Connect with us

Feature

Akankah Ada Koruptor Terjerat di Tanimbar?

Published

on

Pembangunan jalan di Tanimbar yang mengabaikan kualitas, dan tidak sesuai standar. (foto: sergius mitakda)

Catatan Redaksi

Redaktur Senior Jayakarta News, Sergius Mitakda, mengikuti kunjungan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Mochamad Basoeki Hadimoeljono di Kepulauan Tanimbar pada 10 dan 11 Januari 2019. Ia menurunkan catatannya dalam lima tulisan. Berikut tulisan kedua.

 

JAYAKARTA NEWS – Embun surga memang turun di Tanimbar. Sebagai ‘kawasan yang terlupakan’ dan jauh dari Jakarta, tenang-tenang mendayung dan boleh berbuat apa saja, melangkah dalam hening, nyaris tak terpantau. Perlu terobosan untuk meningkatkan pengawasan dan semua perangkat yang bertalian dengan rancangan awal dan tata kelola yang baik dan benar agar hasilnya maksimal, efektif dan efisien.

Wajar bila Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Mochamad Basoeki Hadimoeljono “marah besar”. Selesai mengadakan peninjauan langsung ke lapangan dalam rangka peresmian jembatan Wear Arafura di Larat, Kamis, 10 Januari 2019. Setibanya di hotel melati, tempat rombongan menginap, langsung diadakan rapat mendadak. Menteri mengesampingkan jamuan makan malam yang diselenggarakan Bupati di Pendopo kediamannya.

Menteri Keuangan juga tidak hadir dalam acara jamuan makan malam tersebut. Sri Mulyani mengaku kelelahan menempuh perjalanan berlika-liku sekitar 300 km. Yang hadir hanya Gubernur Maluku, Said Assagaff yang sebelum makan malam memberi sambutan.

Assagaff mengungkapkan, Menteri Pekerjaan Umum marah besar lantaran sebagian jalan negara yang dilaluinya di Tanimbar tidak sesuai standar yang ditetapkan. “Saya dan Bapak Bupati satu mobil bersama Bapak Menteri PUPR. Sengaja saya pancing Bapak Menteri, apakah beberapa jalan yang rusak karena pergeseran tanah atau karena tidak sesuai standar.”

Menteri kemudian menjawab pancingan Assagaff tadi dengan mengatakan bahwa kerusakan bukan lantaran pergeseran tanah atau kondisi alam. Akan tetapi karena mutu jalan yang dibangun tidak sesuai standar. Seharusnya, secara teknis harus diantisipasi dengan tepat sehingga kondisi alam yang ada dapat diatasi.

Persimpangan jalan HPH dan Trans Yamdena. (foto: sergius mitakda)

Pengerasan jalan di Kelyobar. Foto diambil pada 5 Agustus 2018. (foto: sergius mitakda)

Kerusakan jalan nasional itu terjadi antara Arma hingga Siwaan di Kecamatan Tanimbar Utara, separuh ruas jalan di antaranya dalam kondisi cukup memprihatinkan. Proses teknis yang seharusnya dipakai sebagai pedoman membangun jalan diabaikan, aspal lapisan atas pada permukaan sangat tipis dan tidak ada lapisan aspal dasar.

Pada jumpa wartawan sebelum bertolak ke Jakarta, Menteri Basoeki mengungkapkan bahwa jalan yang rusak di Kecamatan Tanimbar Utara, antara Arma dan Siwaan sepanjang 20 km. Kerusakan terjadi karena jalan dibangun dengan mengabaikan standar kualitas yang ditetapkan. Mungkin karena jauh dari pusat, mekanisme pengawasan guna menghindari keboccoran yang kerap terjadi, diabaikan.

Pembangunan jalan dan jembatan Kementerian PUPR melalui Balai Pelaksana Jalan Nasional 16 Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang berkantor di Ambon ini seharusnya bertanggug-jawab atas mutu jalan yang dibangun oleh kontraktor pelaksana. Seharusnya ada pengawasan melekat atas konstruksi jalan baru saja dibangun itu sehingga tidak terjadi kebocoran dana dalam jumlah besar. Berapa kerugian negara yang ditimbulkan lantaran salah urus dan selalu terjadi tambal sulam.

Mengapa proyek ini tidak masuk dalam pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jarak jangan dipekai sebagai alasan untuk tidak menetapkan tersangka atas upaya memperkaya diri dari banyak proyek yang menggunakan uang rakyat di negeri yang terlupakan ini. Masyarakat bisa juga dilibatkan dalam pengawasan di tingkat pelosok, tinggal dibekali beberapa tahapan dasar pengetahuan teknis dan regulasinya.

Menteri Keuangan dan Menteri PUPR berjanji akan meningkatkan pengawasan terhadap pembangunan proyek-proyek yang dibiayai negara. Pengawasan ini akan memungkinkan manfaat dari kehadiran proyek akan berdampak luas bagi peningkatan kesejahteraaan masyarakat. Menteri Keuangan memberi contoh pembangunan jembatan Wear Arafura akan memungkinkan isolasi daerah akan teratasi dalam jangka waktu 100 tahun, usia ekonomis jembatan tersebut.

Masih ada beberapa proyek infrastruktur yang tengah dan akan dibangun di Tanimbar seperti yang diungkapkan Menteri. Jalur jalan di Pulau Larat yang masih harus diselesaikan sekitar 30 km lagi hingga Desa Lamdesar Timur. Belun lagi proyek jalan dan jembatan di Pulau Selaru.

Jembatan Wear Arafura menjelang penyelesaian tahap akhir pembangunan. (foto: sergius mitakda)

Jalan naaional yang masih tergolong mulus di dekat Siwaan. (foto: sergius mitakda)

Hingga 2017, jalan negara yang sudah dibangun di Kabupaten Maluku Tenggara Barat mencapai 226 km. Kecamatan Tanimbar Utara mendapat alokasi yang paling banyak, 93 km dan di belakangnya adalah Kecamatan Nirunmas, 51 km,  disusul Wetambrian dengan 46,69  km. Sementara Selaru dan Tanimbar Selatan  memiliki jalan nasional masing-masing sepanjang 22 km dan 13,31 km.

Porsi Jalan Provinsi tercatat paling pendek di Tanimbar, jaraknya baru mencapai 40,50 km dan hanya di Kecamatan Wermaktian. Jalan Kabupaten cukup menonjol dengan panjang 351,83 km di seluruh Kecamatan. Kecamatan Nirunmas merupakan kawasan yang tidak tersentuh.

Pembuatan ruas jalan di Pulau Yamdena yang akan melengkapi seluruh jaringan jalan Trans Yamdena masih tersisa beberapa puluh kilometer lagi. Masih tersisa ruas jalan di jalur timur di dekat Siwaan yang akan dihubungkan dangan bagian barat pulau Yamdena untuk menjangkau Wunlah, ibukota Kecamatan Woarlabobar. Pengawasan harus dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan pada rintisan jalan yang tengah dilakukan.

Berbicara masalah tanah yang bagi orang Tanimbar diibaratkan sebagai Mama/Ibu, menyisahkan banyak kisah dan masalah dari masa ke masa. Pertikaian antar penduduk dan marga untuk mempertahankan hak atas tanah ulayatnya kerap terjadi hingga saat ini, setelah fungsi tanah sudah beralih dari sosial menjadi ekonomis dan bersertifikat. Di Tanimbar, tidak ada kepemilikan pribadi, semuanya milik Marga dan kelompok dalam Soa dan tanah menjadi pengikat dan simbol sosial kekerabatan.

Legenda ibu Itwata Resirenan yang dibelah kepalanya menandai pengorbanan guna mengakhiri sengketa tanah di Desa Watidal dan Keliobar di Kecamatan Tanimbar Utara. Alusi yang menurut legenda tempat tinggal Burung Geruda yang pada awal November 1958, Bung Karno singgah sebentar di Tangga Farano Desa Alusi Krawain yang ditandai dengan dibuatkan Kursi Soekarno ini, terdiri dari lima Desa di Kecamatan Kromomolin, kesohor lewat pertikaian yang tidak berujung dan bertepi dengan korban berguguran hampir sepenjang waktu. Namun, akhir-akhir ini sengketa itu sudah mulai diatasi.

Tugu Resirenan di Kelyobar (kiri). Resirenan dibelah kepalanya untuk mendamaikan warga yang bersengketa agar bersatu (kanan). (foto: sergius mitakda)

Sengketa timbul lantaran penetapan tapal batas antar penduduk dan antar Desa. Desa Kabiarat dan Desa Lauran masih menyisahkan bom waktu. Pertikaian yang sudah berlangsung sekitar satu abat ini belum juga berakhir. Awalnya, sekitar awal tahun 40-an, tapal batas sudah dibuat dengan sumpah adat dengan darah penghulu Desa Lauran, Malatutul dan Turlel dari Desa Kabiarat. Mereka sudah menetapkan tapal batas mulai dari Tamasni di pantai timur hingga Sungai Webir di bagian barat.

Kendati sudah ada sumpah adat, akan tetapi patok tapal batas tidak dibuat sehingga pada generasi ‘zaman new’ dalam mana tanah sudah bernilai ekonomis, sejarah pun diabaikan. Pertikaian ini sudah diatasi lewat jalur hukum perdata dengan Akta Perdamaian yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Saumlaki pada 18 Agustus 2010. Kini, langkah eksekusi yang seharusnya menjadi areal Pengadilan, justru  diambil alih oleh Sekretaris Daerah yang justru menimbulkan masalah baru lantaran sulit menetapkan tapal batas.

Eddy Tethol, Wakapolres MTB meminta agar para pihak yang berkepentingan, jangan meninggalkan ‘bom waktu’ yang pada gilirannya akan melibatkan Aparat Kepolisian, untuk bersih-bersih. Bila ada sengketa atau silang pendapat, jangan ditunda-tunda dan harus diselesaikan secara tuntas. Peranan tua-tua adat dan pemuka agama harus dilibatkan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang kerap timbul.

Sengketa tanah juga terjadi antara Desa Olilit dan Sifnana yang menimbulkan korban jiwa seorang meninggal pada 2010. Kini, Mako Brimob seluas lima hektar yang berlokasi di tanah senketa akan menjadi masalah lain. Warga Sifnana tidak keberatan dengan kehadiran Brimob di Tanimbar, akan tetapi, lagi-lagi soal tanah, harus diselesaikan secara bijak.

Pejabat Kepala Desa, Yohanis Yempormase lewat suratnya No. 147/16/2018 pada bulan November 2018 yang ditujukan kepada Bupati Maluku Tenggara Barat memohon adanya penundaan pembayaran atas lahan Mako Brimob yang disengketakan. Secara rinci, Yempormase menyampaikan delapan alasan yang seyogyanya dijadikan alasan penundaan. Sebegitu jauh, penundaan pembayaran memang terjadi namun masyarakat Sifnana masih menunggu jawaban yang pasti dari pihak Pemerintah Daerah.

Agaknya, masalah pembebasan tanah di Tanimbar harus ditata kembali secara baik dan benar. Diperlukan tata kelola yang harus dibuat agar sebuah proyek yang akan dibangun harus melalui prosedur yang benar agar kelak tidak menimbulkan masalah. Para Asisten Bupati yang terdiri dari tiga orang, Sekretaris Daerah, terutama bagian hukum serta seluruh aparat mulai dari Saumlaki hingga para Kepala Desa, harus benar-benar membantu Bupati dalam menetapkan kebijakan di lapangan.

Karena tanah menjadi sumber konflik paling dominan di Tanimbar, maka langkah paling mendesak dan ditunggu-tunggu masyarakat adalah penetapan tata ruang untuk seluruh kawasan. Penetapan ini untuk menyempurnakan keputusan tapal batas di seantero negeri, peninggalan Pemerintah Belanda yang dibuat pada tahun 1915 tertanggal 1 Agustus oleh Residen Gezaghebber W.G.E.E.M.J. Krome. Keputusan itu bukan menyelesaikan konflik karena pihak Belanda ingin mengambil keuntungan dari sebuah pertikaian.

Contoh lain yang patut diangkat di sini adalah pembebasan lahan di seputar areal Bandara Mathilda Batliyeri sudah dilakukan Pemda, kendati pembayaran baru sebagian yang diterima marga pemilik lahan. Bukankah ada aturan yang mengatur areal sebuah Bandar Udara apalagi lapangan terbang berstandar internasional, harus steril dari kegiatan apapun. Menjadi sia-sia, dana masyarakat yang digunakan untuk pembebasan lahan, sementara lahannya tidak akan dimanfaatkan lantaran sebuah kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan dan aturan umum yang memayungi di atasnya, harus ditaati siapa pun.

Banyak proyek yang dibangun di Kabupaten Maluku Tenggara Barat ini terbengkalai lantaran dibangun tanpa ada perencanaan dan koordinasi serta pengawasan yang baik. Contoh paling nyata adalah pembangunan pasar baru dan Terminal terpadu, Pasar Tradisional Omele dan Terminal Kortitir di Desa Sifnana, yang merupakan daerah penyangga dan bersama Desa Olilit merupakan bagian dari Ibukota Kabupaten, Saumlaki. Pasar yang sudah terlihat kumuh dan tidak terurus yang dibangun semasa Bupati Bitzael S. Temar pada tahun 2008 ini, kini meninggalkan banyak kisah dan masalah.

Tanah yang dimiliki oleh Marga Lamere dan Yempormase ini belum juga dibayar. Pasar dibangun dulu baru Pemda bernegosiasi dengan kedua marga untuk menentukan besaran gati rugi. Negosiasi awal, Pemda hanya menyanggupi membayar setiap meternya dengan Rp. 50.000,00. Lima tahun kemudian, Pemda dan marga sepakat untuk jumlah ganti rugi per meter untuk 10 hektar sebesar Rp. 100.000,00.

Hingga kini ganti rugi itu belum juga dibayar dan malah timbul masalah baru dengan adanya pembabatan hutan mangrove seluas 4 hektar di sisi selatan Pasar Omele. Oleh Kepala Desa Sifnana sebelumnya tanah milik Marga Lamere dan Yempormase ini diklaim sebagai tanah milik Desa Sifnana. Sehingga, Agus Theodorus, khabarnya sudah membebaskan tanah tersebut yang pelepasannya dilakukan langsung oleh Kepala Desa.

Setelah pengrusakan hutan mangrove seluas 10 hektar, yang oleh petugas Lingkungan Hidup disebutkan hanya 5 hektar itu, kini ditambah lagi dengan pembabatan 4 hektar baru di sampingnya. Kedua Marga pemilik ulayat atas tanah ini kembali mengikat sweri (tanda larangan membangun secara adat) untuk berkegiatan di lokasi. Carut marut ini sudah diangkat lewat hukum perdata di Pengadilan Negeri dan pada tingkat pertama, dimenangkan oleh pengusaha Agus Theodorus.

Pasar terpadu seluas 10 hektar dan sudah digunakan sedikitnya dalam 11 tahun terakhir, kini meninggalkan masalah mendalam dan pelik. Pasar ini belum juga diserahkan kepada pemiliknya, Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Sementara kondisi riil di lokasi, sudah terlihat kumuh dan tidak terurus, termasuk Terminal Kortitir, nyaris tidak terpakai dan hanya menjadi tempat perlintasan angkutan kota yang jumlahnya sangat terbatas.

Pembangunan pasar tradisional terpadu lengkap dengan terminal dan pelabuhan itu menggunakan dana pihak ketiga. Lantaran Pemerintah Daerah belum melunasi dana pembangunannya, maka pihak swasta yang membangun dengan menggunakan dana sendiri menutup akses jalan ke pelabuhan yang menjorok ke laut ini. Pemda Maluku Tenggara Barat harus membayar ganti rugi setelah Mahkama Agung memenangkan silang sengketa atas pembayaran dana pihak ketiga.

Bupati Petrus Fatlolon mengemban beban yang berat guna merealisasikan visi dan misinya yang akan berusaha membangun sebuah Tanimbar yang cerdas, sehat, berwibawa dan mendiri. Jembatan Wear Afarura telah membuka aksesbilitas dan sekaligus membuka keterisosasian antar desa, antar kecamatan dan antar pulau di wilayah ini. Hal ini dapat terlaksana bila daya dukung semua yang terlibat pemimpin teras, baik di tingkat kabupaten hingga pemimpin desa, agama, tua-tua adat, cerdik cendekia dan masyarakkat.

Perlu kerja keras untuk memenuhi semua janji dan keinginan dari seluruh masyarakat Tanimbar. Bukankah Bupati sudah bertekat mengikuti jejak Menteri Basoeki yang bekerja 7 hari dalam seminggu, tiga shift dengan ritme rock and roll guna mengejar ketertinggalan. “Ini merupakan momentum dan catatan sejarah yang tak terlupakan yang memotivasi kita untuk bekerja keras, kerja tanpa lelah.” (Bersambung)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *