Connect with us

Feature

UGEMI, Narasi Keseimbangan Kosmik

Published

on

Pengunjung dan karya Rina Kurniyati. (foto: ist)

Jayakarta News – Dua pelukis perempuan bertemu di satu ruang pamer.  Astuti Kusumo menyajikan pesona ekspresif wanita dalam sapuan warna warni renyah, ringan, lembut, halus, berkarakter.  Rina Kurniati menyuguhkan realitas potongan mobil atau motor klasik dalam goresan rupa tegas, kuat, berani, mencolok. Kreasi feminin Astuti berpadu dengan karya maskulin Rina. Dalam pameran yang dijuduli Ugemi itu, Astuti-Rina kompak bahu-membahu merangkai cerita tentang keseimbangan kosmik.

Sangkring Art Space, galeri yang berada di Kasihan, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi saksi bisu pameran Astuti-Rina mulai 24 Oktober hingga 4 November mendatang. Pemeran duapuluhan karya lukis dengan media kanvas dan kaca ini dibuka oleh Indah Juanita, Direktur Utama Badan Otorita Borobudur. Aminudin TH Siregar, kandidat Doktor dari Leiden Belanda dalam tulisannya pada Katalog Ugemi menyetujui adanya harmoni dalam karya Astuti – Rina itu.  “Perbedaan karya-karya keduanya memadukan maskulinitas dan feminisitas yang pada akhirnya membentuk keseimbangan,” tulis Aminudin.

Konsep Ugemi yang diusung Astuti-Rina memiliki latar belakang filosofi Jawa yang kental. Secara harafiah ugemi (ngugemi) berarti menggenggam erat. Ia simbol pengikatan diri lahir batin manusia dengan tradisi warisan leluhur mereka. Lebih khusus lagi, ngugemi terkait dengan posisi wanita sebagai rekan penyeimbang bagi suami (laki-laki). Wanita adalah ibu yang melahirkan dan mendidik putra putri.  Wanita tak melulu melayani. Ia membawa tongkat estafet penyambung nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal yang agung kepada para generasi penerus.           

Semua lukisan Astuti dalam wadah Ugemi menampilkan figur wanita, bermedia kanvas, bercat akrilik. “Perempuan dalam lukisan saya ini dimaksudkan sebagai upaya menangkap tema dan memaknai arti ugemi dari sudut pandang dan pikiran saya sendiri,” tutur Astuti. Dalam kerangka Ugemi, wanita jelmaan Astuti tampil sebagai sosok ekspresif yang cenderung abstrak, kabur, samar, remang namun terkesan begitu dalam dan intens.

Sebut saja “Angon Mangsa”. Lukisan karya Astuti ini menampilkan persona wanita yang seakan-akan terbang melayang. Tak jelas detil apa yang sedang ia kerjakan. Yang pasti, dari seluruh gerak gerik tubuhnya, si objek kuat menyatu dengan semesta. Lambaian tangan, olah tubuh dan aura paras cantiknya tampak sealur dengan sapuan warna warni yang renyah dan ringan di sekitarannya. Tampak klop dengan judul “Angon Mangsa” yang berarti merawat musim. Ketika manusia berada pada titik  “merawat”, aura positif tampak mencorong kuat.  Dan tatkala merawat didudukan pada konteks semesta, maka pacaran positif itu tampak oleh kebaikan jagad raya kepada manusia. Panen melimpah, musim berjalan normal, bencana alam setop tak lagi mengoyak. Begitu dalam tak terperikan makna si wanita dalam “Angon Mangsa”. Ia bagaikan soko guru peradaban.             

Astuti Kusumo paling kanan bersama Indah Juanita dan Yani Saptohoedoyo. (foto: ist)

Rina Kurniyati bertolak belakang dengan Astuti yang “bermain” di dunia perempuan yang ekspresif, jujur, spontan, apa adanya. Rina melompat ke belahan dunia yang berbeda. Media yang ia gunakan  tak biasa: kaca yang rapuh, licin juga rentan pecah. Proses melukisnya terbalik. “Saya melukis dari sisi belakang, tetapi karya ini disajikan dari sebelah depan. Ini sangat menantang,” tutur Rina. Diakuinya, melukis di atas kaca membutuhkan konsentrasi tinggi saat menggerakkan kuas karena licin. Tekanan tangan juga harus terjaga. Ini penting agar kaca tidak pecah.  Rina biasa menggunakan kaca dengan ketebalan 3 mm, terkadang pula ia menggunakan kaca berketabalan  5 mm.            

Rina melukis mobil atau motor klasik. Namun tak semuanya ia sorot.  Otomotif jadul itu seperti ia preteli, lalu dicomot sebagian untuk dituangkan ke dalam lukisan. Jadilah lukisan khas Rina dengan penampakan hanya spion saja, cuma sepenggal lampu kiri atau kanan, sebagian roda motor, selingkaran stir mobil, dasbor doang, atau separuh lampu tampil bersama setengah bagian bamper. Ada satu lukisan mobil utuh, namun ia sekadar mobil yang tampak dari sebuah kaca spion, kecil dan terkesan jauh.  Rina memberikan alasan khusus untuk lukisan spionnya itu. “Spion melambangkan cara saya bercermin dan melihat diri sendiri,” tuturnya. Semua lukisan Rina tampak  bersih, berkilau, mengkilat seperti permata tersorot lampu.  

Ada dua lukisan Rina yang terlihat menampakkan bagian kendaraan yang lebih luas.  Pertama, lukisan serombongan mobil sedang parkir berjajar-jajar. “Jeda” judulnya, jadul-jadul penampakan mobilnya.  Namun tak satu pun dari mobil-mobil tua ini yang manampakkan seluruh bodinya, akibat tertutup badan mobil di kiri, kanan, depan dan belakangnya. Kedua, lukisan “Sukarno in Rusia”. Kelihatan presiden pertama RI ini sedang berdiri di atas mobil Roll Royce. Rina mencuplik sebagian mobil buatan Inggris pada belahan depan.  Namun, itu pun tak utuh. Tak tampak roda. Lampu depan kanan hanya setengah.  Penggalan bagian depan yang lumayan besar ini sudah cukup membuat gambar mobil tuanya itu mendukung penampilan figur yang sedang berdiri tegak di atasnya, yang berpayung dan melambaikan sebelah tangan kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dialah Soekarno, orator kelas dunia.   

Kiri ke kanan: Maeva Salmah, Kepala Museum Basoeki Abdullah, Rina Kurniyati
Indah Juanita Direktur Utama Badan Otorita Borobudur dan Yani Saptohoedoyo
di depan karya Rina. (foto: ist)
Pengunjung Pameran Ugemi saat pembukaan Kamis (24/10) di Sangkring Art Space Kasihan Bantul Yogyakarta. (foto: ist)

Pada pembukaan pameran Ugemi itu, seratusan lebih orang menjadi saksi hidup karya Astuti dan Rina. Kedua perupa otodidak ini telah menggoreskan warna khas dalam proses perjalanan seni rupa di tanah air. Aminudin mencatat, baik Astuti Kusumo maupun Rina Kurniyati seperti out of the box. Karya keduanya dikerjakan dengan teknik, gaya dan sudut pandang pemikiran berbeda. Wanita pada lukisan Astuti misalnya,  sama sekali tidak terjebak pada imaji tentang insan  berbetis besar yang kokoh atau wanita pekerja yang menopang berat tubuh dan beban di punggungnya, yang mempersepsikan kemandirian serta terhindar dari subordinasi laki-laki. Sementara lukisan kaca Rina, dalam pandangan Aminudin, membuka wacana terhadap sejarah dan sastra. Rina meletakkan kata-kata yang dirasa mewakili untuk menarasikan karyanya. Ia mencuplik sepenggal tulisan Pramudya Ananta Toer  tentang bagaimana “menjadi orang besar” di salah satu karyanya.         

Astuti dan Rina sangat beruntung. Mereka memiliki keluarga yang seratus persen mendukung aktivitas melukis. “Support dan doa keluarga sangat membantu dalam proses berkarya saya,” kata Astuti. Sementara Rina mengungkapkan bahwa suami dan anak-anak mendukung dirinya.  “Kadang anak-anak bertugas membersihkan rumah dan memasak demi memberi keleluasaan saya dalam berkarya,” tutur Rina. Astuti dan Rina dalam dukungan keluarga adalah sebuah keseimbangan kosmik yang cantik dalam kehidupan nyata mereka sehari-hari. (Ernaningtyas)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *