Feature
Dari Montserrat ke Oedipus, Singgah di Pusaran
Jayakarta News – Tak hanya menolak lupa, apalagi mati, Teater Alam bahkan menolak berhenti berkarya. Kelompok teater yang didirikan Azwar AN Januari 1972, tak pelak menjadi salah satu teater tertua di Yogya, yang masih aktif hingga hari ini.
Sejak beberapa bulan terakhir, sanggar teater di Wirokerten, Kotagede, Yogyakarta, itu mulai ingar-bingar oleh suasana latihan. Benar, mereka tengah mempersiapkan pementasan terbaru: Oedipus Rex (Oedipus Sang Raja).
Naskah klasik karya Sophocles yang diterjemahkan oleh Rendra itu, bukan sekali-dua dipentaskan Teater Alam. Mengapa naskah itu lagi yang menjadi pilihan? “Dibilang sering, memang relatif sering. Tetapi sejak pementasan terakhir tahun 90-an, sudah lebih dua dasawarsa jedanya. Banyak yang rindu kami memainkan Oedipus,” ujar pimpinan Teater Alam, Azwar AN, yang dalam pentas kali ini bertindak selaku sutradara.
Inikah pentas “romantisme masa lalu”? Bisa jadi begitu.
Lihat saja, Azwar AN sang sutradara kini sudah menjejak usia ke-87 (kelahiran Palembang, 6 Agustus 1932). Toh, semangatnya masih luar biasa. Sedangkan di deretan pemain? Bisa dikata sudah banyak mengantongi bilangan usia.
Ada Meritz Hindra, anak murid Azwar angkatan pertama Teater Alam, yang selain bermain sebagai Teirisias, juga melapis Azwar sebagai Asisten Sutradara bersama seniornya, Tertib Soeratmo. Ya, Tertib Soeratmo bahkan masih ikut bermain sebagai Pendeta.
Siapa pemeran Oedipus? Gege Hang Andhika. Hampir semua lakon Oedipus yang dipentaskan Teater Alam, Gege-lah sang Oedipus. Termasuk, saat Tertib Soeratmo tahun 80-an menyutradarai Teater Alam memainkan Oedipus Rex.
Anda tahu? Tertib Soeratmo tahun ini sudah menginjak usia ke-78.
Sementara, Meritz Hindra menginjak usia ke-70 (kelahiran Surakarta 22 April 1949), dan Gege Hang Andhika kurang lebih seumuran Meritz. Di luar nama-nama di atas, para pendukung lain juga tak bisa dibilang muda.
Sebut saja Daning Hudoyo, aktof gaek Teater Alam yang memerankan Creon. Lalu Anastasia Sri Hestutiningsih, pemeran Yocasta. Pemain pantomim Jemek Supardi, pun berpartisipasi dalam pementasan mendatang. Ia memegang peran Pendeta, bersama pemeran pendeta lain: Bustaman Dalhar, Lukman Usdianto, dan Tertib Soeratmo.
Deretan pemain lain, tampak aktor Teater Alam angkatan 80-an, Eddy Subroto, disusul nama-nama seperti Aziz, Syam Chandra, Hisyam A. Fachri Hamka, dan Eko Pam.
“Sejauh ini, kami masih baik-baik saja. Latihan tiga kali seminggu. Sesekali ada latihan tambahan. Dan Bang Azwar tekun mengamati kami berlatih di belakang rumah. Tapi tidak segalak dulu, he… he… he…,” ujar Bustaman, yang dalam pementasan ini juga berperan sebagai Pimpinan Produksi bersama Anastasia.
Era Kebangkitan
Teater Alam tengah memasuki era kebangkitan. Di saat banyak teater seusia rontok dan tidak lagi berproduksi, Teater Alam seperti tak lekang dimakan usia. Memang, ada fase “tidur panjang” yang dialami Teater Alam, yakni di kisaran tahun 2000-an.
Namun dalam dua tahun terakhir, Teater Alam seperti bangkit dari tidur panjang. Dipicu kegiatan “Kangen-kangenan Karo Bang Azwar” Mei 2018, para anggota yang tersebar di banyak kota dan banyak bidang pengabdian, seperti terpacu untuk membangkit-bangkitkan almamaternya.
Adalah Puntung CM Pudjadi yang mendapat sampur menyutradarai teman-temannya dalam lakon Montserrat (karya Emmanuel Robles). Pentas ini tergelar 8 Desember 2018 di Taman Budaya Yogyakarta, dan berhasil menyedot animo masyarakat yang luar biasa. Inilah pentas tonggak kebangkitan Teater Alam.
Belum reda gaung Montserrat, Teater Alam meluncurkan buku (soft launching) “Trilogi Teater Alam”, di Amphi Theater TBY, 23 Desember 2018. Tiga buku setebal total sekitar 900 halaman itu berjudul “Azwar AN, Manusia Teater” (Buku 1), “Teater Alam di Panggung Zaman” (Buku 2), dan “Potret Teater Alam, Warna-warni Testimoni” (Buku 3).
Dua minggu kemudian, tepatnya 3 Januari 2019, acara potong tumpeng memperingati Ultah Teater Alam ke-47, kian bermakna dengan dua agenda yang menyertai. Pertama, grand launching buku Trilogi Teater Alam, dan kedua, Pidato Kebudayaan oleh anggota Teater Alam yang juga satu-satunya profesor teater di Indonesia, Prof. Dr. Hj. Yudiaryani, MA.
Saat itu, Prof Yudi masih menjabat Dekan Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) ISI Yogyakarta. Ia membawakan pidato kerbudayaan berjudul ”Melacak Jejak Sumber Kreativitas Seni, Membangun Nilai-nilai Kebangsaan Indonesia”.
Acara yang berlangsung di Gedung Societet, TBY itu sangat menarik, dan mendapat apresiasi banyak pihak. Kolaborasi pidato Prof Yudi yang dibawakan secara teaterikal, ditingkah iringan musik etnik oleh Dr Memet Chairul Slamet, makin sempurna dengan set panggung, tata cahaya, dan permainan special effect.
Tidak berhenti di situ. Teater Alam terus bergerak dan berkarya.
Dalam salah satu ajang kumpul-kumpul di kediaman Azwar AN, terbetiklah wacana mempersiapkan pementasan selanjutnya. Spontan, Azwar menunjuk Prof Yudiaryani yang kebetulan hadir, untuk memilih naskah, sekaligus menyutradarai.
“Ninik”, panggilan kecil Prof Yudi, menjatuhkan pilihan pada naskah klasik karya Tennessee Williams bertajuk ‘A Streetcar Named Desire’ yang telah diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar dalam judul ‘Pusaran’. Berkolaborasi dengan para mahasiswa binaannya di Jurusan Teater ISI Yogyakarta, pentas Pusaran pun digelar dua hari, 22 – 23 Juli 2019 di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta.
Sebuah pentas kolaborasi yang unik. Aktor kawakan seperti Meritz Hindra, Daning Hudoyo, Gola Bustaman, Dinar Saka, Gege Hang Andhika (Teater Alam), beradu akting dengan para mahasiswa Teater ISI. Rangkaian proses produksi “Pusaran” tak pelak menjadi sebuah role-model pentas kolaborasi antara seniman sanggar dan seniman akademisi. Sekali lagi, Teater Alam melakukan terobosan yang menjadi catatan penting dalam perjalanan sejarahnya.
Tak pelak, “Pusaran” adalah titik singgah dari dua lakon lain yang dipentaskan dalam dua tahun terakhir: Montserrat dan Oedipus Rex. Sadar-tidak-sadar, ketiga lakon yang sudah dan yang akan dipentaskan, semua naskah “impor”.
Azwar AN Berkarya
Kembalinya maestro teater Indonesia, Azwar AN menyutradarai Oedipus Rex, adalah satu catatan sejarah tersendiri. Yang pasti, ia melampaui pencapaian rekan sekaligus gurunya, Rendra. Setidaknya dari sisi kesempatan berkiprah di dunia teater.
Rendra yang kelahiran Solo tahun 1935, wafat tahun 2009 dalam usia 74 tahun. Setelah pementasan “Panembahan Reso” tahun 1996, Rendra praktis tidak begitu aktif berteater. Bengkel Teater yang kemudian diboyong dari Yogya ke Depok, Jawa Barat, juga tidak terlalu produktif.
Akan tetapi, bicara Oedipus Rex tidak mungkin lepas dari sosok “Si Burung Merak”. Selain sebagai penerjemah, bersama Bengkel Teater (yang ketika itu masih bermarkas di Yogyakarta), Rendra setidaknya dua kali mementaskan Oedipus di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Pertama tahun 1962, dalam latar belakang dan warna pementasan yang kental aroma Yunani Kuno. Tujuh tahun kemudian, 1969, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra bersama Bengkel Teater kembali memainkan Oedipus Rex yang disempurnakan.
Para pengamat menulis, pementasan Oedipus oleh Bengkel Teater tahun 1969 sebagai penyempurnaan bentuk pementasan sebelumnya. Tahun 1969, Rendra makin berani bereksperimen atas nama teater modern Indonesia. Saat itu, ia banyak memasukkan unsur gerak tari Bali.
Sebagai anggota Bengkel Teater, tentu saja Azwar AN terlibat dalam pementasan tersebut. Tak heran, jika Azwar begitu lekat dengan lakon Oedipus. Bisa jadi, pilihan naskah pementasan Teater Alam kali ini, didedikasikan bagi Rendra, senior sekaligus sahabatnya.
Pentas Oedipus Rex oleh Teater Alam, bakal dilangsungkan 18 Januari 2020 di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta. Pementasan ini akan menandai 48 tahun usia Teater Alam.
Jika Anda penyaksi sejarah perjalanan Teater Alam, maka Anda berkesempatan membandingkan dengan pentas Oedipus dua dasawarsa lalu. Jika Anda belum lahir –atau masik kecil—dua puluh tahun lalu, maka beruntung, bisa menyaksikan sebuah naskah klasik yang dimainkan oleh salah satu kelompok teater tertua di Yogyakarta.
Sinopsis
Lakon “Oedipus Sang Raja” adalah lakon tragedi-romantik yang mengisahkan perjalanan hidup Oedipus dalam mengalami kejayaan dan keruntuhannya.
Pada saat itu Thebes dilanda huru-hara. Wabah, kelaparan, serta kemandulan menyerang negeri itu. Rakyat menderita. Dalam penderitaannya itu rakyat mengalami kegoncangan-kegoncangan batin juga kepercayaannya terhadap raja Oedipus. Tiada kepastian dalam diri rakyat.
Konon kesengsaraan yang menimpa kerajaan Thebes adalah akibat kemurkaan dewa karena pembunuh raja Laius belum dihukum. Semua orang termasuk Oedipus meraba-raba dan mencari siapakah sebenarnya pembunuh Raja Laius.
Dalam keadaan demikian datanglah pendeta Teirisias. Sekali lagi Pendeta Teirisias memperingatkan Oedipus akan ramalan-ramalan yang sudah dijatuhkan dewa-dewa kepadanya. Oedipus menjadi sangat berang, dan menuduh Pendeta Teresias telah membuat ramalan-ramalan palsu yang tak berdasar, atas kehendak dari Creon, putra mahkota kerajaan Thebes, saudara putri Yocasta.
Dalam kegoncangannya menerima kebenaran-kebenaran yang dibentangkan oleh Teresias yang dianggapnya sebagai kebohongan besar, Oedipus membela dirinya dengan menunjukkan jasa-jasanya terhadap Thebes dan seluruh rakyat, dalam usahanya mengusir Sphinx, makhluk ajaib yang telah menimbulkan kegoncangan Thebes.
Pertentangan-pertentangan di dalam istana makin memuncak. Creon yang dituduh hendak merebut singgasana kerajaan telah diusir oleh Oedipus dari istana, tetapi telah dibela oleh Yocasta.
Suasana semakin memuncak, orang terus mencari-cari siapakah sesungguhnya pembunuh raja Laius. Dan pada saat itu, Oedipus mulai mengalami kegoncangan-kegoncangan batin. Teringatlah ia akan ramalan-ramalan Dewa Apollo yang dijatuhkan terhadap dirinya, bahwa ia kelak akan mengawini ibu kandungnya dan membunuh ayahnya sendiri.
Teringat pulalah ia bagaimana ia berusaha menghindarkan diri dari segala ramalan dewa mengenai dirinya, dengan jalan meninggalkan kerajaan Korinthe.
Pada akhir cerita diketahuinyalah seluruh rahasia, yang menyelubungi selama ini. Dialah sesungguhnya yang telah membunuh Raja Laius, ayahnya sendiri, yaitu orangtua yang dijumpainya dalam perjalanan melarikan diri dari Korinthe. Oedipus sendirilah yang mengawini ibu kandungnya yaitu Ratu Yocasta, janda dari orangtua yang dibunuhnya dalam perjalanan.
Adapun Oedipus sendiri sesungguhnya anak laki-laki yang telah dibuang oleh Yocasta ke kaki gunung Kitahron, tetapi ditemukan dan dipelihara oleh seorang gembala yang kasihan melihat bayi tak berdosa itu. Bayi itu kemudian diberikannya keada seorang gembala lain di Korinthe yang menjadi abdi raja Laius yang kemudian diakuinya sebagai anak sendiri oleh Sang Raja.
Setelah rahasia terbuka, tahulah Yocasta bahwa Oedipus adalah anaknya sendiri yang dulu dibuangnya. Yocasta kemudian mengakhiri hidupnya dengan tangannya sendiri. Oedipus membuat dirinya menjadi buta dengan menusukkan jarum berkali-kali ke kedua belah matanya, takut dan ngeri melihat akibat dari ramalan yang menimpa dirinya.
Creon kemudian datang, bukan untuk membalaskan dendamnya kepada Oedipus, tetapi minta agar Oedipus tetap tinggal di istana. Tetapi Oedipus menghendaki agar dirinya dibuang keluar dari istana. Sebelum pergi Oedipus memohon satu permintaan kepada Creon yang kemudian diluluskan, yaitu bertemu dengan anaknya, hasil perkawinan dengan ibu kandungnya, Yocasta. (roso daras)
Ronny.An
November 24, 2019 at 9:18 pm
Maaf pemred Azwa.aan kelahiran 1932