Connect with us

Feature

Sri Mulyani dan Pangeran Diponegoro

Published

on

Dari kiri ke kanan: suami Ibu Menkeu, Indro Kimpling Suseno (direktur eksekutif Jogja Gallery), Menkeu, Ki Roni Sodewo (keturunan ke-7 Diponegoro/Patra Padi), Mikke Susanto (kurator pameran). (foto: istI

 Sangat memukau menikmati cerita sejarah yang inspiratif dalam karya lukisan yang luar biasa. Karya ekspresi dan imajinasi.  Terimakasih sudah merangkai cerita yang manusiawi dan indah tentang Diponegoro.

                                              Sri Mulyani Indrawati

 JAYAKARTA NEWS – Begitulah kesan yang ditulis Sri Mulyani Indrawati. Menteri Keuangan (Menkeu) mengunjungi Pameran Sastra Rupa Babad Diponegoro di Jogja Galeri pada Jumat (15/2) pukul 15.15 wib.  Dua lukisan ia beli. Pertama, “Blirik” karya Hadi Soesanto. Kedua, “Menyusun Siasat” karya Mahdi Abdullah. Sesaat setelah memandang-mandang keduanya, membaca-baca pupuh di captionnya, Sri Mulyani langsung berniat membelinya. Letak “Blirik” dan “Menyusun Siasat” termasuk di bagian awal dari 51 karya yang dipajang. Lantas, Dr Mikke Susanto MA, sang kurator, membisikinya. “Ibu, sebaiknya menyaksikan semuanya dulu, setelah itu baru Ibu bisa memilih,” pinta dosen Seni Murni Institut Seni Indonesia itu. Si Menteri menurut.

Sri Mulyani mencermati sejarah Diponegoro. Satu persatu lukisan ia pelototi bersama pemandu Ki Roni Sodewo, keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro. Menkeu turut membaca semua pupuh berbahasa Jawa pada caption setiap gambar. Ia tampak kagum pada lukisan kaca karya Rina Kurniyati di selasar galeri, juga lukisan Astuti Kusumo, “Tembang Cinta” yang bergaya ekspresonis, dari kejauhan. Lukisan-lukisan lainnya pun mendapat apresiasi yang luar biasa dari Bu Menteri. Tak satu pun karya terlewat. “Lukisannya bagus sekali, terasa melihat alur dalam film meski lukisan ini tidak bergerak,” kata Sri Mulyani. Apresiasi Menkeu berlanjut pada buku-buku dan pustaka Diponegoro yang disajikan dalam lemari kaca.

Dua jam berlalu. Di akhir kunjungannya, Sri Mulyani kukuh pada pendirian awal. Sejumlah 49 lukisan lainnya tak mampu menggoyahkan keputusannya. Ia terlanjur jatuh hati pada si “Blirik” dan “Menyusun Siasat”.

***

Sri Mulyani, Mahdi Abdullah dan “Menyusun Siasat”. (foto: ist)

Dunia perekonomian Indonesia seperti medan pertempuran. Sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani berdiri di barisan terdepan. Selayaknya Pangeran Diponegoro, ia pemimpin. Dalam sebuah perang, adu siasat menjadi kunci kemenangan. Siapa lemah di lini ini, kekalahan menjadi vonis pasti. Banyaknya serdadu, dukungan bedil dan meriam, serta kendaraan lapis baja yang angker tongkrongannya, belum tentu membuat pemiliknya meraih kemenangan. Ia bisa saja kalah melawan musuh yang hanya bersenjata ketapel atau panah bahkan tangan kosong sekalipun, hanya karena  siasat yang keliru.

Menkeu memiliki musuh. Koruptor! Si korup itu bisa berwujud pengemplang pajak, pelapor neraca keuangan fiktif, pelaku pungutan liar, pemark up nilai proyek, pencatut dana bantuan dan sejenisnya. Si musuh bisa bergerilya atau terang-terangan beraksi. Mereka bisa sendiri atau berkelompok. Yang jelas, sendiri atau bersama, yang mereka rampas sama: uang  atau  sumber daya. Demi menyelamatkan kekayaan negara juga demi sebuah pemerintahan yang bersih  Sri Mulyani, mau tidak mau, harus “berperang”. Dan ia ingin menang. Untuk itu Menkeu, seperti juga Pangeran Diponegoro, menyusun siasat. Pangeran Diponegoro tak ingin Pemerintah Kolonial merampas tanah rakyat. Menkeu tak rela pundi-pundi negara bocor di sana sini. Bagi orang seidealis Sri Mulyani, tindakannya menyelamatkan harta negara suci. Sesuci Pangeran Diponegoro dengan Perang Jawanya.

Perang Jawa berlangsung selama lima tahun, 1825-1830. Pangeran Diponegoro didukung milisi pribumi dan Tionghoa di satu sisi, melawan Jenderal Hendrik Merkus  De Kock yang didukung oleh tentara kumpeni dan milisi pribumi yang pro mereka. Di sini, siapa lawan siapa kawan jelas. Mereka berjarak. Ada batasnya. Gampang dilihat. Tidak demikian dengan Sri Mulyani. Musuh Menkeu berkelindan di seputarannya. Mungkin mereka staf sendiri.  Barangkali juga mereka staf  kementerian lain dari yang paling atas sampai posisi terbawah, rekan kerja di lembaga tinggi dan tertinggi negara, juga para rekanan atau pengusaha yang mengerjakan  proyek-proyek kelas jutaan sampai triliunan. Musuh dalam selimut. Mungkin istilah itu paling cocok menggambarkan lawan-lawan Sri Mulyani. Siapapun wujud musuh, butuh siasat atau strategi untuk menghadapinya. Diponegoro bersiasat agar tanah rakyat tidak dicaplok De Kock dan orang-orang yang tak berhak. Sri Mulyani bermanuver agar uang negara tetap utuh tanpa ada oknum yang menggerogotinya.

Sri Mulyani Dan “Blirik” karya Hadi Soesanto. (foto: ist)

Sosok Diponegoro identik dengan dunia peperangan. Perang Jawa disebut sebagai salah satu perang terbesar melawan Pemerintah Kolonial. Sejumlah 200 ribu milisi Diponegoro gugur. Sejumlah 7000 pribumi pro Kumpeni dan 8000 tentara Hindia Belanda tewas. Rupanya, Sri Mulyani tak ingin seperti Diponegoro yang selama lima tahun dalam hidupnya bersengkarut dalam medan peperangan yang berdarah-darah. Dan berakhir kalah. Sri Mulyani ingin tampil sebagai pemenang, tanpa melibatkan pertumpahan darah.

Lukisan “Menyusun Siasat” karya Mahdi Abdullah menjadi klop di sini.  Tak ada darah di lukisan itu.  Mata pisau  sang tombak bersih. Ia menjadi penyangga yang anggun. Diponegoro menyusun siasat dengan prajuritnya tanpa meja tanpa kursi, tikarpun tak mengalasi. Lambang kesederhaan dan ritme untuk bisa  bergerak cepat. Sri Mulyani terpukau dengan adegan itu. Ketika kebocoran uang negara tak pernah menunjukkan tanda-tanda berhenti, bahkan mungkin kian menjadi-jadi, maka siasat untuk mencegahnya tak lagi tunggal. Ia mesti up to date. Diperbarui dengan cepat dari waktu ke waktu. Mahdi Abdullah boleh berbangga. “Menyusun Siasat” karyanya, bisa jadi akan terus menemani Sri Mulyani dalam menyusun strategi di sepanjang siang  atau selama malam-malamnya. Ada adegan gambar catur di sisi kanan bawah. Di situ raja hitam kalah. Kenyataan bicara sebaliknya. Diponegoro tertangkap setelah ratusan ribu tentaranya wafat. Ia keok oleh siasat licik De Kock.  Sri Mulyani tidak menghendaki itu terjadi pada dirinya. Ia ingin menang tanpa ada pertumpahan darah. Ia tak ingin kalah siasat dibanding musuh-musuhnya yang kian pandai beraksi. Lukisan “Menyusun Siasat” sangat menginspirasi. Karena itu Sri Mulyani memilihnya. Bukan lukisan yag lain.

Lukisan “Blirik” menjadi pelengkap yang pas. Ia berbicara tentang pemilahan ikan di tambak Pangeran Diponegoro. Sang Pangeran mengerjakannya bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan Pangeran Suryobrongto. Para petinggi Kraton itu melakukan dua pekerjaan, mencari dan membagi. Sama dengan Sri Mulyani,  Menkeu mencari uang untuk kas negara lantas membaginya demi kelangsungan hidup bersama. Tak hanya siasat melawan tikus-tikus berdasi, strategi untuk mendapatkan pos-pos pemasukan tak pernah absen dari buku pe-er Sri Mulyani.  Juga bagaimana ia membagi, butuh cara-cara atau taktik yang tak mudah. Siapa mendapatkan berapa dan kapan ia memperolehnya.

Hadi Soesanto menampilkan 12 cangkir motif blirik. Hanya satu saja piranti makan itu yang berisi ikan, tepatnya kepala ikan. Ada dua versi yang bisa menjelaskan. Pertama, mungkin kegiatan menangkap ikan belum selesai, sehingga baru satu cangkir yang terisi. Kedua, mungkin hanya ada satu ikan hasil tangkapan yang harus dibagi dan proses pembagian itu belum selesai. Tak jelas, apakah cangkir yang sudah tertutup rapi berisi ikan atau tidak. Yang jelas, dalam lukisannya, Hadi Soesanto menampilkan 12 cangkir, satu saja cangkir yang berisi ikan. Hadi Soesanto menggambarkan piranti dapur itu dalam ukuran yang sama, bentuk yang seragam, warna yang persis. Lukisan “Blirik” itu seperti mengingatkan Menkeu agar membagi-bagi pendapatan secara jujur, adil dan tentu saja tidak diskriminatif.

Menkeu mengapresiasi lukisan “Babad Biru Kedaren” karya S. Soneo Santoso. (foto: ist)

Di Pameran Sastra Rupa Babad Diponegoro, seni tidak hanya untuk seni. Ia mampu menjelaskan sejarah dalam wujud yang berbeda. Sri Mulyani tak hanya mengapresiasi. Lukisan perjalanan Diponegoro itu sangat menginspirasi. Ia mengambil pelajaran darinya. Begitulah seharusnya orang memaknai perjalanan sejarah bangsanya. Karena itu Sri Mulyani mengungkapkan kesannya terhadap Sastra Rupa Babad Diponegoro itu sebagai pameran yang inspiratif. Dan ia menutupnya dengan ucapan: “Terima kasih sudah merangkai cerita yang indah dan manusiawi tentang Diponegoro”.

Ibu Sri Mulyani, selama 12 tahun bersama guru sejarah, saya hanya sebatas tahu tentang cerita masa lalu dan tanggal terjadinya peristiwa. Setelah ujian berakhir, semuanya lupa. (Ernaningtyas)

Menkeu menyaksikan buku-buku dan pustaka Diponegoro yang disajikan dalam lemari kaca. (foto: ist)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *