Connect with us

Feature

Membangun Tanimbar Setengah Hati!

Published

on

Banyak area rusak dan tak terawat di Tanimbar. (foto: Sergius Mitakda)

Catatan Redaksi

Redaktur Senior Jayakarta News, Sergius Mitakda, mengikuti kunjungan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Mochamad Basoeki Hadimoeljono di Kepulauan Tanimbar pada 10 dan 11 Januari 2019. Ia menurunkan catatannya dalam lima tulisan. Berikut tulisan keempat.

 

JAYAKARTA NEWS – Seluruh hadirin bertepuk tangan riuh tatkala Bupati Kepulauan Tanimbar, Petrus Fatlolon dalam sambutannya pada peresmian Jembatan Wear Arafura, memuji Menteri PUPR, Basoeki Hadimoeljono sebagai pekerja keras yang berhasil dengan ritme rock and roll mampu membangun di seantero negeri. Ini merupakan momentum dan catatan sejarah yang tak terlupakan yang memotivasi kita untuk bekerja keras, kerja tanpa lelah. Bupati Fatlolon telah bertekad dan berusaha untuk mengejar ketertinggalan agar mampu membangun Kepulauan Tanimbar yang cerdas, sehat, berwibawa dan mandiri sesuai dengan visinya.

Apakah pejabat teras yang bertepuk riang tadi sepakat dengan Bupatinya membangun Tanimbar dengan seluruh kemampuan dan daya serta cinta yang tercurah. Semuanya tergantung pada perencanaan dan kemampuan mengeksekusi semua rancangan yang telah ditetapkan. Perlu keberanian sebagai pimpinan daerah agar mampu mengarahkan 3.540 orang pegawai yang ada pada jajaran kantor Bupati.

Salah satu visi Bupati dalam memimpin dan membangun Tanimbar dalam empat tahun ke depan adalah meningkatkan keberwibawaan dan mandiri. Wibawa harus ditegakkan, terutama mereka yang memiliki kewenangan untuk itu, ada Wakil Bupati, Sekretaris Daerah dan tiga orang Asisten. Semuanya harus bahu-membahu dengan Bupati, seia-sekata, sepenanggungan, seiring-sejalan guna menciptakan Tanimbar yang lebih baik.

Pengawasan melekat harus diterapkan agar hasil yang akan dicapai terukur dan maksimal. Pada akhir lawatan kedua Menteri, di hadapan Bupati, saya mengemukakan masalah pengawasan di Tanimbar yang ‘begitu longgar’, kiranya perlu ditingkatkan. Rangkaian tulisan ini untuk memberi peringatan kepada semua pihak, apa yang sudah Anda perbuat bagi Bumi Duan Lolat.

Langkah awal yang dapat ditempuh adalah mengatur waktu kerja, karena kebiasaan orang Tanimbar adalah sangat tidak tepat waktu. Begitu jam kantor dimulai, belum ada pegawai yang bertugas, nanti setelah pukul 09:00 WIT, sebagian masuk sebentar untuk kembali ke rumah, makan siang. Bila sudah siang, hampir tidak mungkin, pegawai yang dibiayai dengan pajak masyarakat ini kembali ke kantor.

Kantor Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB).

“Kinerja pegawai di Maluku Tenggara sangat buruk, mereka seolah-olah menjadi raja dengan ingin selalu dipuja-puji. Mereka tidak bekerja karena tidak ada yang diurus. Struktur kepegawaiannya terlalu gendut sehingga tidak tepat sasaran. Banyak yang makan gaji buta dengan melakukan kegiatan lain di luar kedinasan,” ujar seorang pengusaha yang tidak mau disebutkan namanya.

Lebih lanjut dia katakan bahwa ukuran keberhasilan awal seorang pemimpin adalah melihat kamar mandi dan kakus, apakah bersih atau sebaliknya. Dari sana kita bisa menilai, apakah rencana besar untuk menjadikan Tanimbar sebagai Kabupaten yang berwibawa, mandiri, sehat dan cerdas bisa tercapai. Joko Widodo dan Ahok pada awal memimpin Jakarta, mereka mulai dari inspeksi mendadak dengan salah satunya meninjau keadaan kamar mandi dan WC.

Gedung Kantor Bupati yang tergolong masih baru yang mulai dipergunakan pertengahan 2008, tampak di sana sini sudah mulai rusak. Langit-langit atau plafon sudah rontok, dan beberapa bagian sudah rusak tidak terurus, terutama kamar mandi dan WC. Ruang rapat Kantor Bupati di lantai empat bocor tatkala datang hujan.

Sementara gedung kantor DPRD yang digunakan pada 2010 itu lebih kumuh lagi. Tidak ada air untuk ke kamar mandi. Bila hujan turun, air tergenang di lorong, samping ruang rapat, depan ruang Sekretaris Dewan dan ruang kerja para Wakil Ketua di lantai 1.

Apakah DPRD yang beranggotakan 25 orang ini sudah mampu memenuhi tugasnya sebagai pembuat legislasi, pengawasan dan budgeting. Apakah bersama Pemerintah Daerah, telah ditetapkan sebuah kerangka pembangunan jangka menengah dan panjang Kabupaten Maluku Tenggara Barat agar secara terarah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Tanimbar secara terencana, terukur dan dapat direalisasikan. Sebanyak 450 orang calon akan bertarung dalam Pemilu serentak 17 April 2019 untuk memilih 25 anggota DPRD periode 2019 – 2024.

Sebegitu jauh, DPRD untuk periode ini dinilai kurang produktif, terlihat dari jumlah Peraturan Daerah yang dapat dihasilkan dalam dua tahun terakhir makin menurun. Bila pada akhir masa jabatan DPRD periode sebelumnya, mampu menghasilkan Peraturan Daerah sebanyak 28 buah. Pada awal masa kerja DPRD sekarang, baru menghasilkan 13 dan 15 buah Peraturan Daerah untuk tahun 2014 dan 2015.

Tahun 2016, hanya menghasilkan 7 buah Peraturan Daerah dan selama 2017 tidak menghasilkan satu Peraturan Daerah pun. Selama tahun lalu, tidak diperoleh keterangan berapa Prolegda yang dirancang dan berapa yang sudah ditetapkan. Tanimbar sangat memerlukan pelbagai kebijakan dan ketentuan daerah yang tetap dan mengikat agar tidak dinilai sebagai daerah tidak bertuan.

Gedung Perpustakaan di Saumlaki. Cukup megah, tetapi isinya kosong. (Foto: Sergius Mitakda)

Salah satu kelemahan yang sangat mencolok adalah kelangkaan data. Gedung Perpustakaan di Saumlaki terlihat sangat mentereng dan megah, namun isinya kosong. Sulit bagi kita memperoleh data-data sejarah, potensi daerah dan kegiatan yang sudah dilakukan guna melakukan study dan evaluasi serta analisa.

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah copy Keputusan Krome yang dibuat pada awal abad ke-20 untuk menetapkan tapal batas desa tidak tersedia. Dokumentasi kedatangan Presiden Soekarno di Saumlaki yang sangat bersejarah pada Selasa, 4 November 1958 tidak tersedia. Atau, ikon Kepulaun Tanimbar berupa Tugu Peringatan Kedatangan Presiden I RI di teluk Saumlaki yang permai ditukar dengan uang untuk dijadikan mall, sementara bangunan tugunya dihancurkan dengan palu godam.

Tata ruang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan daerah sakarang yang harus diselesaikan segera. Banyak desa sudah mulai bergolak lantaran tanah sudah menjadi komoditas ekonomi. Apalagi Badan Pertanahan Nasional sudah merambah pada tanah-tanah ulayat yang seharusnya dilindungi.

Pembangunan tidak akan berjalan lancar bila masyarakatnya hidup dalam pertikaian yang hanya membuang-buang energi. Daerah ini masih sangat terbelakang sementara sumber daya alamnya berlimpah. Di luar dugaan kita semua, seperti yang diumumkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani bahwa tahun lalu, Tanimbar mampu menembus angka ekspor langsung senilai US$ 1 miliar.

Komoditas Tanimbar yang sangat bernilai adalah teripang yang harganya mencapai jutaan rupiah. Sebegitu jauh, perdagangannya dikuasai para pendatang sehingga nilai tambahnya menguap ke luar. Alangkah baiknya, bila Dana Desa dapat diarahkan secara khusus agar pengelolaan teripang menjadi komoditas andalan dan dikelola serta dikuasai langsung oleh tiap-tiap Badan Usaha Milik Desa di seluruh pelosok.

Ada sebuah komoditi yang seharusnya dijadikan andalan untuk mendorong tambahan pendapatan masyarakat. Sukun merupakan tanaman keras yang selalu tumbuh subur baik di musim panas maupun masum penghujang di Tanimbar, bahkan di atas batu cadas sekalipun. Buah sukun dapat dijadikan bahan olahan sebagai oleh-oleh khas Tanimbar lantaran sangat enak dan dapat diekspor.

Pelbagai kendala alam kiranya dapat diatasi lewat budidaya teripang secara masif dan terkontrol di tangan Bupati. Tambak-tambak yang memelihara teripang diusahakan di setiap kampung dan dicari jalan keluar agar ombak besar yang menghantam pantai timur misalnya bisa diatasi dengan teknologi sederhana pemecah ombak yakni ban bekas. Hal ini pernah dilakukan pada pembuatan Boullevad Malalayang di Manado atau pembangunan pelabuhan Padang Bay di Bengkulu.

Dari atas pesawat yang akan turun di Bandara Mathilda Batlayeri, kita dapat melihat banyak tempat yang sangat baik di teluk yang tenang dan damai di sejumlah pulau di Seira yang dapat dijadikan pusat pengembangan. Para pemuda yang kini menganggur, dimobilisasi untuk memelihara teripang dengan masa panen setenah tahun itu. Dengan begitu, masalah lapangan pekerjaan dapat langsung diatasi dan ekspor milyar dollar dapat diraih beberapa tahun ke depan.

Banyak pekerjaan rumah harus diselesaikan oleh Pemerintah Daerah sekarang yang sangat mendesak. Harga-harga membubung tinggi bahkan sangat tinggi sehingga daya beli masyasakat Tanimbar sangat menurun. Mata rantai biaya tinggi harus dipangkas agar harga dapat dikendalikan oleh Dinas Perdagangan dan Industri yang “tidak berdaya dan mati suri”.

Sangat disayangkan ada pejabat di Dinas Perdagangan dan Industri Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang mengusulkan agar kebijakan Toll Laut yang menjadi Nawacita Presiden Jokowi dihapus saja. Bagaimana mungkin, 110 kontainer yang dikelola PT. Meratus Kalabahi harus pulang kosong dan hanya diisi sedikitnya enam container dari pelabuhan Saumlaki menuju Surabaya. Sangat miris kedengarannya, sementara komoditas kopra dan rumput laut seharusnya dapat mengisi kekosongan tersebut.

Kawasan Pelabuhan Ferry. (foto Sergius Mitakda)

Pasar tradisional Omele yang bermasalah. (foto: sergius mitakda)

Masalah besar yang sudah tidak dibicarakan lagi di kalangan masyarakat Tanimbar adalah mulai langkanya kayu. Penebangan liar marak di mana-mana tanpa kendali sehingga masalah lingkungan hidup menjadi persoalan yang menakutkan. Hutan di Yamdena terus dirusak dari segala sisi, baik berkedok resmi lewat Hak Pengusahaan Hutan, maupun penebangan liar.

Di Bomaki misalnya, untuk mencari kayu yang akan digunakan untuk pembangunan rumah harus menerobos jauh ke hutan. Atau di Waturu Baru, perusahaan HPH sudah mendekati Desa yang mengakibatkan hasil buruan semakin sulit mereka diperoleh. Akibat langsungnya adalah suhu udara begitu panas pada musim kemarau dan debit air di sumber-sumber air mulai berkurang.

Hutan di Tanimbar sudah dibagi berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, baik hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hal ini yang memungkinkan HPH masuk dan tidak bisa “diusir” lantaran berlindung pada UU Penanaman Modal. Padahal, hutan di Tanimbar tidak luas dengan kayu endemiknya berupa Torem dan Eboni sudah akan habis dibabat untuk kebutuhan penduduk dan bisnis serta pembangunan.

Akankah perubahan nama Kabupaten Maluku Tenggara Barat menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang kini di tangan Presiden, akan mengubah status hutan negara menjadi hutan ulayat yang Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat tinggal menunggu pengesahan. Atas nama Undang-Undang dan studi kelayakan yang tidak layak, telah membawa “malapaka” bagi Tanimbar dengan hancurnya hutan ulayat.

Sejalan dengan hak ulayat itu pula, rencana Pemerintah Daerah untuk menguasai semua mata air di Tanimbar saya tentang. Di hadapan kedua Menteri yang berkunjung saya nyatakan bahwa hak-hak masyarakat adat harus dilindungi dan kearifan budaya lokal harus dijunjung. Bukankah sumber air yang sudah ada dimiliki (bukan dikuasai) oleh soa tertentu yang menjadi pendoa bila airnya berkurang atau habis.

Pemerintah Daerah senantiasa menggunakan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 untuk “mengambil alih” sumber-sumber air untuk dikelola di setiap desa. Hal itu sudah terlihat secara nyata dalam setiap pertemuan membahasan Rencana Kerja Pembangunan Desa yang disuarakan oleh pejabat pendamping desa. Seharusnya, Pemda tidak mencari pekerjaan tambahan, akan tetapi tinggal mendorong pembuatan Peraturan Desa yang mengatur tentang penyediaan air bagi masyarakat di setiap desa.

Yang seharusnya disahakan adalah pembuatan bendungan atau embung yang memang dirancang sendiri oleh Presiden Jokowi. Pembuatan bendungan ini akan mendorong pemanfaatan tanah untuk menghasilkan komoditas andalan. Tinggal diatur bagaimana kehadiran bendungan ini dapat mengairi ladang yang digarap masyarakat sehingga swasembada pangan dapat tercapai.

Masih banyak urusan yang harus ditangani oleh Pemerintah Daerah, terutama untuk mengimplementasi janji guna mewujudkan Tanimbar yang cerdas, sehat, berwibawa dan mandiri. Cerdas dan sehat akan dibahas pada bagian akhir Laporan Perjalanan Menteri Keuangan dan Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Tanimbar ini. Termasuk di dalamnya, peranan tua-tua adat serta kesiapan masyarakat membuka diri dengan adanya penerbangan langsung ke dan dari Darwin.

Hutan rusak di Kepulauan Tanimbar. (foto: Sergius Mitakda)

Yang terakhir adalah hutang pihak ketiga yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam pengelolaan pembangunan. Menurut Ketua DPRD, Frengky Limber, salah bila dana pihak ketiga itu disebut sebagai pinjaman, akan tetapi hutang pada pihak ketiga. Pihak ketiga menggunakan uangnya untuk membangun proyek yang akan dimiliki oleh Pemerintah Daerah, sejenis BOT.

Sebegitu jauh, data tentang pinjaman pihak ketiga ini tidak diperoleh kacuali pembangunan Pasar Omele di Desa Siifnana. Pasar dan Terminal seluas 10 hekar yang kini disegel namun tetap digunakan untuk beraktivitas dengan membayar tariff tertentu ini, harus dilunasi oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp. 72 miliar. Sudah termasuk di dalamnya biaya ‘immaterial’ sebanyak Rp. 20 miliar, hasil keputusan Kasasi Mahkama Agung.

Pemda Kabupaten Maluku Tenggara Barat diperintahkan oleh Pengadilan, harus membayar kendati persyaratan standar sebuah proyek tidak terpenuhi. Pasar Omele menyisahkan banyak persoalan, termasuk 10 hektare tanah yang digunakan, belum juga dibebaskan senilai Rp. 10 miliar. Pemda Kabupaten Maluku Tenggara Barat kalah mulai tahap pertama hingga Kasasi Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap. (Bersambung)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *