Connect with us

Feature

Nirwana Nyata di Bumi Kanekes

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Senja tampak lembayung di Bumi Kanekes, salah satu desa Baduy Luar, yang ada di Kabupaten Lebak, Banten. Rumah-rumah yang berjejer rapih di kampung Kadu Ketug I,  sudah banyak yang menutup pintu. Jalan setapak bebatuan pun terlihat kosong. Tidak tampak kesibukan lalu-lalang manusia. Hanya satu dua rumah yang masih “memajang” kain tenun di halaman rumahnya.

Rumah mereka adalah rumah panggung dengan atap daun Kirai dan dinding bambu. Tidak ada hiasan warna-warni. Di antara sekatan rumah ada lorong, pemisah rumah yang satu dan lainnya. Rumah tampak sama. Tak ada yang yang menonjol di antara yang lain.

Kehidupan yang sederhana dan tenang. Itulah kehidupan di Baduy. Orang Baduy menyebut dirinya Urang Kanekes atau Orang Kanekes. Karena memang, lahan mereka berada di Desa Kanekes, di Kecamatan Leuwidamar, Lebak. Mereka adalah suku asli dari Banten, dikenal dengan adat istiadatnya yang masih kental.

Kp Kadu Ketug 1, Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten. (foto: ist)

Kampung Kadu Ketug I adalah kampung pertama setelah melewati Perbatasan Ciboleger yang jaraknya hanya 200 meter. Ciboleger disebut perbatasan, karena di tempat inilah batas pembangunan. Baik jalan raya dan terminal yang dibangun pemerintah. Di Ciboleger, kehidupan masyarakat berjalan pada umumnya. Di sinilah batas antara kehidupan masyarakat umum dengan kehidupan tradisional suku Baduy.  

Ciboleger hanya menjadi lintasan menuju kampung-kampung di tanah Kanekes. Setelah Kadu Ketug I, selanjutnya Kadu Ketug 2, Kadu Ketug 3, Kampung Balingbing, Kampung Marengo, kemudian Kampung Gajeboh. Kampung Gajeboh adalah tempat kelahiran Narman. Sedang Kampung Marengo adalah tempat tinggal Narman saat ini bersama keluarganya.

Di setiap kampung, bentuk rumah dan suasana lingkungan semua, sama. Di Baduy tidak ada instalasi listrik, tidak ada jalan untuk kendaraan, tidak ada bangunan dari beton. Jalur untuk jalan kaki pun berliku. Semua sederhana dan kehidupan bersatu dengan alam.

Kampung terdekat dengan perbatasan, 200 meter saja, tidak membuat warga di Kampung Kadu Ketug ikut menikmati kehidupan modern. Mereka tidak terkontaminasi. “Mungkin ada pengaruhnya, tapi sangat sedikit,” ujar Narman. Pengaruh nyata adalah pada akses terhadap kebutuhan sekunder. “Jika dekat perbatasan, lebih mudah mencari kebutuhan sekunder. Sementara yang lebih jauh, tentu lebih sulit. Jalan kaki di jalan setapak yang berliku. Memerlukan waktu tempuh yang lama,” papar Narman.

Penulis di tengah Kp Kedu Ketug 1, Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten. (foto: jayakarta news)

Keutuhan Tradisi   

Berbincang tentang kehidupan sehari-hari suku Baduy, menurut Narman, suku Baduy tidak pernah meninggalkan kemurnian adat dan tradisinya. Justru suku ini begitu menjaga keutuhan tradisinya. “Seluruh tradisi di suku Baduy, harus dijaga, tidak boleh ditinggalkan. Karena terbukti, memberikan jaminan hidup, kelayakan hidup, kerukunan masyarakat, keamanan, dan terjadinya hubungan antar masyarakat yang baik, ekonomi pun terjaga. Tidak ada yang kelaparan, tidak ada pengemis di Baduy, tidak ada gembel dan lain sebagainya, itu semua berkat tatanan adat yang kita lestarikan,” tutur Narman.   

Namun demikian, ada satu konsep yang penting bagi suku Baduy, yaitu “Teu Wasa” yang artinya “Saya Tidak Berdaya”. Konsep “Teu wasa” yang dimaksudkan dengan tak berdaya ini bukan karena kondisi yang lemah, bukan tak berdaya dalam artian yang sempit. “Melainkan kami orang Baduy diajarkan hidup jujur, rendah diri, menahan nafsu, saling melindungi dan menjaga sesama, mengedepankan kepentingan bersama dibandingkan pribadi, dan manusia itu sendiri bukan apa-apa di hadapan Tuhan. Jadi konsep yang kami pelajari yang terpenting adalah teu wasa.”

Sebab itu, cita-cita Narman untuk gernerasi anak-anaknya kelak adalah, tetap menjadi orang Baduy seutuhnya. “Saya ingin anak-anak saya menjadi orang Baduy seutuhnya. Mengingat tugas dan kewajiban orang Baduy sudah jelas mulia dan sangat berharga, mahal nilainya.”

Narman mencontohkah, mungkin di luar Baduy, ada yang punya cita-cita ingin jadi dokter, pilot, pejabat dan lain sebagainya. Saya lebih memilih untuk menjadi orang Baduy yang tahu siapa dia, tahu apa kewajibannya, tahu benar, tahu buruk, dan memiliki jiwa kuat dan tangguh, tetap dalam aturan adat, karena di adat Baduy bukan hanya tentang berbudaya, melainkan kami di ajarkan untuk hidup sehidup-hidupnya.”

Narman mengakui, dia sangat setuju dengan pelarangan sekolah atau pendidikan formal bagi anak-anak Baduy. “Karena melihat dari tugas utama orang Baduy itu sendiri yaitu Bertapa. Orang Baduy tidak ditugaskan untuk ikut kedalam kompetisi dunia, tidak untuk meramaikan dunia. Orang Baduy lebih memilih bertapa dan menjaga tradisi dengan utuh,” ujarnya lagi.

Jika orang Baduy sekolah, kata Narman, maka kegiatan sekolah itu menuntut untuk berkompetisi dan bersaing di dunia. Ini akan menghasilkan masyarakat yang tidak lagi sederhana.

“Namun dilarang sekolah bukan berarti tidak boleh Belajar. Kami di Baduy sudah memiliki sistem pendidikan sendiri bagaimana masyarakat bisa hidup dengan tatanan yang benar.  Saya membantu membuat UKM bukan untuk membuat orang Baduy kaya raya, tapi ini hanya sebatas kewajiban manusia saja yang harus juga memiliki pekerjaan dan membantu sesama,” paparnya.

Selama ini, katanya lagi, “Saya berfikir pendidikan di Baduy jauh lebih bagus untuk perkembangan ahlak, sikap dan perilaku hidup jujur dan kedepan akan sangat relevan.” Karena itulah Narman lebih memilih mendidik anak-anaknya sendiri.

Narman, menuturkan tradisi Baduy. (foto: ist)

Berdampingan Dengan Alam

Narman menolak jika ada yang mengatakan bahwa Baduy adalah suku yang terasing atau suku yang tidak maju. “Suku Baduy bukan suku terasing. Orang Baduy tahu persis akan masa depan dunia yang rakus, maka di buatlah sistem adat yang sederhana, untuk memberikan sisi edukasi bahwa hidup berdampingan dengan alam adalah keharusan bagi seluruh manusia agar bisa tetap hidup di dunia ini lebih lama lagi.”

Ia mencontohkan tentang isu global warming yang tidak pernah viral, sementara orang Baduy sudah memahami betul akan perubahan iklim yang sangat ditakutkan itu. “Kami sejak kecil sudah di ajarkan dampak-dampak dari pembalakan hutan dan lain sebagainya. Ini bukti kami bukan suku terasing.” 

Memaknai Baduy, katanya, haruslah secara utuh. “Masyarakt umum, masyarakat luar harus tahu bahwa orang Baduy itu memiliki tugas yang penting, bukan hanya penting menjaga adat istiadat tradisi, tapi di dalam adat dan tradisi itu ada kewajiban untuk menjaga hutan agar tetap utuh, sungai agar  tetap bersih, ahlak manusia agar tetap benar, mana salah, mana benar, kebaikan, kebijaksanaan, kesederhanaan, yang menghasilkan suatu budaya atau kelompok masyarakat yang harmonis, damai, tidak ada kriminalitas, makmur, sejahtera, saling menjaga, saling menghormati dan lain sebagainya.”

Masyarakat adat Baduy, mereka hanya hidup untuk kebutuhan hidupnya saja. Jalan kaki tanpa sendal, misalnya, kata Narman, bukan karena tidak mampu yetapi bagian dari cara manusia menghormati bumi. “Bayangkan tiap inchi bumi kita rasakan. Kita tahu denyut nadi bumi, tempat tinggal kita di sini. Kita merasakan cinta alam dan lingkungan. Kebijaksanaan masyarakat adat Baduy inilah yang harusnya bisa dikenalkan ke masyarakat banyak.

Masyarakat Baduy hidup dengan banyak filosofi luhur. (foto: jayakarta news)

Hidup Urang Kanekes

Dengan semangat Narman menggambarkan kehidupan yang dijalani suku Kanekes ini, sehari-hari. ”Bangun pagi, hirup udara segar lalu berjalan untuk pergi ke sungai. Di perjalanan kita bertemu warga lain dan bertegur sapa ramah. Setibanya di sungai, lihat lah air bersih mengalir.  Dan, rupanya masih ada tetangga lain yang sedang membersihkan diri untuk menyegarkan badan yang lumayan kaku tidur semalam suntuk. Selesai mandi kami pun pulang ke rumah dan istri mempersiapkan makanan dengan masak di atas tungku api yang menggunakan kayu bakar kering yang di ambil dari hutan.

Kami pun makan dengan bahan makanan yang di kukus, rebus, bakar dan ada beberapa yang di goreng. Nikmat sekali dengan suasana lingkungan yang tenang, tidak ada suara berisik di luar. Lalu setelah selesai makan kami berangkat untuk pergi ke kebun, di tengah perjalanan kami dihibur oleh suara nyanyian burung dan seranggga. Perjalanan pun terasa ringan.

Setiba di kebun kami ambil golok, arit, alat-alat sederhana untuk bekerja tanpa harus merusak alam. Kerjaan pun dilanjutkan hingga matahari condong ke barat, dan kami pulang dengan membawa beberapa bahan makanan seperti sayuran, bumbu dapur seperti kencur, kunyit atau jahe. Tak lupa ambil kayu dahan kering untuk kayu bakar di rumah nanti.

Setibanya di rumah, istri memasak lagi dan kami mandi ke sungai. Dan kegiatan harian orang Baduy selesai jam 17:30 sore. Setelahnya tidak ada lagi yang bekerja. Semua istirahat dan selagi menunggu kantuk sekitar jam 19.00 – 20.00 malam kami pun mengobrol dan membagi kisah. Anak-anak bisa mendengarkan dan sesekali orang tua memberikan bimbingan di kesempatan itu. Jam 21.00 malam suasana Baduy sudah sunyi, semua orang istirahat. Maka tidak heran, orang Baduy sehat karena 3 faktor kebutuhan dasar hidup sehat tercukupi: makan makanan sehat, kegiatan fisik dan istirahat cukup.

Membayangkan penggambaran dari warga Baduy Luar ini, betapa nikmatnya kesederhanaan hidup yang dijalani masyarakat adat Baduy. Menghargai sesama, menghormati alam. Mirip tradisi Bali Kuno yang disebut Tri Hita Karana. Inikah nirwana yang nyata? (Melva Tobing)

Judul Terkait

“Baduy Craft”, Berburu Sinyal ke Ciboleger

Video Terkait

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *