Connect with us

Feature

Tepat 10 Suro, Pusaka Bung Karno Dimandikan

Published

on

Ki Wisnu Ardianto, ‘penjamas’ pusaka dari Blitar sedang mempersiapkan pusaka untuk dijamasi. Wisnu juga tergolong kerabat dekat Bung Karno. Ia adalah cucu dari R. Kartowibowo, kakak R. Soekeni, ayahanda Bung Karno. (ist)

Jayakarta News – Bung Karno mewariskan pusaka di Ndalem Pojok Kediri, Jawa Timur. Pusaka itu berbentuk tombak dan keris Kiai Gadakan. Tanggal 10 September 2019 mendatang, pusaka itu akan dimandikan (jamasan) bersama dengan pusaka Eyang Panji. Pusaka-pusaka itu adalah koleksi situs Persada Sukarno Kediri. “Insya Allah setelah jamasan akan kita pamerkan,” ujar Dewo, Ketua Panitia Jamasan Pusaka Eyang Panji.

Sejarahnya, pusaka Presiden Sukarno ini berasal dari pemberian seorang kepala desa di Kabupaten Grobogan, saat presiden mengadakan kunjungan kerja, meninjau pelatihan baca tulis (buta huruf) di sana. “Sekitar tahun 1946  eyang kami, RM Soemodihardjo yang menjabat Kepala Rumah Tangga Istana mendampingi kunjungan Bung Karno ini,” aku Kushartono, Ketua Harian Persada Sukarno.

Kemudian pusaka itu dititipkan di Ndalem Pojok Kediri. “Tidak tahu apakah lupa atau sengaja, yang jelas pusaka itu tidak pernah diambil,” tambah Kus.

Adapun kegiatan pameran pusaka Ndalem Pojok, baru dimulai tahun ini. Selama bertahun-tahun ritual jamasan pusaka selalu dilakukan secara tertutup. Tahun ini ritual itu terbuka untuk disaksikan masyarakat luas, dengan tujuan memperkenalkan budaya luhur bangsa kepada generasi muda.

“Dalam cara jamasan ini kami undang anak-anak sekolah dan kami pamerkan pusaka Bung Karno agar mereka tertarik. Nanti anak-anak sekolah akan kita berikan edukasi soal pusaka serta kita beri edukasi soal tata cara memandikan pusaka,” ujar Ki Andri Setiawan, pakar keris dari Blitar.

Dewo setuju apa yang disampaikan Ki Andri Setiawan. Ia bahkan berharap generasi muda khususnya, tidak melupakan sejarah. Pusaka adalah bagian dari sejarah luhur bangsa Indonesia. “Semoga acara ini sukses bermanfaat dan mendapatkan ridho Allah SWT,” ujar Dewo.

Sementara pemilihan tanggal 10  bulan Asy Syuro dinilai sebagai saat yang dianggap istimewa, karena Suro berasal dari kata Asy Syaro yang berarti sepuluh.

Kisah Pusaka Kiai Gadakan

Ternyata, ada kisah menarik di balik penyerahan keris dan tombak kiai Gadakan kepada Sukarno “sang raja”. Ada jogetan riang gembira dan tanginsan secara bersamaan, mengiringi penyerahan pusaka itu. Ekspresi gembira dan tangis yang diikuti sujud syukur seorang kepala desa di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah.

Kisah terjadi sekitar tahun 1947. Suatu hari, Bung Karno dan rombongan mengadakan kunjungan kerja meninjau kegiatan belajar mengajar bagi masyarakat buta huruf di sana Grobogan. Saksi sejarah yang mengiringi kunjungan Bung Karno adalah RM Sajid Soemodiharjo selaku kepala rumah tangga istana.

Sesampai di lokasi acara, mendadak Bung Karno ingin ke kamar kecil. “Pak aku kebelet pipis ora iso ditahan iki, kata Bung Karno sebagaimana dituturkan oleh RM Sajid,” tutur Kushartono, Ketuan Harian Persada Sukarno.

Kemudian RM Sajid Soemodiharjo  segera memanggil ajudan untuk mengantar Bung Karno pada sebuah rumah tak jauh dari balai desa dimana bung Karno meninjau kegiatan baca tulis itu. Betapa kaget Bung Karno, demi masuk rumah itu, si tuan rumah langsung joget-joget kegirangan, sambil menangis lalu sujud syukur. “Termasuk eyang  kami yang waktu itu mendampingi Bung Karno ikut terheran-heran,” tambah Kushartono.

Setelah reda, si pemilik rumah menyampaikan bahwa sudah bertahun-tahun, bahkan sudah turun-temurun dari generasi ke generasi keluarganya memegang amanat leluhur. Amanat itu mengatakan, bahwa jika suatu saat ada seorang raja masuk dalam rumah ini, maka keris dan tombak kiai Gadakan supaya diserahkan kepada raja itu.

Namun selama bertahun-tahun, turun-temurun, wasiat ini tidak kunjung menampakkan tanda-tandanya. Hampir-hampir keluarga itu berputus asa, bahkan nyaris tidak percaya lagi pada wasiat itu.  “Sebab jika dipikir memang benar, mana mungkin ada raja masuk ke rumahnya. Begitu eyang kami bercerita,” ujar Kus.

Nyatannya wasiat leluhur tidak pernah berbohong. Dan hari itu pun tiba, seorang “raja” masuk ke dalam rumahnya. “Raja” itu tak lain adalah Paduka Presiden Sukarno. Maka, girang gembira bukan kepalang sang kepala desa. Tanpa pikir panjang, ia pun segera menyerahkan pusaka wasiat leluhur Kiai Gadakan kepada Bung Karno. (kus)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *