Kabar
Kenapa Daur Ulang Plastik Isu Susah?
JAYAKARTA NEWS – Kampanye daur ulang plastik bisa dibilang sedang ramai-ramainya di televisi kita. Dikabarkan, plastik bekas, yang dikumpulkan, bisa diubah menjadi berbagai barang kebutuhan mulai dari bantal bahkan bahan campuran aspal jalan.
Limbah plastik memang sangat mengkuatirkan, bahkan di Antartika sudah diketahui limbah nano-plastik (butiran sangat kecil) sudah dideteksi ada dalam salju yang turun. Padahal banyak peneliti merasa tidak akan ada limbah plastik di tempat itu. Jadi bisa dikatakan, kita, manusia, sudah benar-benar dilingkupi limbah plastik.
Karena itu, kita, semua orang, diminta untuk memilah limbah dan menyisihkan limbah plastik ke dalam tempat khusus untuk kemudian didaur ulang untuk berbagai barang keperluan sehari-hari.
Pertanyaannya, Apakah upaya daur ulang ini bisa berhasil?
Menurut data BPS tahun 2021, limbah plastik di Indonesia sudah mencapai 66 juta ton per tahun. Pada tahun 2028 lalu, Indonesia sudah dinobatkan menjadi “penyumbang” sampah plastik di laut terbesar di dunia. LIPI, tahun 2018, memperkirakan sekitar 0,26 juta – 0,59 juta ton limbah plastik mengalir ke laut. Angka-angka ini jelas menakutkan.
Mengutip tulisan Judith Enk, mantan pejabat lingkungan hidup Amerika dan dosen di Bennington College dan juga Ketua LSM Beyond Plastic, yang ditulis di Atlantic. Dia menyebutkan ada beberapa hal yang membuat susah sekali mendaur ulang plastik dan cenderung gagal. Di antaranya;
Ada ribuan jenis plastik dengan komposisi dan karakteristiknya masing-masing. Selain itu, tiap jenis juga mengandung tambahan kimia yang berbeda-beda serta warna berbeda-beda. Akibatnya, mereka tidak bisa didaur ulang bersama-sama.
Akibat lain, tidaklah mungkin kita mampu memilah tiap jenis plastik (komposisi kimia, bahan kimia tambahan, dan pewarna) dari ribuan ton plastik yang dibuang oleh Jakarta, misalnya. Contoh, botol polyethylene terephthalate (PET#1) tidak bisa dicampur, dalam proses daur ulang, dengan PET#1 clamshell, yang punya materi PET#1 berbeda.
Botol PET#1 berwarna hijau tidak bisa didaur ulang bersama botol PET#1 bening. Itu baru satu jenis PET#1. Kemudian, contoh lain, High-density polyethylene (HDPET#2), polyvinyl chloride (PVC#3), low-density polyethylene (LDPE#4), polypropylene (PP#5), dan polystyrene (PS#6) semua jenis plastik ini harus didaur ulang secara terpisah.
Kalau kita melihat keemasan makanan cepat saji, kita akan menemukan berbagai jenis plastik, termasuk PET#1, HDPE#2, LDPE#4, PP#5, dan juga PS#6 (atau gelas plastik), kantung, dan juga sendok garpu plastik. Masing-masing plastik ini kalau mau di daur ulang harus dipilah-pilah.
Tempat atau pabrik daur ulang plastik, jika memungkinkan, akan dipenuhi oleh tumpukan besar limbah plastik, yang harus dipilah-pilah. Plastik adalah bahan yang mudah terbakar, hingga memberi resiko tersendiri di pabrik itu dan juga kawasan sekitarnya. Ini juga menambah kompleksitas upaya daur ulang.
Plastik, tidak seperti gelas atau metal, akan menyerap bahan-bahan beracun. Seperti kantung plastik yang berisi cairan pembasmi nyamuk — yang selalu kita pakai dan lihat di pasar. Plastik akan menyerap racun serangga itu. Selain itu, plastik yang diambil dari tempat sampah juga menyerap berbagai bahan kimia yang ada di tempat sampah tersebut. Jadi ada resiko plastik daur ulang mengandung racun. Akibatnya, seperti pemerintah Kanada, misalnya, sudah melarang penggunaan plastik daur ulang untuk membungkus bahan pangan.
Daur ulang plastik tidak ekonomis. Biaya daur ulang plastik lebih mahal daripada plastik baru. Karena ada biaya pengumpulan, pemilahan, transportasi, dan proses daur ulang plastic, telah terbukti sangat mahal. Disisi lain, indutri petrokimia berkembang pesat sehingga harga plastik baru jadi makin murah.
Kendati ada poin-poin penting mengenai sukarnya daur ulang plastik. Tetap saja usaha daur ulang plastik diupayakan, yang sekarang terkenal masuk dalam sistem ekonomi sirkular. Namun ini belum cukup. Perlu kebijakan-kebijakan kuat dan penerapannya yang konsisten untuk mengurangi penggunaan plastik dan mempromosikan bahan-bahan non-plastik, yang mudah terurai secara biologis.
Langkah lain, larangan produksi plastik yang hanya sekali pakai (kantung kresek dan banyak wadah makanan — misalnya). Kemudian pastikan banyak tempat-tempat pengisian air minum botol (bukan plastik) yang terkenal dengan sebutan galonisasi di sekolah-sekolah dan tempat-tempat umum.
Mendorong anak-anak sekolah membawa bekal sendiri, yang kalaupun tempatnya plastik bukanlah plastik sekali pakai. Demikian juga mengalihkan penggunaan wadah pangan plastik sekali pakai ke wadah lain, seperti kertas atau plastik yang bisa dipakai berulang kali. Harapannya dengan cara-cara ini pemakaian plastik berkurang dan pada akhirnya digantikan dengan bahan non-plastik. (leo)