Connect with us

Kolom

In Memoriam Hardo Sukoyo: Wartawan Ganteng yang Kerap Bantu Orang

Published

on

Hardo Sukoyo (foto dok keluarga)

JAYAKARTA NEWS— Setiap orang akan mati. Setelah menderita sakit cukup lama, wartawan senior Rufus Hardo Sukoyo (76 tahun) telah dipanggil Bapa di surga.

Kita kenang kebaikan dan rekam jejaknya sebagai wartawan budaya/film Suara Karya. Hardo memang telah lama malang melintang sebagai wartawan, pengamat film, kritikus, juri dan staf panitia di banyak ajang festival film.

Roso Daras, admin Jayakartanews.com mengakui hal tersebut.

“Mas Hardo berjasa besar dalam perjalanan hidup kepenulisan saya saat awal saya masuk Jakarta. Esei-esei karya saya selalu dimuat di Suara Karya Minggu. Semoga mas Hardo tenang di surga,” doa Roso Daras.

Segendang sepenarian pendapat Akhlis Suryapati, wartawan senior dan pimpinan Sinematek Indonesia.

“Bulan lalu mas Hardo mengabarkan menantunya wafat. Pas mas Hardo tutup usia, tentu saja dia enggak bisa bel kematiannya sendiri,” ujar Akhlis yang saat menerima kabar duka sedang berada jauh di desa.

Dikatakannya, almarhum Hardo tetap menjadi kritikus film di ujung kemampuan fisiknya yang menurun. “Meski fisiknya tertatih, semangat dan pikirannya terus menyala-nyala,” sambungnya.

Beberapa kali dengan diantar cucunya, Hardo ke rumah Akhlis. “Sekadar tukar pikiran dan diskusi. Dia sangat jeli dan teliti. Bahkan cermat dalam pokok-pokok artikel dan kritik filmnya,” jelas Akhlis yang merasa berhutang budi karena Hardo selalu memfasilitasi ulasan kritik film yang ditulisnya di SKM hingga ia pernah masuk nominasi.

Hardo Sukoyo sebagai juri FSI (Festival Sinetron Indonesia) beberapa tahun lalu (foto istimewa)

Sedangkan pengamat budaya/film dan advokat Wina Armada Sukardi berpendapat pribadi Hardo selalu membantu dan menolong orang. “Saya ingat kala itu. Hardo dalam liputannya selalu naik vespa. Jujur, Hardo itu berbadan tegap, tinggi dan berwajah ganteng. Sehingga ia selalu dikejar-kejar cewek,” ungkap Wina tertawa.

Kehadiran Hardo di blantika kritik film sangat dihargainya. “Kritikus bukan seorang yang memaki-maki, juga bukan yang menjilat-jilat. “Budaya kritik itu positif. Dan investasi. Bukan lagi sampiran. Negara perlu hadir. Makanya dulu Pusbangfilm selalu aktif menghelat workshop, latihan dan lomba kritik film setiap tahun diluar FFI.

Ketika masih hidup, Hardo pernah mengatakan di masa mendatang lomba kritik film harus melahirkan kritikus dari kaum milenial. “Sehingga saya enggak perlu turun gunung lagi,” canda Hardo di tahun 2017 tatkala menggaet kemenangan lewat tulisannya berjudul ‘Menguak Tabir Cinta Terlarang Film Ave Maryam’ di tabloid Bintang Film.

Di sisi lain, Hardo pernah mengusulkan agar masalah pembinaan film perlu digalakkan lagi.
“Di desa-desa dan kampus-kampus. Anak-anak pramuka, pelajar, mahasiswa agar menyintai film Indonesia,” urai Hardo yang menegaskan tiga hal yaitu estetika, logika dan estetika perlu digarisbawahi agar kita sukses dalam memasuki kemajuan zaman.

“Belajar, belajar dan belajar. Ilmu dan teknologi sudah baik. Gali potensi anak-anak muda. Ingatlah pesan Bung Karno : berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan,” timpal Hardo.

Camkan itu ! (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *