Connect with us

Kabar

Ke Mana Dana Desa Mengalir di Tanimbar?

Published

on

Suasana bongkar muat di Pelabuhan Larat, Tanimbar.

Catatan Redaksi

Redaktur Senior Jayakarta News, Sergius Mitakda, mengikuti kunjungan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Mochamad Basoeki Hadimoeljono di Kepulauan Tanimbar pada 10 dan 11 Januari 2019. Ia menurunkan catatannya dalam lima tulisan. Berikut tulisan ketiga.

 

JAYAKARTA NEWS – Cuaca sangat bersahabat melingkupi dua hari kunjungan Menteri Sri Mulyani dan Menteri Basoeki Hadimoeljono di Tanimbar. Seharusnya, tamu terhormat ini disambut hujan deras ditingkahi angin barat yang kencang dan gemuruh ombak yang menghatam sisi barat tepian pantai dari 206 pulau, 57 pulau di antaranya berpenghuni ini. Dengan begitu, kedua Menteri akan dapat merasakan dan mendapatkan pengalaman cuaca ekstrim di sini.

Pola cuaca dan iklim ini sengaja diulas agar kita mendapat gambaran, betapa keadaan alam di sini mendatangkan banyak persoalan dan biaya tinggi. Iklim berpengaruh langsung terhadap interaksi dan mobilitas masyarakat serta distribusi barang dan jasa, terutama daerah dan pulau-pulau yang masih terisolir. Pembangunan jambatan Wear Arafura sangat membantu mengatasi hambatan jalur distribusi antar pulau, antar kecamatan dan desa di sebagian Tanimbar yang pada gilirannya akan menekan harga sehingga inflasi dapat ditekan.

Puncak musim hujan yang terjadi di daerah Terbelakang, Tertinggal dan Terluar ini terjadi pada Desember, Januari, dan Februari. Sebelum Natal dan Tahun Baru, kepulauan ini sudah memasuki musim penghujan, digujur hujan lebat silih berganti, ditingkahi angin barat sangat kencang. Oktober dan November merupakan penghujung musim panas, saat mana masyarakat baik secara pribadi maupun berkelompok memasuki musim tahan sekali setahun yang secara tradisional sudah berlangsung turun-temurun.

Mereka membuka ladang dengan cara membakar lahan yang kerap membawa bencana kebakaran di mana-mana. Masa panen raya hanya berlangsung satu kali dalam setahun, yakni di bulan   Agustus, awal musim panas yang singkat. Oleh karenanya, bila tidak ada terobosan baru, akan sulit bagi Tanimbar untuk mencapai swasembada pangan lantaran pola tanam dan sistem pengairan tidak mendukung serta sangat sulit merubah kebiasaan mereka hanya satu kali panen menjadi petani modern yang setiap hari panen.

Pulau Yamdena utara umumnya datar dengan ketinggian kurang dari 50 m dan daerah perbukitan di bagian selatan tingginya melebihi 200 m. Tanimbar memiliki tiga satuan morfologi yaitu perbukitan, dataran rendah, dan teras/undak, daerah perbukitan  di Pulau Labobar dengan puncak tertinggi mencapai lebih dari 300 m di atas permukaan laut. Di pulau Yamdena bagian tenggara terdapat perbukitan bergelombang dengan ketinggian mencapai 260 m dengan dataran paling tinggi di Nirunmas, 300 meter.

Dataran rendah mengikuti aliran sungai dan yang terpanjang terdapat di sepanjang sungai Ranarmoje, Kecamatan. Di utara Pulau Yamdena terdapat sederet pulau–pulau kecil yang dipisahkan selat dangkal dengan kedalaman tidak lebih dari 20 m. Apabila terjadi pasang surut, terbentuklah daratan kering yang luasnya bisa mencapai setengah kilometer dari tepi pantai Yamdena.

Iklim di wilayah Tanimbar sangat dipengaruhi sirkulasi angin musim yang bergerak dari dan ke arah ekuator. Sehingga, iklimnya berpola ekuatorial yang dicirikan bentuk pola hujan yang bersifat bimodal atau dengan dua puncak hujan yang oleh masyarakat setempat disebut musim barat dan musim timur. Musim barat terjadi pada bulan Desember dan Januari dan musim timur yang terjadi antara bulan April hingga Mei, ditingkahi hujan deras disertai angin timur yang menghantam pantai timur pulau Selaru, Yamdena, Larat dan Fordata.

Selama periode April – September, sirkulasi udara didominasi oleh angin pasat tenggara atau angin timur dari Australia yang dingin dan relatif kering. Sehingga kurang mendatangkan hujan, terutama pada bulan Juli, Agustus, dan September. Selama periode ini, angin pasat timur laut berhembus dari lautan pasifik dan Asia yang lembab dan panas.

Angin bertiup dengan kecepaten 260 m secara dominan dan konvergen menuju ekuator. Kemudian berubah arah menjadi barat laut atau angin barat menuju bagian selatan ekuator, diantaranya melewati laut Banda yang cukup luas. Angin tersebut banyak mengandung uap air yang tercurah sebagai hujan cukup tinggi di Tanimbar pada bulan Desember, Januari, Februari dan Maret.

Suhu tertinggi terjadi pada November atau awal Desember mencapai 29 derajat Celsius. Sementara suhu terendah terjadi pada April sebesar 26,5 derajat C dengan tipe iklim agroklimat  Maluku, gugusan pulau di Tanimbar memiliki lima hingga enam bulan basah dan empat hingga lima bulan kering. Kondisi ini memungkinkan dapat dikembangkannya sebuah sistem pertanian dengan pola tanam yang mampu

Kabupaten yang tinggal menunggu restu Presiden untuk berganti nama menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar ini memiliki 10 Kecamatan, 1 Kelurahan dan 80 Desa serta lima Dusun yang saat ini dihuni oleh sedikitnya 125.000 jiwa. Seluruh Desa di Tanimbar mengambil lokasi di tepi pantai kecuali, Dusun Wesawak. Dusun di Kecamatan Tanimbar Selatan ini berada di tengah pulau Yamdena, dihuni oleh para transmigran lokal untuk membuka lahan pertanian di sana sejak awal 1980.

Sebagian besar atau separuh penduduk bermukim di pesisir pantai timur Pulau Yamdena dan Larat yang kini sudah terhubung dengan pertumbuhan yang cenderung menurun. Pada 2015, lima Kecamatan yang berada di sisi timur yakni, Tanimbar Selatan, Tanimbar Utara, Nirunmas, Kormomolin dan Wertambrian, jumlah penduduknya sudah mencapai 81.271 jiwa dari total 120.985 jiwa, tahun 2016, turun menjadi 79.930 jiwa dari keseluruhan 121.971 jiwa. Sementara pada 2017, naik tipis menjadi 80.465 orang dari 123.831 penduduk Tanimbar.

Akses jalan yang dimiliki pada lima kecamatan ini sudah baik dan saling terhubung dengan adanya proyek jalan Trans Yamdena yang tergolong mulus. Saat ini sudah tidak ada lagi hambatan dalam distribusi barang dan jasa serta mobilitas penduduk. Hambatan yang ada justru pada kontur dan struktur tanah yang bergelombang dan berbukit-bukit serta agak terjal di pesisir sehingga menimbulkan persoalan dalam bercocok tanam.

Hambatan lain dari penduduk yang bermukim di pantai timur ini adalah iklim dan cuaca, yang pada musim barat dengan curah hujan yang tinggi, secara tradisi, mereka tidak berladang. Harapan hidup sebagai nelayan mereka gantungkan pada laut yang sangat bersahabat di sepenjang pesisir timur yang teduh. ‘Masa tenang’ itu tidak berlangsung lama, hanya Desember dan Januari dan masa pancaroba selama Februari, setelah itu, angina timur yang kencang akan berkecamuk hingga masa pancaroba pada November.

Sebenarnya, hambatan alam berupa gelombang tinggi dapat saja diatasi dengan berpindah lokasi ke pantai barat yang ‘damai’. Namun, inilah masalah Tanimbar dalam mana tidak ada yang berjiwa pelaut sehingga mampu mengatasi tantangan alam yang terus berlangsung sepenjang hidup. Justru keuntungan diambil oleh para pelaut Buton, Bugis dan Makasan yang menjual hasil tangkapan mereka dengan harga yang membumbung tinggi.

Kodisi berbeda dialami oleh mereka yang bermukim di lima Kecamatan di belahan barat yang terdiri dari pulau-pulau kecil mulai dari Kecamatan Selaru di selatan, Wermaktian, Wuarlabobar, Molu Maru dan paling utara sisi barat, Kecamatan Yaru. Kecamatan Wermaktian dan Wuarlabobar sebagian berlokasi di Pulau Yamdena, namun masih belum terhubung dengan Trans Yamdena, kecuali ke Batu Putih  (Wermaktian), 50 km arah barat laut Saumlaki. Mereka memiliki masa tangkap (ikan) yang lama (Maret – November) dan sebagian besar landai, namun mereka terkenda akses transportasi lantaran banyak daerah masih terisolir.

Kapal Leuser, PT Pelni yg melayani rute Tanimbar – Merauke. (Foto: Sergius Mitakda)

Ada sebuah kapal Fery milik PT. Kidabela yakni KNP Egron yang melayani kawasan ini dan singgah di ibu kota kecamatan Siera, Wunlah, (singgah di Larat) terus ke Romean dan berakhir di Adodo Maru dengan masa tempuh normal tiga hari. Hanya ibukota Kecematan Selaru yang tidak dilayani kapal ferry milik perusahaan daerah (BUMD) lantaran sudah banyak motor laut yang secara regular memperlancar angkutan penduduk, barang dan jasa ke dan dari ibukota Kabupaten, Suamlaki. Kencati sudah ada kapal ferry yang menghubungi ibukota kecamantan di pesisir barat, pelbagai persoalan masih dialami penduduk yang desa-desa terpencil, terutama pada saat musim barat antara Desember hingga Februari.

Kapal Ferry ini melayani kebutuhan dari 39.614 jiwa pada 2015 yang meningkat cukup tinggi setahun setelahnya menjadi 42.041 jiwa dan pada 2017 mencapai 43.366 jiwa. Mereka menggantungkan hidup mereka dengan menggarap lahan dan memanfaatkan laut dengan menanam rumput laut. Kendati masa untuk melaut sangat panjang, para nelayan Tanimbar tidak mampu bersaing dengan nelayan profesional asal Buton, Bugis dan Makasar, lengkap dengan peralatan tangkap yang standard.

Dengan begitu, masalah cuaca, sarana perhubungan dan kebiasaan penduduk menjadi hambatan utama dalam memajukan Kepulauan Tanimbar yang masih terbelakang, tertinggal dan terluar. Sebagian besar masyarakat agraris ini menggantungkan hidup merepa pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Selama 2017, bila dilihat dari sisi Produk Domestik Regional Bruto pada harga yang berlaku Rp. 2,29 trilyun atau harga konstan sebesar Rp. 1,5 triliun, sektor ini hanya tumbuh 5,31% dan hanya menyumbang 19,68%.

Sektor yang paling dominan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dengan harga konstan selama 2017 yang mencapai 5,98% itu adalah sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar 34,73% yang tumbuh cukup moderat, 6,77%. Sektor Konstruksi dan Perdagangan serta Jasa Pendidikan di bawahnya masing-masing dengan 14,25%, 8,87% dan 3,5%. Sementara pertumbuhan paling tinggi dicatat oleh sektor informasi dan telekomunikasi dengan 8,12%, disusul pengadaan air, pengolahan sampah dan daur ulang, 7,66% dan perdagangan besar dan eceran, 7,1%.

Salah satu komponen penting pada sektor pertahanan adalah hadirnya seluruh angkatan dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia dan Brigade Mobile dari jajaran Kepolisian di Tanimbar. Jasa non-excludable ini memiliki arti penting dalam menjaga daerah terluar dan terpencil dengan ratusan pulau yang umumnya tidak berpenghuni. Kini, tergantung ‘kelincahan’ Pemerintah Daerah memanfaatkan kehadiran garda terdepan pertahanan semesta ini dengan cerdas.

Mengakhiri kunjungannya di Tanimbar, Sri Mulyani berjanji akan memberikan perhatian khusus kepada Tanimbar yang memiliki banyak pulau dengan pelbagai persoalan yang menyertainya. “Bantuan akan kami tingkatkan terutama Dana Desa yang akan memberi stimulus bagi peningkatan pembangunan di sini. Tinggal bagaimana pengawasan ditingkatkan agar bantuan ini dapat mendorong kemajuan pada tingkat yang paling bawah,” ujar Menteri Keuangan menandaskan.

Sebegitu jauh, Tanimbar sudah memperoleh kucuran Dana Desa sebesar Rp. 345 miliar dalam empat tahun terakhir sejak 2015. Kebijakan Presiden Joko Widodo dengan Nawacita ini pada 2015, Dana Desa yang disalurkan hanya 33,7 miliar, ditambah lagi dengan Rp 30 milyar menjadi Rp. 63,7 miliar pada 2016. Sejak 2017 hingga 2018, janji Presiden untuk memberikan setiap desa Rp. 1 milyar sudah terlaksana dengan masing-masing Rp. 124,4 miliar dan Rp. 123,1 miliar.

Dana besar yang masuk ke Tanimbar hanya “mampir sebentar” untuk terjadi out flow lantaran hampir semua komponen pengeluaran penduduk setiap bulan di sini sebesar Rp. 745.380,00, dipasok dari luar daerah. Contoh, padi-padian dipasok dari seluruhnya dari luar daerah sebesar 21,91%, makanan dan minuman jadi, 16,61% dan rokok 12,01%. Ikan dan udang yang diperoleh dari laut di seputar Tanimbar memang menyumbang 16,39% namun sektor ini didominasi pendatang.

Hanya umbi-umbian dan buah-buahan yang menjadi andalan produk yang dihasilkan oleh orang Tanimbar, hanya memasok 4,04% dan 2,26%. Minyak dan kelapa memberi kontribusi sebesar 3,21%, namun sebagian ke luar karena minyak kemasan didatangkan dari luar daerah. Daging, telur dan bumbu hampir seluruhnya dari luar, bahkan cabai dengan harga Rp. 120.000,00 setiap kilogramnya didatangkan dari Ambon dan Jawa.

Oleh karenanya, sulit dipercaya bahwa ada Desa yang sudah swasembada di Tanimbar sejak 2016 sebanyak lima Desa dan meningkat lagi menjadi enam Desa pada 2017. Entah kriteria apa yang dipakai sehingga sudah ada yang swasembada di tengah pemenuhan hampir seluruh kebutuhan penduduk yang berasal dari luar. Sebab, pengeluaran untuk padi-padian yang didatangkan dari luar Tanimbar mencapai 21,9% dari pengeluaran per kapita selama 2017 yang mencapai Rp. 745.380,00.

Ke mana Dana Desa itu mengalir? Inilah pertanyaan besar yang harus dijawab lewat kajian mendalam. Harus ada penelitian, sejauh mana dana yang dikucurkan dari pusat ini mampu memberikan stimulus agar daerah ini bisa mengejar ketertinggalannya dari daerah lain. Secara kasat mata saja, kucuran dana desa ini hanya menimbulkan eforia pada masyarakat dengan ‘menghambur-hamburkan dana tersebut secara cuma-cuma.

Setiap desa sudah membentuk kelompok-kelompok usaha yang tumbuh secara bergantian dengan proposal yang berubah bentuk dan bidang usaha serta personil setiap tahun guna merebut dana. Tidak ada pembinaan dan juga evaluasi dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa apakah pemberian dana yang setiap tahun meningkat itu tepat sasaran. Sehingga, setiap desa setidaknya dapat mengatasi masalah mereka berdasarkan pada pengembangan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mereka miliki.

Masyarakat Tanimbar tidak disiapkan menerima dana yang “merupakan embun yang turun dari surga” ini. Persepsi masyarakat harus disatukan agar semangat membangun dalam kebersamaan dan gotong royong dapat tercipta. Misalnya, ke mana sasaran pembangunan Tanimbar di pesisir timur hendak diarahkan sesuai karakteristik daerah ini yang memiliki keterbatasan yang sudah dikemukakan di atas.

Pelabuhan Saumlaki, Tanimbar.

Bagaimana rencana one village, one product itu bisa terlaksana sehingga Tanimbar dapat menghadapi persaingan terbuka yang kian mengancam, akan tetapi menjadi peluang. Yang paling sulit adalah bagaimana merubah mental masyarakat Tanimbar yang terkenal suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Juga diberi pemahaman bahwa dana desa ini hanya bantuan politis yang ada jangka waktunya.

Semua pihak harus mengkaji ulang, apakah dana desa yang disalurkan dengan sebutan dana pemberdayaan masyarakat itu sudah tepat. Seharusnya disebut sebagai pemberian dana bergulir agar dapat digunakan sebagai modal dasar yang dikembangkan secara ekonomis untuk menghasilkan nilai tambah dan dikembangkan lagi usaha-usaha baru lainnya.

Frengky Limber, Ketua DPRD Maluku Tenggara Barat menyatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi adalah mempersiapkan masyarakat yang suka hidup senang dan serba harap gampang ini untuk dapat dimuka pikiran dan pemahanannya tentang dana bantuan ini. “Sumber daya alam yang ada tidak mampu dikelola karena keterbatasan sumber daya manusia. Pola pikir masyarakat harus dirubah agar bisa hidup ekonomis,” ujar politisi PDIP ini.

Ketua DPRD yang kembali mencalonkan diri ini menandaskan, dana desa di Tanimbar belum mencapai sasaran lantaran salah urus dengan managemen yang salah. Namun dia tidak mau merinci keselahan yang terjadi dan hanya menyatakan bahwa harus dicari jalan keluar agar tujuan pemberian dana ini tercapai. Sehingga Tanimbar dapat keluar dari pelbagai kesulitan dihadapi terutama lantaran salah urus seperti melemahnya daya beli masyarakat akibat out flow.

Pelbagai kelemahan dalam penyaluran dana desa yang tidak tepat sasaran antara lain, dana dibagikan begitu saja lewat persiapan seadanya kendati diadakan rapat musyawarah desa tidak bermutu untuk menetapkan jenis dan bidang usaha yang memperoleh bantuan. Tenaga ahli yang disiapkan pada tingkat provinsi, tenaga pendamping inovasi desa, teknik infrastruktur serta pendamping lokal, hampir tidak terlihat peranannya dalam upaya meningkatkan manfaat dari dana yang disalurkan. Terlihat betapa koordinasi dan singkronisasi baik dalam rencana, pelaksanaan dan pengawasan yang melibatkan para Camat, dan badan-badan yang melakukan kontrol tidak tampak.

Sementara di tingkat desa, warga berlomba-lomba menampung bantuan cuma-cuma ini, tahun pertama, sebuah kelompok yang dibentuk dan mengajukan proposal dengan bidang usaha petani. Setelah dana dikucurkan bukan untuk kepentingan kelompok, akan tetapi digunakan untuk kebutuhan pribadi. Tahun kedua dan ketiga, bidang usaha yang diajukan berbada sehingga sulit untuk mendorong usaha yang memenuhi unsur dan prinsip ekonomis.

Salah satu kelemahan adalah sebagian besar Desa di Tanimbar belum membentuk Badan Usaha Milik Desa yang akan bertindak sebagai pelaksana dalam memanfaatkan dana desa. Kelemahan yang tampak sangat mencolok adalah penetapan harga beli barang-barang menggunakan harga pokok pembelian di Saumlaki. Padahal, harga barang di sini sangat mahal, sementara kebijakan Toll Laut dikesampingkan untuk menekan harga.

Dengan begitu, kemungkinan untuk menemukan celah bagi mereka yang bermain-main dengan dana desa di Tanimbar, sulit ditemukan. Sacara kesat mata, belum ada usaha sebuah muncul sebagai penggerak utama kemajuan di desa, sementara dana mengalir deras tanpa mengawasan. Menteri Keuangan berjanji untuk meningkatkan dana desa, akan tetapi penyalurannya terkendala pada tahapan pelaksana tanpa pengawasan. (Bersambung)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *