Connect with us

Kabar

Koordinator TPDI Petrus Selestinus: Jokowi Terjebak Kekuatan Oligarki

Published

on

Petrus Selestinus (kanan) diskusi akhir pekan Titik Temu "Putusan MK dan Dinasti Politik Jokowi", Sabtu (11/11/2023)/foto: ekk

JAYAKARTA NEWS— Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Advokat Perekat Nusantara, Petrus Selestinus menegaskan, nepotisme itu tindak pidana. Karena dalam Tap MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, serta Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) memposisikan korupsi itu sama dengan nepotisme.

Demikian pernyataan Petrus dalam diskusi akhir pekan Titik Temu yang memgambil tema “Putusan MK dan Dinasti Politik Jokowi”. Diskusi yang diselenggarakan di Ayodja Coffe ini juga menghadirkan Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute, Yansen Dinata.

Atas dasar itu, Petrus bersama TPDI telah melaporkan hasil putusan MK atas perkara no 90/PUU-XXI/2023 ke KPK pada tanggal 20 Oktober 2023 lalu.

TPDI mendesak KPK memanggil 18 nama, termasuk 9 Hakim MK. Dan menurut Petrus, KPK telah meminta TPDI untuk melengkapi bukti bukti.

Petrus menuturkan, Anwar Usman mundur saat MK menyidangkan kasus No 90 itu. Karena undang undang telah mengatur, bila ada kepentingan, hakim harus mundur dari persidangan. Namun Anwar Usman tidak melakukan itu.

“Dalam perkara 1.69 itu, subjeknya jelas Gibran, dengan memakai tangan orang  lain. Dalam kasus itu nama Gibran sampai disebut 8 kali. Anwar Usman sudah tau, karena sebelumnya juga sudah gembar gembor tentang perkara 1.69. Jokowi sebagai pihak. Dan pimpinan sidangnya paman atau ipar nya. Hubungan kekeluargaan yang dilarang UU telah dilanggar sejak awal,” ujar Petrus.

Apalagi, Petrus menyatakan, MKMK juga menemukan ada intervensi tangan luar, yang masuk untuk ikut mengatur perkara.  “Jokowi terjebak kekuatan oligarki” tambah Petrus.

Sementara Jansen melihat, kasus ini syarat nepotisme. “Meski di framing sebagai kesempatan anak muda, tapi sebenarnya sangat berbahaya bila dibiarkan. Apalagi privilege yang didapat Gibran, tidak mewakili orang muda. Apa yang terjadi pada Gibran hanya oligarki mempertahankan kekuasaan” Ujar Jansen.

Menurut Jansen, semua orang punya mimpi, tapi proses untuk meraih mimpi itu jangan dengan cara yang semena mena, dimana Gibran mendapat karper merah, dengan putusan MK ini.

“Ini harus dikritisi, karena ini bukan hanya tentang generasi kita, tapi dampaknya untuk 10 atau 15 tahun ke depan,” ucap Jansen. Dalam kasus putusan MK untuk perkara no 90 ini, kata Jansen, tidak ada pembelajaran yang bisa dipetik, karena kasus ini adalah tragedi, dan tamparan untuk kita semua. Jansen mempertanyakan, akan dibawa kemana demokrasi kita ini.***/din

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *