Connect with us

Entrepreneur

Wedang Uwuh “Den Bagus”: Tradisional, Trendi, Tembus Pasar Global

Published

on

Jayakarta News – Pagi itu Bantul cerah. Angkasa di atasnya biru bersih, bersiap diri menyambut hangatnya matahari pagi. Hanya ada segumpal kecil awan melayang ringan, seringan kaki Dwi Karti Handayani melangkah ke ruang produksi wedang uwuh persis di depan teras rumahnya yang berada di Dusun Bulu Rt 03, Trimulyo, Jetis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

 Di tempat ini ia mencetak wedang uwuh aneka kemasan dan rupa-rupa varian. Di tangannya minuman tradisional berlabel “Den Bagus” itu tampil trendi dan mampu menembus pasar global.

Hani, demikian sapaan akrab Dwi Karti Handayani, membangun ruang permanen seluas 49 meter persegi untuk tempat produksi. Di dalam bangunan persegi panjang bergaya minimalis itu ada tiga mesin ukuran besar bantuan dari Kementerian Perindustrian yakni pencetak varian celup, pengemas gula, dan oven setinggi tubuh manusia dewasa. Ada juga sebuah piranti elektronik berukuran mini yakni mesin sealer plastik. Semua mesin terletak mepet ke tembok.   

Ruang produksi “Den Bagus” di Desa Bulu, Trimulyo, Jetis, Bantul, DIY. (foto: Ernaningtyas)

Bahan baku ditata teratur di atas rak-rak panjang bersusun menempel dinding dekat pintu belakang. Sementara wedang uwuh yang siap dilempar ke pasar bertumpuk rapi di atas meja dan keranjang plastik, persis di belakang pintu masuk bagian depan. Di belahan tengah tercipta lorong panjang tempat karyawan bekerja mengemas wedang uwuh. Mereka duduk beralas tikar, menghadap meja kayu berkaki pendek.         

Pada Jumat (18/9/2020) Hani menemui sejumlah tiga orang karyawan wanita yang sedang bekerja. Dua orang mengemas wedang uwuh varian original, seorang yang lain tampak sedang membungkus dua boks isi duapuluh varian yang sama untuk dikirim ke Sulawesi pesanan konsumen lewat online. Seorang mahasiswa UPN Yogya bernama Mujib datang belakangan. Ia berstatus magang merangkap reseller. Beberapa pak kemasan wedang uwuh ia bungkus dalam kardus bekas minuman air mineral untuk dipaketkan kepada pemesannya.    

“Hanya tiga orang karyawan yang masuk di bagian produksi hari ini. Sebelum wabah Covid 19 ada enam sampai sembilan orang yang sehari-hari bekerja di ruang produksi. Masih ada sejumlah karyawan yang aktif di bagian marketing baik offlineonline, marketing expo dan seorang lagi yang menangani pemeliharaan mesin. Riset dan pengembangan saya pegang sendiri” kata Hani di sela-sela aktivitasnya memberi pengarahan kepada karyawan. Ia mengakui, usahanya tak luput dari imbas pandemi. Namun, kendati omzet menurun, hoki tetap memihaknya. Bahkan di awal pandemi ia mengalami lonjakan pesanan yang sangat signifikan. Ini terjadi karena wedang uwuh yang memiliki sensasi hangat, dipercayai ampuh menaikkan imun tubuh. Manisnya kenaikan permintaan itu terjadi pada kurun sekitar Maret.

Bulan April, bersamaan dengan lumpuhnya dunia wisata Yogya akibat berjangkitnya virus Corona, permintaan pun menurun. Untunglah “Den Bagus” tak sampai terpuruk pada situasi tutup total apalagi bangkrut. “Den Bagus” tetap diproduksi untuk memenuhi permintaan pasar baik toko oleh-oleh, konsumen online dari dalam atau pun luar negeri dan pembeli yang datang langsung ke ruang propduksi yang juga merangkap toko.

Sudah sekitar lima tahun Hani membangun usahanya. Dari hari ke hari ia selalu menghidupkan energi agar bisnis UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) miliknya itu terus tumbuh. Penyulut dan pemantik gairahnya untuk selalu berkembang adalah mimpi Hani agar wedang uwuh, minuman tradisional penghangat tubuh, bisa memiliki nama sekaliber teh dan kopi di setiap rumah tangga, tak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.   

“Ada satu instansi pemerintah di Bandung yang baru saja memesan wedang uwuh untuk minuman karyawan di kantor sebagai pengganti teh. Ini bisa menginspirasi masyarakat untuk mengkonsumsi wedang uwuh,” tuturnya. Ia mengakui belum pernah mendapati instansi di daerahnya yang menyuguhkan wedang uwuh untuk karyawan di kantor.

Dwi Karti Handayani memperlihatkan hasil pengemasan gula dengan mesin bantuan Kementerian Perindustrian. (Foto: Ernaningtyas)

Asli Imogiri Bantul

Pada tahun 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan wedang uwuh  sebagai warisan budaya tak benda asli Yogyakarta. Lebih khusus lagi minuman tradisional ini asli Imogiri Bantul. “Sertifikat penetapan itu diterima oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X,” tutur Hani.

Uwuh dalam bahasa Indonesia berarti sampah. Bahan dasar wedang ini adalah dedaunan, jahe, serutan kayu secang, biji cengkeh dan gula batu atau bisa diganti gula jenis lain seperti gula pasir atau gula semut. Kuat kesan bahwa ramuan itu mirip sejumput sampah. Di wadah gelas bening, penampakannya persis rendaman sampah organik, ada yang mengapung, sebagian melayang dan ada juga yang tenggelam. Karenanya minuman tradisional ini populer dengan sebutan wedang uwuh atau minuman sampah.

Wedang uwuh diseduh dengan air mendidih. Kepulan uapnya menghadirkan harum rempah di indera penciuman. Sementara airnya yang berwarna merah menyala memberikan rasa pedas-manis di rongga mulut dan sensasi hangat di tubuh. 

Awalnya, minuman tradisional ini menjadi sajian khas warung-warung di sekitaran Makam Raja-Raja Kasultanan di Imogiri, Bantul. Bahan bakunya tersedia melimpah di Bantul dan sekitarnya. Lambat laun, wedang uwuh kian dikenal dan ia menambah ragam kuliner di seputaran Yogyakarta, mulai dari kaki lima, rupa-rupa resto hingga tempat bersantap di hotel-hotel aneka bintang. “Rasanya yang khas membuat wedang uwuh diburu wisatawan sebagai cidera mata,” tambah Hani.  Ia pun tertarik memproduksi wedang uwuh.       

MPIG wedang uwuh hadir dalam sebuah acara Pertamina di Yogyakarta. (Foto: istimewa)

Berbisnis Sendiri

Awalnya Hani adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan penerbitan buku ternama di Jakarta yang memiliki kantor cabang di Semarang. Di tempatnya bekerja itu, posisi tertingginya adalah kepala promosi untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY. Kedudukan sebagus itu ia tinggalkan pada tahun 2010 beberapa waktu setelah sang suami wafat. Ilmu yang ia peroleh saat menjadi karyawan mengendap di otaknya dan ini sangat berguna sebagai referensi saat ia memutuskan berswabisnis.

Tahun 2010 hingga 2015 Hani menjadi pelaku bisnis fasyen. Butiknya ada di luar kota Yogyakarta. Pada kurun itu pula ia menjadi eksportir kelapa. “Saya wira wiri (bolak balik) ke Lombok untuk pengadaan kelapa, karena kalau hanya mengandalkan hasil kelapa dari Jawa tidak bisa memenuhi target kuota ekspor,” tuturnya. Hanya dua tahun predikat sebagai eksportir kelapa itu melekat padanya.

Menjadi pemasar buku juga ia lakoni pada periode itu. Produknya ia ambil dari perusahaan penerbitan tempat ia bekerja dulu. Hani juga pernah berbisnis bakpia. Ia mendirikan pusat oleh-oleh Bakpia Permata. Namun, semua produk yang menjadi andalan Hani dalam sepak terjang bisnisnya tak satu pun miliknya sendiri. Ia sebatas pemasar.   

Sampai tahun 2015 semua bisnis yang menempatkan Hani sebagai pedagang ia hentikan. Sebatas sebagai pemasar membuat hati Hani gelisah. “Ada kendala, misalnya ketika saya mendapatkan pesanan seribu biji, ternyata di tempat saya mengambil barang hanya ada  dua ratus biji, selebihnya PO (Pre Order). Ini menghambat bisnis saya,” ungkap Hani. Itulah alasan, mengapa jauh di lubuk hatinya ada keinginan kuat untuk memiliki produk sendiri.

Akhirnya Hani memutuskan pulang ke kampung halaman di Imogiri, Bantul, DIY. Wedang uwuh, minuman asli daerah kelahirannya itu menjadi bidikan tunggalnya. Ia membeli sebidang tanah seluas 280 meter persegi untuk rumah tinggal sekaligus tempat produksi.

Wedang uwuh “Den Bagus” yang trendi dan handy untuk cenderamata. (foto: istimewa)

Riset Pasar

Sebelum memulai produksi wedang uwuh, Hani melakukan riset pasar. Ia ingin mendapatkan data sebanyak dan selengkap mungkin tentang produk wedang uwuh yang telah merambahi pasar oleh-oleh di seputaran Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pengetahuan tentang produk kompetitor penting agar produk wedang uwuh miliknya bisa masuk ke toko pusat oleh-oleh di seluruh wilayah Provinsi DIY dan sekitarnya. “Riset ini berfungsi sebagai penjajakan untuk mengetahui posisioning produk kita nanti apakah bisa diterima pasar,” ungkap Hani.

Pertama-tama Hani menjelajahi toko oleh-oleh di areal Jalan Magelang Yogya hingga wilayah Secang di Kabupaten Magelang. Mulai dari kawasan Gamping Yogya ke arah barat sampai Kabupaten Purworejo, menjadi wilayah riset selanjutnya. Pusat oleh-oleh yang berjajar sejauh puluhan kilometer dari Jalan Solo Yogyakarta ke arah timur hingga kota Solo pun dijajakinya. Pada jalur ke arah timur ini, ia memeriksa pula toko oleh-oleh yang menuju ke arah Wonosari, kabupaten Gunungkidul di sisi timur-selatan. Terakhir, penelitian pasar ia lakukan di dalam kota Yogyakarta.

Dari hasil risetnya Hani tahu wedang uwuh varian apa yang sudah beredar di pasaran dan jenis apa yang bisa memenuhi target permintaan konsumen. Kendati lewat riset Hani mengetahui selera pasar, namun ia tidak sepenuhnya bergantung 100 persen kepada keinginan pasar. Sebagai pebisnis, ia dituntut untuk menumbuhkan jiwa inovatif dan kreatif. Ini sangat penting untuk melahirkan varian baru wedang uwuh “Dibutuhkan keberanian khusus untuk me-launching produk yang belum ada di pasaran,” tutur Hani.

“Saya menemukan banyak produk wedang uwuh aneka merek, tetapi ini tidak menyurutkan keinginan saya untuk membuat produk yang sama,” kata Hani. Ia menggunakan semua data yang dihimpun untuk mengeksekusi langkah selanjutnya. Yang jelas, Hani tak ingin pindah ke produk lain. Wanita single parent kelahiran Bantul ini terlanjur jatuh hati pada wedang uwuh. Ia tetap optimis, kendati produk kompetitor telah banyak beredar di pasaran. Sebab, lewat data riset lapangannya, ia berkesimpulan masih banyak celah yang bisa diraih untuk merebut hati konsumen.

Hani di sela-sela wawancara, berkomunikasi dengan mitra bisnis di ruang tamu rumahnya yang penuh dengan aneka sertifikat penghargaan untuk “Den Bagus”. (foto: Ernaningtyas)

Bertahap

Perjalanan bisnis Hani memproduksi wedang uwuh berlangsung setahap demi setahap, baik skala produksi, rupa-rupa varian maupun aneka kemasan. Bila satu produknya sukses di pasaran, ia menambah skala produksi. Sebelum memproduksi varian baru, ia melakukan riset pasar. Sementara dari segi kemasan, dari waktu ke waktu penampilan “Den Bagus” kian trendi.

Tahun 2015 momentum awal Hani memulai produksinya. Modal senilai Rp 9 juta ia gelontorkan untuk mencukupi rupa-rupa kebutuhan seperti bahan baku, alat produksi, upah karyawan dan lain lain. Di tahap awal ini total karyawannya berjumlah sembilan orang. “Waktu itu, produksi perdana kami 1.000 pak,” kata Hani. Untuk angkatan kedua, produksinya berada pada angka yang sama.

Tanggal 14 Agustus 2015 Hani mengeluarkan varian baru, wedang uwuh instan. Versi instan ini sama sekali tidak menampakkan wujud asli wedang uwuh. Sebab, semua komponen rempah-rempah dihancurkan ditambah pemanis gula pasir. “Target produksi pertama saya seribu pak, setiap pak berisi 4 pieces,” tambahnya. Gayung bersambut, wedang uwuh varian instan itu terserap pasar. Tak sampai seminggu produksi perdananya itu ludes. Hani kembali mencetak 2.000 pak varian instan dalam sekali produksi. Ini pun laris manis. Akhirnya, sekali produksi Hani berani mencetak 5.000 pak wedang uwuh varian instan. Dan skala produksi sejumlah itu pun sukses terserap pasar.

Hani ingin usahanya kian mekar. Ia berkehendak untuk melempar produk baru. Namun, sebagai pribadi yang telah makan asam garam di blantika bisnis, ia tak mau bertindak gegabah. Setiap keputusan harus dilandasi data lapangan. Hani kembali melakukan riset. Kesimpulannya, masyarakat menginginkan wedang uwuh yang lebih “bersih” dan lebih praktis. “Awal tahun 2016, saya meluncurkan wedang uwuh varian celup,” kata Hani. Skala produksi awal versi celup ini sejumlah 1.000 pak, berisi empat pieces setiap pak. Varian celup ini pun mendapatkan respon positif.

Tak sekadar melempar produk baru. Di tangan Hani, varian original pun tampil dalam wajah baru. Di akhir 2016, Hani memberanikan membuat kemasan paper bag isi 10 untuk varian original. Versi original adalah wedang uwuh yang masih komplet, dedaunan dan serutan kayu secang masih utuh ditambah kombinasi gula batu. “Varian original kami kemas dalam kantong isi 10 pieces dengan oplah pertama seribu pak,” tambahnya.

Akhir 2017, “Den Bagus” tidak hanya tampil dalam wadah paper bag. Hani merilis kemasan eksklusif. “Saya meluncurkan kemasan suvenir yang pertama berisi semua varian yakni original, celup, instan dalam wadah pouch (dompet plastik) bercorak tradisional untuk oleh-oleh,” papar lulusan S2 jurusan Marketing STIE Widya Wiwaha ini. Khusus varian celup, ia mengemas persis teh celup berisi 20 pieces dalam satu kotak. Tak sebatas itu, varian celup yang lebih “bersih” dan super praktis penyajiannya itu pun ia tampilkan dalam pouch cantik berisi 2 kali 20 pieces.

Hani di Stand “Den Bagus” dalam event Jogja Halal Food yang difasilitasi Pertamina. (Foto: Istimewa)

Tahun 2018 Hani kembali menggebrak pasar. “Saya memunculkan varian original dalam kemasan boks karton berisi 20 peices yang bisa ditenteng sehingga handy sekali buat oleh-oleh,” tuturnya. Kemasan karton luks inilah yang dibawa Hani ke pasar internasional di Malaysia. Dalam ajang Archipelago Expose (Arcex) yang dihelat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Malaysia itu “Den Bagus” mendapatkan tanggapan positif. Ini kali kedua Hani merambah pasar luar negeri, dan ia mendulang sukses.

Sebelumnya, bulan November 2017, Hani pernah merambah pasar luar negeri. “Den Bagus” hadir di Jeddah dalam event Jedah International Trade Fair. Di sini ia gagal. Bukan lantaran produknya tidak diterima. Cuaca Jeddah yang kala itu dilanda badai, membuat pameran sepi pengunjung. “Meski pameran berlangsung di dalam gedung, pengunjung tetap kesulitan untuk datang ke lokasi,” tutur Hani. Kegagalan Jedah itu terobati pada acara Arcex di Malaysia.

Dwi Karti Handayani bersama pengunjung stand “Den Bagus” pada event Internasional Halal Show Case Malaysia 2019. (Foto: istimewa)

Bermitra dan Berjejaring

Buat pebisnis seperti Hani, bermitra dan berjejaring adalah sebuah komitmen yang mesti diwujudkan bila ia ingin mendaki ke puncak prestasi yang cerah dan mantap. Di sepanjang perjalanan bisnis wedang uwuhnya, sarjana Pertanian lulusan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu sukses membawa “Den Bagus” nangkring di rak-rak pusat oleh-oleh di kota-kota besar yang tersebar di seantero Jawa seperti DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jabodetabek dan Jawa Timur. Omzet rata-ratanya mencapai Rp 500 juta per bulan.

Menurut Hani, ada dua cara ia bermitra dan membangun jaringan dengan pemilik toko oleh-oleh. Pertama dia masukkan sendiri, kedua lewat agen dan distributor. “Saya menjaga hubungan baik dengan agen dan distributor, karena itu toko yang sudah dipegang agen dan distributor tidak pernah saya ambil alih. Lagi pula proses pengambilalihan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit, satu setengah juta rupiah,” tuturnya.

Hani juga bermitra dan membangun jaringan dengan para reseller. Mereka bisa siapa saja yang memang ingin berbisnis dengannya. Di dunia maya “Den Bagus” digandrungi netizen yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka berasal dari Sulawesi, Kalimantan, Lampung, Maluku, Bali, NTT sampai Papua. 

Sertifikat pemecahan Rekor Muri untuk minum wedang uwuh terbanyak. (Foto: istimewa)

Bermitra dan berjejaring tak hanya dijalankan Hani untuk kepentingan pemasaran. Lembaga pembiayaan pun ia rangkul untuk memperbesar usaha seperti perbankan dan BUMN peduli UMKM. Salah satunya Pertamina. “Saya mendapat bantuan dari Pertamina senilai Rp 50 juta untuk acara memecahkan rekor MURI minum bersama wedang uwuh,” cerita Hani. Tanggal 28 Oktober 2018, pecah rekor MURI kategori minum bersama wedang uwuh yang dihadiri 9.178 orang termasuk Suharsono, Bupati Bantul.

Posisinya sebagai mitra Pertamina terus berlanjut. Tahun 2019 proposal Hani disetujui Pertamina dan ia mendapatkan kucuran kredit super ringan senilai Rp 100 juta. Dana ini ia gunakan untuk pembenahan ruang produksi sehingga layak standar untuk pengajuan izin BPOM. Tak sebatas mendapatkan fasilitas dana segar, BUMN yang malang melintang di industri BBM (Bahan Bakar Minyak) ini juga melakukan pendampingan usaha dalam wujud antara lain pelatihan manajemen dan akses pasar melalui berbagai pameran di tingkat nasional maupun internasional. Event pameran ini sangat berguna untuk test drink bagi masyarakat yang belum familiar terhadap wedang uwuh.

Suwanti, karyawati paling senior memperlihatkan wedang uwuh varian original. (Foto: Ernaningtyas)

Semangat bermitra Hani tidak sebatas pada rekan bisnis. Karyawan yang membantunya ia perlakukan sebagai mitra sejajar. Hani memberdayakan para wanita di kampungnya. Awalnya banyak ibu sepuh ia rekrut antara lain Suwanti, Tami, Wiji. Mereka bergabung setelah merampungkan pekerjaan rumah tangga masing-masing. Saat ini hanya Suwanti karyawan Hani yang paling senior.

“Saya senang bekerja di sini karena dekat dan bisa bekerja setelah tugas rumah selesai,” kata Suwanti. Lainnya para wanita muda yang juga berasal dari seputar Bantul. Tak sekadar persoalan teknis, setiap pagi Hani selalu mengingatkan agar para mitranya ini tak lupa berdoa. “Ini penting untuk keselamatan semuanya,” katanya memberikan alasan.

Ridho Ilahi itu penting demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Hani memiliki pengalaman yang tidak mengenakkan. Konsumennya komplain karena mendapati produk yang tidak bersih. “Gula batu disukai lebah dan terkadang binatang itu mengotori. “Kami semakin hati-hati, dan apabila ada komplain dari konsumen, kami akan mengganti dengan yang baru walau sebagian telah dikonsumsi,” tambahnya.

Bila sedang memenuhi pesanan yang berjumlah banyak, mitra karyawan Hani pun bertambah. Bahkan garasi rumah ia jadikan tempat produksi. “Kami pernah melakukan dua shift dalam sehari ketika permintaan melonjak,” ungkapnya. Hani berencana, seluruh rumahnya, kelak akan ia jadikan tempat produksi. Bila itu terjadi, ia akan mencari tempat lain untuk tinggal bersama anak semata wayangnya.

Legalitas dan Optimis

Hani optimis dengan masa depan usahanya. Karenanya ia tak sebatas memproduksi dan memasarkan. Melengkapi legalitas usaha adalah hal penting yang tak bisa ditawar. “Den Bagus” memiliki izin P.IRT, merek “Den Bagus” terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hani mengantongi izin dari BPOM dan ia mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Semua bukti perizinan beserta nomornya tertera dalam kemasan produk. Demi memenuhi persyaratan untuk mendapatkan legalitas ini, Hani membangun ruang produksi menjadi bangunan permanen tertutup, berlantai keramik, bercat putih terang. Mesin produksi yang tidak sedang digunakan ditutup plastik agar terhindar dari debu.

Ada lagi yang mendongkrak performa nama “Den Bagus” yakni Logo MURI dan Jogja Tradition. Hani mendapatkan izin memasang Logo Muri di kemasan “Den Bagus” karena menjadi pemrakarsa dalam acara memecahkan rekor Muri minum wedang uwuh terbanyak. Sementara logo Jogja Tradition ia dapatkan dari Pemerintah DIY. Pemda Yogya memberikan fasilitas co-branding yang terdaftar resmi di Direktorat Jenderal Hak Cipta dan Merek bagi produk UMKM yang memenuhi syarat. Ada tiga co-branding yakni 100% Jogja, Jogja Mark dan Jogja Tradition. “Den Bagus” masuk dalam kategori Jogja Tradition. Hani menegaskan bahwa semua legalitas itu mendongkrak daya jual. “Legalitas membangun kepercayaan konsumen,” tambahnya.            

Hani (tengah) dalam sebuah acara bersama Pertamina. (Foto: istimewa)

Hani memaparkan masih ada satu lagi legalitas yang ingin ia kejar, yakni SNI (Standar Nasional Indonesia). Legalitas ini diberikan dalam bentuk stempel. “Den Bagus belum memiliki SNI karena biayanya mahal. Sementara kalau mau resmi ekspor ya harus ada stempel SNI,” tegas Hani.

Tanpa SNI produk “Den Bagus” ditolak oleh importir Korea. Padahal, produk wedang uwuh celupnya digandrungi pembeli di negara ginseng ini dan di kemasan varian ini tertulis penjelasan produk dalam bahasa dan huruf Korea. Hani hanya bisa mengekspornya lewat jalur perorangan. “Lewat jalur perorangan nilainya kecil, tak sampai sepuluh juta seperti produk kerajinan Bantul yang biasa diekspor dalam hitungan kontainer,” ungkapnya. Konsumen perorangan ini pula yang mengorder “Den Bagus” dari Kanada juga Belanda.

Hani yang memiliki semboyan kerja untuk ibadah ini, terus berjuang memupuk usahanya. Rencananya, ia segera melempar produk baru wedang uwuh yakni kemasan siap minum dalam wadah kaleng dan kotak aluminium. Kemasan aluminium foil didaftarkan di BPOM tahun 2020, setahun kemudian rencananya menyusul pendaftaran kemasan kaleng di instansi yang sama.

Dwi Karti Handayani, wanita pengusaha dari kampung Bulu, Jetis, Bantul ini sedang membangun brand wedang uwuh di panggung Indonesia dan dunia. Tak hanya untuk “Den Bagus” miliknya, sebab Hani juga menjadi Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografi (MPIG) Wedang Uwuh. Organisasi ini menjadi wadah komunikasi dan koordinasi pengrajin wedang uwuh di Kabupaten Bantul. (Ernaningtyas)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *