Connect with us

Feature

Yogya, Mengingat Sajak Khalil Gibran

Published

on

Penulis (Leo Patty) bersama Syahdina dan Rina Ginting di Maliioboro. (foto: dok jayakarta news)

JAYAKARTA NEWS – Yogyakarta, pertama kali mengunjunginya tahun 1975 lalu dan langsung jatuh cinta. Masih teringat menonton Gone With The Wind di bioskop Soboharsono di dekat kraton (sekarang Jogja Gallery). Saat itu, Yogya masih dipenuhi sepeda ontel dan beberapa motor yang jadi pemandangan menarik.

Ditambah, Stasiun Tugu — sebelum dimodernisir — sangat kental nuansa kolonial Belanda-nya. Dan tentu saja, Jalan Malioboro dengan deretan pertokoan antik minus mal dan hotel modern. Pesona jalan ini dan stasiun terpatri kuat. Akibatnya, saya selalu berusaha menyempatkan diri berpergian ke Yogya setiap tahun sejak saat itu sampai tahun 1984.

Setelah itu,  barulah beberapa tahun sekali saya kembali ke kota perjuangan dan pernah jadi ibukota negara kita. Yogyakarta memang memberi kesan tersendiri, lebih dari kota metropolitan lain seperti Surabaya, Semarang, atau Medan. Akan selalu ada rasa rindu untuk kembali ke Yogya.

Ketika ada kesempatan berkumpul bersama teman-teman eks Harian Umum Jayakarta di Yogya tentu tidak bisa dilewatkan. Apalagi berpergian dengan kereta, yang jadi kenangan tersendiri karena dulu selalu menggunakan moda angkutan ini. Salah satu kenangan indah menyusuri jalur selatan, selain Cirebon, adalah Kroya.

Leo, memberi masukan saat Raker Jayakarta News. (foto: dok jayakartanews)

Dulu, kalau menggunakan kereta malam sampai di Stasiun Kroya sekitar pukul 03:00 pagi. Pada pagi dini hari ini, selalu ada pedagang gudeg yang baru matang dengan nasi panas —menu sederhana nan nikmat yang tidak pernah terlupakan sampai sekarang. Tentunya pada masa kini, para pedagang di stasiun sudah tidak ada digantikan dengan toko franchise modern dan penjual gudeg juga pasti sudah lama tergusur.

Alhasil, pertemuan yang kesekian kalinya dengan teman-teman Jayakarta menjadi menarik, dan selalu menarik. Apalagi berkesempatan dengan teman lama yang jumpa di Yogya setelah puluhan tahun, yang kini seorang bapak satu anak. Ketika bertemu, pasti pembicaraan membahas anak-anak. Kita membicarakan membesarkan anak milenial, yang punya pandangan sendiri terhadap dunia. Anak milenial pada dasarnya adalah anak dunia, mereka tidak lagi bersedia berada pada ‘kurungan’ sebuah negara — dunia adalah negara mereka.

Selain itu, anak milenial juga terpapar tantangan besar, yang belum pernah dialami oleh semua generasi sebelumnya. Tantangan itu; teknologi informasi dan apa yang sekarang populer dengan sebutan Revolusi Teknologi 4.0. Atau bisa juga dibaca sebuah kemajuan teknologi informasi dimana pasar lokal berubah jadi pasar dunia dengan sebutan e-commerce. Salah satu perubahan besar adalah bagaimana anak-anak kita belajar; mereka akrab dengan ‘mbah’ Google dan berbagai aplikasi pembelajaran dan bahkan sudah mempertimbangkan untuk belajar ‘jarak-jauh’ atau e-learning.

Leo Patty dan dua buah hatinya. (foto: dok pri)

Bahkan salah satu puteri saya sudah menjadi ‘tutor’ bukan guru dari pembelajaran e-learning ini. Selain itu, kita juga berdiskusi kecil soal-soal tantangan yang harus dihadapi sebagai orang tua. Saya cuma bisa berpesan; jadikanlah rumah sebagai tempat paling nyaman dan aman bagi anak-anak milenial kita. Sehingga apapun yang terjadi sang anak akan pulang karena dia tahu dia pasti diterima dengan pelukan kasih — selalu. Selebihnya hanyalah pendampingan dan upaya mendorong anak untuk mandiri dan berkarya —- membuat saya ingat petikan sajak Khalil Gibran; Engkaulah busur asal anakmu, anak panah hidup, melesat pergi.

Kembali membahas Yogyakarta, melihat kota, saya menolak hanya melihat gedung, jalan, bahkan Candi Prambanan. Tapi lebih suka melihat manusia, mengagumi ketabahan dan kegigihan pedagang di trotoar Malioboro yang tidak jemu memperjuangkan kehidupan dari hari ke hari. Mengagumi penjual sate di trotoar karena tetap gigih mengipasi sate setiap hari tanpa henti untuk sebuah kehidupan. Tukang becak yang tidak lelah menawarkan tur murah. Dan tentu saja ibu-ibu atau nenek-nenek tua pedagang batik di Beringharjo. Saya kagumi semua itu — rasanya mereka punya nilai lebih daripada 60% orang super kaya Amerika yang tidak pernah bekerja karena menerima kekayaannya dari warisan belaka.

Saya juga mengagumi pertemanan di Jayakarta. Berkumpul bercengkrama, tidak membahas betapa hebatnya tiap-tiap individu dalam kariernya atau betapa beruntungnya dia. Tetapi berteman dengan tulus tanpa melihat semua atribut kecuali memandang kemanusiaan tiap-tiap teman. Menarik, mencoba melihat teman sebagai sosok manusia yang juga berjuang dalam kehidupan ini dan masih terus berjuang —- salut untuk semua.

Pertemanan tulus sepertinya akan dicari ketika orang sudah menua dan meninggalkan semua jejak kesuksesan karier dan bahkan mungkin kekayaan. Orang mencari manusia dan berupaya memanusiakan teman-temannya, berempati dan jadi sahabat. Sukar digambarkan, namun nilai kemanusiaan — agar hidup bermartabat dan mati pun bermartabat —- akan terus dirindukan untuk diri kita dan juga orang-orang di sekitar kita.

Salam sahabat. (leo patty)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *