Connect with us

Kolom

Kita Sedang Baik-baik Saja, atau  Grusa Grusu

Published

on

Cawapres Gibran Rakabuming Raka/foto: tangkap layar/diana

JAYAKARTA NEWS— Menyimak suatu ungkapan maupun perkembangan kata, kadang  mengasyikkan, kadang aneh, bikin penasaran, sekaligus memungkinkan penyempitan atau perluasan makna. Bahkan  membangun idiom baru.

Apa yang  dikatakan para pejabat  maupun para tokoh masyarakat yang kemudian  populer dalam ungkapan  sehari-hari terhadap arti kata “saja”, boleh disebut keluar atau “menyimpang” dari maksud yang selama ini kita pahami. Memang terasa tidak keliru, tapi tidak lumrah, namun “bergaya”. Dan ini kemudian  menjadi idiom baru. 

Setidaknya  sekitar setahun terakhir,  idiom itu acap dikemukakan, mulai presiden, menteri, gubernur hingga  masyarakat umum, dan tentu populer juga di media sosial (medsos). Mereka mengatakan, misalnya; “Demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja.” , “Perekonomian juga belum baik-baik saja.”,   

Di Jayakartanews ini pun, Kamis kemarin (30/11)  tertulis idiom tersebut di bawah berita berjudul  Gowes Surabaya-Jakarta, Ketuk Hati Nurani Goenawan Mohamad. Simak saja cukilan kalimatnya; “Wartawan yang banyak berkecimpung di liputan olah raga itu, merasa bersyukur bisa finish di Tugu Monas Jakarta, dengan baik-baik saja.”

Arti  “saja”  di atas “nilai rasanya” sebagai penegas tentang suatu kondisi. Berbeda dengan makna “saja” yang kita pahami selama ini yang setara dengan kata “cukup” . Misal dalam kalimat, “Sudah, itu saja !” Atau bisa diganti dengan kata hanya, namun  letaknya di depan  kata yang diterangkan.

Demi efisiensi kata,  dalam penulisan kita diharuskan menggunakan salah satu saja. ‘Hanya satu” atau “Satu saja”. Namun untuk memantapkan maksud, dengan tujuan lebih menekankan pesan, biasanya dalam bahasa tutur,  maka frasa di atas sering diucapkan ; “Hanya satu saja”.  

Hal itu tentu bukan  problem. Maksud frasa dalam idiom tersebut  mudah dipahami. Bahkan idiom baru ini terasa meluaskan makna kata “saja” itu sendiri. Jadi dalam menyimak atau untuk mengerti maksudnya, kita tinggal lihat konteknya saja.

 Kita ingat kata “bapak”. Semula maksudnya panggilan bagi orangtua laki-laki, atau sama dengan panggilan “ayah, papa, papi, abah, abi, daddy” . Namun dalam perkembangannya , “bapak” juga berarti  panggilan bagi lagi-laki dewasa,  misalnya Bapak/ Pak Bambang, Pak Arif, Pak Doni, dan dalam kontek  lain “bapak” yang dimaksud adalah “suaminya”. Contoh, ”Nama bapak lengkapnya siapa ya,  bu ?” tanya pak RT  yang tengah mendata daftar warganya.

Yang agak mengejutkan saya belakangan ini, adalah arti kata grusa grusu.  Kalau arti atau sinonim sama dengan tergesa-gesa atau terburu-buru.  Namun dalam konteks yang lebih luas, ini  juga ungkapan/pitutur, bahkan bisa dikatakan piwulang apik dari Bahasa Jawa.  Atau bisa disebut kearifan Jawa saat menasihati, “Aja grusa-grusu !”

Ungkapan tersebut  makin populer ketika yang mengatakan adalah Presiden, lalu diikuti pula oleh salah satu capres yang hendak berkompetisi pada  Pilpres , Februari tahun 2024. Di televisi, apalagi di medsos, kata-kata tersebut tidak asing lagi. Tampaknya  semua penutur dan audien pun yang di luar etnis Jawa paham  makna  frasa tersebut karena  berulang-ulang  dikatakan..

Namun, kalau kita melihat realitas politik belakangan ini, ketika anak muda , Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden,  “Aja grusa grusu” seakan-akan berkebalikan dengan makna yang sebenarnya. Tampaknya realitas politik itu  malah sebangun dengan frasa;  “Lebih cepat lebih baik.”  Apalagi  dia adalah anak  Presiden  pula,  maka tak  heran jika  isu nepotisme merebak, ditambah lagi, sebagaimana kita tahu, ada upaya “otak-atik” suatu pasal undang-undang” melalui  gugatan di Mahkamah Konstitusi.  Maka makin riuhlah gaungnya.

Pemahaman saya, atau kita yang wong Jowo tentunya,  Aja grusa grusu  itu merujuk pada konteks yang lebih luas tadi,  adalah langkah tindakan, gawe,  yang dilakukan dengan tenang, dipikirkan matang, tidak keburu-buru,  penuh persiapan diri, punya bekal cukup, baik pengalaman, kemampuan, wawasan, serta mental yang teruji pula.

Dan itu biasanya dilakukan melalui proses yang tidak singkat. Dibentuk oleh kondisi yang tidak mudah.  Ada kendala dan rintangan yang silih berganti menghadang. Bahkan mungkin cibiran dan caci maki. Namun seringkali hal itu membentuk kedewasaan diri. Sebab dalam  menghadapi  “pukulan badai”, cara-cara  menemukan  solusi yang tepat  akan ditemukan  seiring pergulatan pikiran yang terus terasah, serta memunculkan jiwa pemberani, terutama dalam kepemimpinan. Dan gemblengan semacam itu bisa didapat hanya melalui suatu proses.

Aja grusa grusu, di situ, di dalamnya tercakup/ terkandung pula petuah,  “Yang sabar ya”, dienep-ke disik (tenang, pikir masak-masak). Memantaskan dirilah lewat proses.  Bukankah  sesuatu yang  alami itu mencitrakan keagungan ? Begitupun kiranya dalam  jagat  kepemimpinan. Sehingga tak muncul gugatan / ungkapan sederhana  yang  menunjukkan kita tak kenal diri. Ungkapan itu tersirat dan tersurat juga dalam  percakapan budaya Jawa,  yakni,  Ngono ya ngono ning aja ngono.

Lantas, kemunculan anak muda yang riuhnya di sosmed  diwarnai  celetukan-celetukan yang intisarinya “mempertanyakan” itu, terus saja berlalu. Tak sedikit pula  ungkapan-ungkapan keprihatinan yang menyayangkan “ketidaksabarannya” menunggu “hari depan” nanti.    Tapi ada pula yang menganggap wajar serta  memaklumi, sambil   berkata,  “Kekuasaan itu memang menggoda“.

Ya, tahta itu konon juga indah karena di situ kita bisa pegang kuasa. Dan ungkapan  klasik yang sering kita dengar bahwa yang acap menggoda itu konon ada tiga, yakni Harta, Tahta dan Wanita. Dan biasanya, hanya  wanita yang dapat mengendalikan ketiganya, meski di balik layar. *** (iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *