Connect with us

Feature

Oedipus Rex, Tandai Kebangkitan Teater Alam

Published

on

Jayakarta News – Teater Alam Yogyakarta, tengah memasuki era kebangkitan. Di saat banyak teater seusia rontok dan tidak lagi berproduksi, Teater Alam seperti tak lekang dimakan usia. Kelompok teater yang didirikan Azwar AN, 4 Januari 1972 itu, pada Sabtu, 18 Januari 2020 sedia mementaskan “Oedipus Rex” (Sophocles), di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta.

Menyimak perjalanan Teater Alam, tampak mengalami pasang surut. Setelah “tidur panjang” di era tahun 2000-an, ia bangkit dua tahun lalu. Dipicu kegiatan halal-bihalal tahun Juni 2018, para anggota yang tersebar di banyak kota dan banyak bidang pengabdian, seperti terpacu untuk membangkit-bangkitkan almamaternya.

Adalah Puntung CM Pudjadi yang mendapat sampur menyutradarai teman-temannya dalam lakon Montserrat (Emmanuel Robles). Pentas menandai 47 Teater Alam ini tergelar 8 Desember 2018 di Taman Budaya Yogyakarta, dan berhasil menyedot animo masyarakat yang luar biasa. Inilah pentas kebangkitan Teater Alam.

Belum reda gaung Montserrat, Teater Alam meluncurkan buku (soft launching) “Trilogi Teater Alam”, di Amphi  Theater TBY, 23 Desember 2918. Tiga buku itu berjudul “Azwar AN, Manusia Teater” (Buku 1), “Teater Alam di Panggung Zaman” (Buku 2), dan “Potret Teater Alam, Warna-warni Testimoni” (Buku 3).

Dua minggu kemudian, tepatnya 3 Januari 2019, acara potong tumpeng memperingati Ultah Teater Alam ke-47, kian bermakna dengan dua agenda yang menyertai. Pertama, grand launching buku Trilogi Teater Alam, dan kedua, Pidato Kebudayaan anggota Teater Alam yang menjadi satu-satunya profesor teater, Prof. Dr. Hj. Yudiaryani, MA.

Saat itu, Prof Yudi masih menjabat Dekan Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) ISI Yogyakarta. Ia membawakan pidato kerbudayaan berjudul ”Melacak Jejak Sumber Kreativitas Seni, Membangun Nilai-nilai Kebangsaan Indonesia”.

Acara yang berlangsung di Gedung Societet, TBY itu sangat menarik, dan mendapat apresiasi banyak pihak. Kolaborasi pidato Prof Yudi yang dibawakan secara teaterikal, ditingkah iringan musik etnik oleh Dr Memet Chairul Slamet, makin sempurna dengan set panggung, tata cahaya, dan permainan special effect.

Tidak berhenti di situ. Teater Alam terus bergerak dan berkarya.

Dalam salah satu ajang kumpul-kumpul di kediaman Azwar AN, terbetiklah wacana mempersiapkan pementasan selanjutnya. Spontan, Azwar menunjuk Prof Yudiaryani yang untuk memilih naskah, sekaligus menyutradarai.

“Ninik”, panggilan kecil Prof Yudi, menjatuhkan pilihan pada naskah klasik karya Tennessee Williams bertajuk ‘A Streetcar Named Desire’ yang telah diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar dalam judul ‘Pusaran’. Berkolaborasi dengan para mahasiswa binaannya di Jurusan Teater ISI Yogyakarta, pentas Pusaran pun digelar dua hari, 22 – 23 Juli 2019 di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta.

Sebuah pentas kolaborasi yang unik. Aktor kawakan seperti Meritz Hindra, Daning Hudoyo, Gola Bustaman, Dinar Saka, Gege Hang Andhika (Teater Alam), beradu akting dengan para mahasiswa Teater ISI. Rangkaian proses produksi “Pusaran” tak pelak menjadi sebuah role-model pentas kolaborasi antara seniman sanggar dan seniman akademisi. Sekali lagi, Teater Alam melakukan terobosan yang menjadi catatan penting dalam perjalanan sejarahnya.

Tak pelak, “Pusaran” adalah titik singgah dari dua lakon lain yang dipentaskan dalam dua tahun terakhir: Montserrat dan Oedipus Rex. Sadar-tidak-sadar, ketiga lakon yang sudah dan yang akan dipentaskan, semua naskah “impor”.

Oedipus Rex

Sabtu tanggal 18 Januari 2020 mendatang, kembali Teater Alam mementaskan naskah klasik karya Sophocles, Oedipus Rex. Patron Teater Alam, Azwar AN, “turun gunung” menyutradarai naskah drama tragedi Yunani terbaik sepanjang masa.

Pementasan kali ini didukung para aktor kawakan Teater Alam, seperti Tertib Soeratmo, Meritz Hindra, Gege Hang Andhika, Daning Hudoyo, Annastasia SH, dan lain-lain. Dr Memet Chairul Slamet kembali didapuk meracik penataan musik pementasan monumental tersebut.

Sinopsis

Lakon “Oedipus Sang Raja” adalah lakon tragedi-romantik yang mengisahkan perjalanan hidup Oedipus dalam mengalami kejayaan dan keruntuhannya.

Pada saat itu Thebes dilanda huru-hara. Wabah, kelaparan, serta kemandulan menyerang negeri itu. Rakyat menderita. Dalam penderitaannya itu rakyat mengalami kegoncangan-kegoncangan batin juga kepercayaannya terhadap raja Oedipus. Tiada kepastian dalam diri rakyat.

Konon kesengsaraan yang menimpa kerajaan Thebes adalah akibat kemurkaan dewa karena pembunuh raja Laius belum dihukum. Semua orang termasuk Oedipus meraba-raba dan mencari siapakah sebenarnya pembunuh Raja Laius.

Dalam keadaan demikian datanglah pendeta Teirisias. Sekali lagi Pendeta Teirisias memperingatkan Oedipus akan ramalan-ramalan yang sudah dijatuhkan dewa-dewa kepadanya. Oedipus berang, dan menuduh Pendeta Teresias telah membuat ramalan-ramalan palsu yang tak berdasar, atas kehendak dari Creon, putra mahkota kerajaan Thebes, saudara putri Yocasta.

Pertentangan-pertentangan di dalam istana makin memuncak. Creon yang dituduh hendak merebut singgasana kerajaan telah diusir oleh Oedipus dari istana, tetapi telah dibela oleh Yocasta.

Suasana semakin memuncak, orang terus mencari-cari siapakah sesungguhnya pembunuh raja Laius. Dan pada saat itu, Oedipus mulai mengalami kegoncangan-kegoncangan batin. Teringatlah ia akan ramalan-ramalan Dewa Apollo yang dijatuhkan terhadap dirinya, bahwa ia kelak akan mengawini ibu kandungnya dan membunuh ayahnya sendiri.

Teringat pulalah ia bagaimana ia berusaha menghindarkan diri dari segala ramalan dewa mengenai dirinya, dengan jalan meninggalkan kerajaan Korinthe.

Pada akhir cerita diketahuinyalah seluruh rahasia, yang menyelubungi selama ini. Dialah sesungguhnya yang telah membunuh Raja Laius, ayahnya sendiri, yaitu orangtua yang dijumpainya dalam perjalanan melarikan diri dari Korinthe. Oedipus sendirilah yang mengawini ibu kandungnya yaitu Ratu Yocasta, janda dari orangtua yang dibunuhnya dalam perjalanan.

Adapun Oedipus sendiri sesungguhnya anak laki-laki yang telah dibuang oleh Yocasta ke kaki gunung Kitahron, tetapi ditemukan dan dipelihara oleh seorang gembala yang kasihan melihat bayi tak berdosa itu. Bayi itu kemudian diberikannya keada seorang gembala lain di Korinthe yang menjadi abdi raja Laius yang kemudian diakuinya sebagai anak sendiri oleh Sang Raja.

Setelah rahasia terbuka, tahulah Yocasta bahwa Oedipus adalah anaknya sendiri. Yocasta kemudian mengakhiri hidupnya dengan tangannya sendiri. Oedipus membuat dirinya menjadi buta dengan menusukkan jarum berkali-kali ke kedua belah matanya, takut dan ngeri melihat akibat dari ramalan yang menimpa dirinya.

Creon kemudian datang, bukan untuk membalaskan dendam kepada Oedipus, tetapi minta agar Oedipus tetap tinggal di istana. Tetapi Oedipus menghendaki agar dirinya dibuang. Sebelum pergi Oedipus memohon satu permintaan kepada Creon yang kemudian diluluskan, yaitu bertemu anaknya, hasil perkawinan dengan ibu kandungnya, Yocasta. (rr)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *