024 melalui dompet digital hanya akan efektif manakala didukung oleh sumber daya manusia pada semua tingkatan yang juga harus melek digital. Jangan lupa, perhatian terhadap potensi pelanggaran politik uang berbasis dompet digital tidak boleh mengabaikan potensi pelanggaran politik uang secara konvensional, yakni: langsung (tatap muka) maupun dalam bentuk transaksi secara tunai (cash). Sebab seperti dikatakan Prof. Mahfud, politik uang sangat potensial dan massif di Pemilu 2024.

Kini masyarakat politik/Pemilu menunggu gebrakan Bawaslu dalam melakukan pencegahan dan penanganan pelanggaran politik uang dengan menggunakan dompet digital. Hasil kerja Bawaslu seyogianya tidak hanya dilaporkan ke DPR atau Pemerintah, melainkan harus diekspose secara terbuka ke publik melalui berbagai bentuk media, baik konvensional maupun non konvensional, internal maupun eksternal.  Termasuk juga hambatan dan kendalanya agar masyarakat politik merasa dilibatkan dan dapat mengawal dan memberikan masukan untuk perbaikan ke depan.***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *