Feature
Menyeruput Kopi Liberika yang Istimewa
HARI Senin adalah hari kerja. Tapi di Yogyakarta, hari Senin seakan hari libur. Lihat saja Jl. Malioboro yang tak pernah sepi dari wisatawan. Dari Stasiun Tugu sampai Titik Nol Kilometer, ada saja wisatawan yang lalu lalang. Bahkan, depan Pasar Beringharjo yang kalau sore hingga malam dulunya sepi pedagang, sekarang masih banyak yang berjualan. Pecel bakmi, salah satu menu yang biasanya diburu wisatawan pun ada yang buka hingga tengah malam.
Sepanjang pedestrian yang luas di sisi timur Jl. Margo Mulyo (dulu Jl. Ahmad Yani) terus ke utara sampai Hotel Garuda, Senin malam lalu, 2 Oktober 2017, ramai sekali pengunjung. Malam itu memang ada acara khusus perayaan Hari Kopi yang digelar untuk pertama kalinya di Jl. Malioboro.
Makin malam, ribuan pengunjung terus saja datang menyesaki Jl. Malioboro. Tak hanya anak muda, mereka yang sudah berumur pun datang menyempatkan diri menikmati malam di Malioboro sambil menyeruput kopi. Panitia Hari Kopi memang membagikan sedikitnya 1.000 gelas berisi kopi kepada pengunjung. Di depan Mal Malioboro, ada 47 barista berjajar yang siap melayani pengunjung membagikan gelas-gelas kertas berisi kopi aneka jenis dan rasa.
Kopi di Indonesia memang seribu satu rasa. Jenisnya memang hanya 4, yaitu arabica, robusta, excelsa dan liberika. Namun, rasa dan aroma bisa berbeda. Kebanyakan, para barista menyajikan kopi arabika dan robusta. Dua jenis kopi ini memang mayoritas diproduksi dan diperdagangkan di Indonesia.
Namun, saya sangat beruntung karena Mustofa, petani kopi dari Temanggung membuatkan satu cangkir kopi liberika, khusus buat saya. Kopi liberika tergolong langka. Tak hanya di Indonesia, bahkan di dunia, kopi liberika jarang ditemukan. Padahal, kopi ini disebut-sebut lebih sehat dibanding kopi jenis lain. Mungkin karena kandungan kafein justru banyak terkandung dalam daunnya, bukan pada biji kopinya. Rasanya agak asam, tidak terlalu pahit dan aromanya segar. Betul-betul nikmat.
Pada umumnya, kopi liberika beraroma nangka. Karena itu orang sering menyebutnya kopi nangka. Namun, kopi liberika yang diolah Mustofa, aroma nangkanya sengaja dikurangi agar seimbang dengan rasa kopi yang segar. “Orang Itali senang sekali dengan kopi liberika yang saya buat,” tuturnya.
Mustofa memang lebih suka menjual kopi liberika ke pasar dunia. Ada empat negara di Eropa yang selalu minta dikirimi kopi liberika yang diproduksi Mustofa. Diantaranya Swiss dan Itali. Selain itu, Malaysia dan Singapura juga sering minta.
Selain mengelola sendiri kebun kopi seluas 1,3 hektare milik mertuanya, Mustofa juga ahli mengolah dan meracik kopi hingga bercita rasa nikmat. Untuk menghasilkan kopi berkualitas tinggi, Mustofa juga menggunakan mesin roasting kopi merk Deff buatan Jerman yang terkenal di kalangan produsen kopi sebagai mesin paling bagus. “Harga mesin itu lumayan mahal, sampai Rp275 juta. Tapi demi menghasilkan kopi yang berkualitas tinggi, saya pakai mesin itu,” katanya.
Sejak pukul 21.00, Mustofa sudah sibuk menata gelas-gelas kertas. Satu demi satu, ia menuangkan air panas ke gelas kertas itu secara bergantian. “Gelas kertas seperti ini kan ada lapisan lilinnya. Saya bersihkan dulu lilinnya agar tak mengganggu kesehatan,” ujar Mustofa seraya tersenyum.
Meskipun hanya untuk dibagikan secara gratis, Mustofa tetap menyajikan kopi sesuai SOP (Standard Operating Procedure) yang ia tetapkan sebagai barista. Memang saya lihat, hanya dia yang punya kepedulian itu. Barista yang lain langsung taruh saja gelas-gelas kertas itu berjejer di meja tanpa dicuci menggunakan air panas seperti halnya Mustofa.
Pengunjung sudah tak sabar menunggu pukul 22.00 untuk mendapatkan kopi gratis. Meski jumlah pengunjung ribuan, tapi pembagian kopi berlangsung tertib. Tak ada yang berebut, apalagi saling dorong. Begitulah masyarakat di Jogja. Suasananya benar-benar enak dan nyaman. Pesta Hari Kopi yang semarak ini berlangsung hingga Subuh. Sambil membersihkan kembali Jalan Malioboro, pengunjung dan panitia bergotong-royong. Begitu selesai, acara pun ditutup dengan sarapan nasi gudeg bersama.***