Connect with us

Feature

Gerundelan Indra Tranggono di Mulut Para Perempuan

Published

on

Catatan Pementasan “Perempuan-Perempuan Pembebas” oleh Steja

Oleh Odi Shalahuddin
Lima perempuan yang terpenjara. (foto: odi shalahuddin)

Jayakarta News – Lima perempuan dengan permasalahannya masing-masing, berhadapan dengan negara, bermuara satu, pada nasib buruk: penjara! Keprihatinan ditunjukkan oleh seseorang yang bernasib baik, perempuan juga, yang dapat menduduki jabatan kepala penjara di penjara umum.  Keprihatinan yang berlanjut pada pembelaan, dengan cara melakukan pembiaran, ketika seorang narapidana dengan diam-diam merancang pelarian dengan model lama: menggali lubang dari sel tempat mereka menuju alam kebebasan terbuka. Selanjutnya mengajak para napi perempuan lainnya bersama-sama untuk kabur. Berhasil!

Namun nasib buruk kemudian menimpa perempuan beruntung itu, sang kepala penjara, yang terbongkar telah melakukan pembiaran, oleh anak buahnya sendiri, kepala sipir laki-laki yang sebelumnya selalu dipromosikan.

Demikianlah ringkas kisah “Perempuan-Perempuan Pembebas” karya Indra Tranggono, yang oleh Sinergi Teater Jogja (Esteje) dipanggungkan di Societet Taman Budaya Yogyakarta, 26 Juli 2019.

Tidak ada tokoh utama dalam kisah tersebut. Semua tokoh dapat menempatkan diri sebagai sosok penting dalam lakon ini, dengan masalahnya masing-masing. Maka, tentang siapa dengan nama apa, juga bukan soal penting. Terpenting adalah siapa yang mampu menampilkan diri, mengungkapkan masalah yang mampu menyentuh hati, menggugah nurani dan membuat siapapun yang mendengar kisah mereka dilanda kegelisahan, setelahnya.

Nunung Rieta sebagai Geza. (foto: odi shalahuddin)

Monolog dan Dialog

Bermonolog itu bebas. Bebas berkisah tentang dirinya, bebas menuangkan perasaan dan pikiran-pikirannya. Pada kasus ini bolehlah saya mengatakan sebagai gerundelan. Gerundelan keprihatinan sang pengarang atas situasi sosial-politik yang dalam praktiknya tidak mencerdaskan, tengah melanda negeri ini baik dari sisa masa lalu hingga terkini.

Mulut perempuan, menjadi alat yang efektif. Selain kerap menjadi korban, perempuan mampu bertutur dengan perasaan yang dapat menggugah pendengarnya, perempuan juga mampu mengungkapkan kemarahannya yang bisa jadi tak terkendali, jika sudah tergerak, perempuan dapat menjadi pejuang tak kenal lelah.

Maka, ini menjadi tantangan bagi sang sutradara, Luwi Darto, seorang perempuan, agar mampu menampilkan gerundelan-gerundelan ini menjadi suatu pertunjukan menarik yang mampu menjaga penonton dan pendengarnya tidak bergeser dari tempat duduknya, mampu membangun keprihatinan dan memunculkan empati kepada para perempuan yang telah menjadi korban, mampu membangkitkan kesadaran tentang adanya ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan, marah kepada negara yang abai atau tidak hadir di saat dan tempat yang dibutuhkan.

Mengenai para pemain, tentulah Luwi Darto tidak mengalami kesulitan. Semuanya adalah aktor-aktor yang memiliki pengalaman panggung. Atau seperti penegasan dari Indra Tranggono “Rata-rata mereka adalah lulusan ISI jurusan teater. Jadi secara teknis mereka cukup menguasai seni peran. Mereka juga cukup piawai dalam olah tafsir atas tokoh yang dimainkan,” ujarnya.

Maka bermonolog-lah mereka satu persatu. Lantaran ini bukan pesta monolog, melainkan pentas teater, dialog antar orang dapat ditempatkan sebagai variasi, guna mengarahkan atau mempertajam kisah mereka. Benang merah antara satu tokoh dengan tokoh yang lain dipertemukan bahwa mereka sama-sama sebagai korban yang mengakibatkan mereka terkerangkeng kebebasannya, berada dalam sel buruk yang busuk, dan berpotensi pula – sebagai perempuan – menjadi korban para sipir yang nota bene adalah laki-laki, yang bersifat seksual. Pertemuan juga dilekatkan pada harapan yang sama: kebebasan!

Hal ini sangat disadari oleh Luwi Darto. “Mengambil gaya monolog dan dialog, lakon ini digarap secara teaterikal, dengan basis realisme,” ujarnya. Kemudian dtambahkan bahwa pementasan ini memadukan bentuk realis dan non realis, demi menciptakan peristiwa dramatik. “Setiap adegan memiliki puncak dramatik. Puncak-puncak itu dianyam oleh persoalan dan alur hingga membentuk struktur dramatik.”

Saya kira Luwi Darto berhasil melaksanakan rencana-rencananya. Enam perempuan telah menunjukkan kemampuannya berakting, sesuai dengan peranan masing-masing, sebagai kepala penjara, Della, Shelly, Geza, Triska, Citra.

Pementasan “Perempuan-perempuan Pembebas”. (foto: odi shalahuddin)
Adegan dalam “Perempuan-perempuan Pembebas”. (foto: odi shalahuddin)

Pertunjukan

Adegan pembuka, lima narapidana di dalam sel yang diawasi oleh Kepala Sipir. Membangun gerakan-gerakan teatrikal. Selanjutnya, monolog oleh Kepala Penjara (diperankan oleh Candra Nilasari), mantan aktivis pergerakan, yang dapat menduduki kekuasaan tertinggi di dalam sebuah penjara, namun tiada kuasa pula untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Dia terperangkap pada zona nyaman yang telah didapatkannya.

Della (Estri Mega) muncul, menunjukkan kegeramannya sebagai seorang aktivis yang bergabung dengan sekelompok orang yang berjuang untuk mengubah sistem negara, dianggap makar, dan ia ditangkap dipenjarakan. Sementara patron-patron politiknya kabur ke luar negeri. “Mengapa hanya saya yang ditangkap? Negara harusnya menangkap pula mereka?” protesnya. Di tengah gerundelannya, hadir Shelly (Joana Dyah) dengan gerundelannya sebagai aktivis gerakan kiri baru, tersandung kasus pembunuhan, karena hakim senior yang konon akan membantunya, justru memperlakukan dia dengan buruk, nyaris memperkosa, dan pembelaan dirinya adalah menghujamkan pecahan botol ke dada sang hakim. Adegan berganti dengan monolog Geza (Rieta Nunung), istri dari seorang aktivis kiri, yang sosoknya telah menghilang. Tiada kabar apakah tertangkap, menghilang atau dihilangkan, tewas, tanpa proses hukum yang pasti. Tentunya kita dapat membayangkan, seseorang yang dirinya atau anggota keluarganya terlibat dalam organisasi terlarang, maka seluruh ‘hidupnya’ akan termatikan. Geza kemudian bergabung dengan organisasi kepercayaan yang membangun nilai-nilai untuk ketentraman jiwa bagi pengikutnya.

Sayang, ini dianggap sebagai ajaran sesat, dan para aktivisnya ditangkap atas desakan dari kelompok yang merasa memiliki kebenaran tunggal. Di tengah monolog Geza, muncul Triska (Luwi Darto) yang tengah mencari kucing kesayangannya. Pertanyaan yang terlontar, menghadirkan monolog Triska sebagai orang yang memiliki “kelebihan” untuk menerawang sesuatu. Anugrah tersebut membawanya pada situasi di mana ia menjadi tempat yang dimintai pertolongan oleh pihak kepolisian untuk membongkar kasus-kasus korupsi. Pelaku yang terkena kasus, memprovokasi bahwa Triska adalah penganut ajaran sesat yang juga menjadi “tukang santet” sehingga masyarakat marah dan membakar rumahnya. Adegan berganti, citra (Gea Mitha) seorang ibu muda yang harus dipenjara karena dinilai menyebarkan hoax.

Pembelaan dirinya, bahwa apa yang dikatakan adalah kebenaran, karena ia pernah menjadi bagian dari “kelompok kuasa” tersebut, tidak tergubris. Pada adegan Citra inilah dibuat jembatan dengan hadirnya tiga sipir yang kemudian diikuti oleh kepala sipir, yang kemudian melakukan pelecehan seksual dan hendak memperkosanya. Selanjutnya, empat perempuan hadir, menghibur dan berusaha menenangkan Citra. Pada saat itulah Triska membuka rahasinya bahwa ia telah mempersiapkan jalur pelarian untuk keluar dari penjara. Semua ikut, termasuk Citra yang semula ragu. Pelarian berhasil. Kepala Penjara puas. Ia merasa telah membantu para Perempuan itu untuk meloloskan diri.

Dokumen CCTV dan lainnya telah ia hapus dari komputernya. Sayang, kepala Sipir, dengan diam-diam telah meng-hack komputer kepala penjara. Ia telah mengambil data-data yang membuktikan keterlibatan Kepala Penjara yang mengakibatkan kaburnya para narapidana. Sang Kepala penjara ditangkap, kepala sipir naik pangkat menjadi kepala penjara. Kekuasaan perempuan berakhir dan kembali diganti oleh laki-laki.

Pentas “Perempuan-perempuan Pembebas”. (foto: odi shalahuddin)

Kolektivitas yang Tidak Terjaga

Luwi Darto sebagai sutradara tampaknya terlalu fokus pada permainan para pemerannya. Untuk ini, bisa dikatakan ia telah berhasil. Sayang, pada saat pementasan, Luwi Darto yang turut bermain, tidak terlihat totalitasnya.  Barangkali, situasi yang terjadi pada saat pementasan mempengaruhi konsentrasinya.

Hakekat kerja dalam pertunjukan teater adalah kerja-kerja kolektif. Betapapun baik permainan para pelakunya, jika tidak didukung dengan baik oleh bagian lain seperti tata suara, tata cahaya, tata busana dan make-up, dan properti, maka pertunjukan tidak dapat ditampilkan dengan baik atau tidak menghasilkan kerja kreativitas yang bermutu. 

Properti yang ditampilkan sangat sederhana. Tumpukan level yang membentang di tengah. Menyimbolkan kekuasaan yang hanya digunakan oleh Kepala Penjara dan Kepala Sipir. Sedang bagian tengah dimanfaatkan sebagai tembok sel yang dibobol untuk membuat jalur pelarian. Lalu ada jeruji yang terbagi menjadi dua untuk menggambarkan sel penjara. Dilengkapi properti kecil, seperti kardus-kardus, bola kristal, dan pistol bagi para sipir.

Kostum dan make-up bolehlah dikatakan berhasil dan mendukung karakter dari peranan yang dimainkan para pelaku.

Masalah yang menonjol dan sangat mengganggu jalannya pertunjukan adalah tata suara. Seluruh pemain dilengkapi dengan clip-on mic. Ini memang membuat rapi panggung dari mic-mic yang tergantung. Para pemain dapat bergerak bebas dengan suara yang dapat terdengar jelas. Barangkali itu asumsinya.  Dan barangkali tidak terbayang sebelumnya, jika pelaku berdialog dengan gerakan teatrikal dan ada sentuhan fisik yang kasar, yang kemudian menimbulkan suara kasar yang tidak enak terdengar. Belum lagi jika ada dialog para pelaku, satu clip-on mic tidak berfungsi, maka ketidakseimbangan suara yang terdengar akan sangat mengganggu. Kerapian dan kejernihan yang diharap, malah menjadi bencana. Apalagi, persoalan sudah muncul dalam adegan dialog pertama antara Della dan Shelly. Clip-on Mic Shelly tidak berfungsi. Tentang ini, ditambah lagi persoalan para pelaku yang berada di luar panggung, tidak mematikan clip-on-nya sehingga suara mereka sering muncul dan mengganggu jalannya permainan. Juga suara tukang yang tengah bekerja di luar gedung, terembes masuk ruang pertunjukan.

Satu kefatalan lagi, saat properti, jeruji dikeluarkan dan dimasukkan lagi karena belum saatnya. Kondisi panggung yang remang-remang membuat penonton dapat melihatnya dengan jelas. Apakah ini dipengaruhi oleh cahaya dari ruang monitor yang terang benderang sehingga tidak memaksimalkan tata lampu di panggung?    

Kekacauan ini pastinya diketahui oleh Luwi Darto, yang akhirnya mempengaruhi fokus permainannya sendiri. Apakah memang demikian?

Semoga saja kekcauan yang terjadi bukan lantaran keterbatasan dana. Ini merupakan tantangan  seperti dikatakan oleh Indra Tranggono dalam sambutan awalnya tentang meletakkan kekuatan daya kreatif di atas dominasi kuasa modal. Seiring menguatnya ekonomi neo-liberal, kehidupan berbeaya tinggi berdampak serius pada budaya, termasuk teater. Pertimbangan ongkos produksi tinggi, cenderung menjadikan masyarakat   gagap berteater. Ini bisa di atasi antara lain dengan kekuatan ide dan kreativitas yang mampu menekan dana.

“Perempuan-perempuan Pembebas”. (foto: odi shalahuddin)
“Perempuan-perempuan Pembebas”. (foto: odi shalahuddin)

Para Pemain

Secara umum, para pemain sudah menjalankan peranannya dengan baik. Nunung Rieta tampak menonjol permainannya. Ia sangat menjiwai peranan sebagai Geza, yang telah melewati masa-masa kehidupan berat sebagai seorang istri dari seorang aktivis politik kiri yang tidak tahu lagi keberadaannya. Ia yang menemukan jalan damai melalui kegiatan aliran tertentu yang mengedepankan cinta kasih, namun dianggap sesat, sehingga melemparkannya ke penjara. Kematangan jiwa telah diraihnya. Kelemahan yang tampak, ia masih terlalu serius dalam seluruh permainannya. Tatkala ia mendengar atau menghibur, selayaknyalah ada senyum, sebagai seorang tua menghadapi persoalan anak-anak muda. Permainan Seteng, sebagai seorang aktor lama, masih menunjukkan kehandalannya berperan sebagai seorang Kepala Sipir yang tegas dan licik untuk mencuri kesempatan atau peluang menaikkan posisinya. Humor yang tampaknya akan dibangun sebagai penyegar suasana oleh para sipir, kurang tereskplorasi. Khocil Birawa, misalnya, yang biasa berimprovisasi untuk mengundang tawa, kali ini sangat serius dan setia dengan naskah, walaupun sebenarnya terbuka peluang untuk itu. 

Ke Depan

Sebagai catatan atas naskah, sepertinya ini dibuat secara terburu-buru. Kendati lakon mengangkat persoalan penting yang perlu diperhatikan oleh negara, namun ada beberapa yang tidak sesuai dengan realitas. Sebagai contoh,  dialog citra kepada para sipir: “kalian mengaku mewakili negara? Tidak, tidak, negara tidak hadir…” kira-kira begitu.. Ini kesalahan fatal. Seorang yang berkonflik dengan hukum, keseluruhan prosesnya berhadap-hadapan dengan negara, dari mulai penangkapan hingga pemenjaraan. Ini satu-satunya kasus yang akan paling  memudahkan identifikasi apakah terjadi pelanggaran HAM atau tidak, dibandingkan kasus-kasus lain yang berhubungan dengan negara. Karena itulah, intrumen atau prosedur yang berlaku sangat ketat.  Berikutnya penangkapan kepala penjara yang dilakukan oleh sipir, yang sama sekali tidak memiliki kewenangan melakukan penangkapan. Akan lebih baik jika Kepala Sipir membawa aparat kepolisian, yang memang memiliki kewenangan menangkap seseorang.

Ke depan, kita masih berharap bahwa Steja akan hadir kembali dengan lakon yang semakin baik dan menunjukkan pertunjukan yang bermutu. Saya kira itu saja kesan saya sebagai seorang penonton. Semoga berkenan….

Yogyakarta, 28 Juli 2019

*) Odi Shalahuddin, penulis, pemerhati budaya, aktivis anak, tinggal di Yogyakarta

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *