Connect with us

Kolom

Ketika Kekecewaan Sampai di Tapal Batas

Published

on

Kunjungan Presiden Joko Widodo di Nusa Tenggara Timur, (6/12/2023)/foto: tangkap layar instagram Jokowi

JAYAKARTA NEWS – Banyak tokoh, orang-orang terdekat istana, maupun orang biasa-biasa saja yang dulu mendukung tanpa pamrih, ikut menaruh harapan kepada Bapak Presiden Joko Widodo –  tentu plus respek, bahkan  ada yang dengan sanjung puja – tapi kini harus patah hati.

Deni Siregar misalnya, salah satu  nama yang tak asing di jagat media sosial (medsos). Dulu ia sering dibuli karena terkesan mati-matian “membela” Bapak Jokowi. Pekerja keras, pemimpin yang menggapai puncak kepemimpinannya melalui anak-anak tangga  yang terus naik. Mulai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, lalu Presiden RI.

Betapa tidak. Penampakan kesederhanaannya tak diragukan. Mau blusukan menyapa rakyatnya, dan kehadirannya selalu dielu-elukan, terutama kaum kebanyakan  yang acap menyatakan apapun dari lubuk hati terdalamnya. Wajar tentunya jika karena semua itu Deni Siregar terpesona.

Kini wajar pula  tentunya jika ia  kecewa, lalu meneriakkan  lengking jeritannya. Karena praktik politik dinasti, nepotisme yang dilakukan dengan siasat tak beretika. Selain itu dianggap menabrak   konstitusi melalui  suatu upaya yang diduga berkait berkelindan dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi “ikhwal batas usia capres dan cawapres”.  Ketua MK adalah iparnya, sehingga sang anak lolos maju menjadi cawapres.

Mereka yang patah hati, kecewa, kemudian tak sekadar diam. Namun mengekspresikan kekecewaannya dengan pelbagai cara. Ada yang menyeberang mendukung tokoh lain, berbicara lewat medsos, dan tentu menyampaikan pula pesan dan tetap  berharap  beliau berjalan di “jalur yang beretika, serta baik dan benar”. Terutama terkait politik dinasti, karena Bapak Jokowi tampak membuka jalan dan ruang bagi keluarganya untuk berperan serta dalam politik tersebut. Piwulang Jawa menyebut  cara  demikian sebagai “aji mumpung”

Pesan dan harapan yang dikemukakan oleh mereka yang kecewa pun tetap santun,  beretika. Ada pula yang dibalut kejenakaan layaknya  Abunawas. “Pak Jokowi ini makan apa sih kok jadi begitu ?!”  Atau;  “Kesambet apa  sehingga bisa jauh berubah?  Dan banyak pula yang terang-terangan mengatakan  apa adanya, pun dengan kata-kata yang tajam bahkan mungkin menohok andai disadari  benar esensinya.

Namun,  jika semua dipandang kritik belaka oleh Pak Presiden,  dan siapapun boleh mengkritik di era keterbukaan ini,  tapi dianggap angin lalu, itu berarti hilangnya kepekaan-kepekaan  yang betapapun lembutnya  pesan  tak akan menggetarkan nurani. Dan betapapun sarkastisnya kata-kata, mungkin saja tidak  disimak.  Ungkapan demikian ada pula dalam sebuah lagu religi, ‘Bermata Tapi Tak Melihat’, gubahan Bimbo. Cuplikan syairnya antara lain; /Bermata tapi tak melihat/ Bertelinga tapi tak mendengar/  Bermulut tapi tak menyapa/  Berhati tapi tak merasa   

Kita tahu, kalau kekecewaan sudah di tapal batas, di tubir antara kecewa, kesal, prihatin, dan putus asa,  tentu menjadi sesuatu yang mendera dan mengaduk-aduk emosi. Kalau kekecewaan terkait langkah sang pemimpin yang sebelumnya membuat kita  memiliki banyak harapan, lalu harapan itu luruh berguguran, inilah  puncak  keprihatinan kita saat ini.

“Pak Presiden yang terhormat,  sudahilah semua drama, “ saran Deni Siregar di akhir narasinya dalam  chanel youtube,  2045 TV. “Kembalilah pada porosnya. Cepat ambil langkah untuk redam semua sebelum terlambat dan api akan membakar  ilalang kering yang mudah tersulut ketika ada  yang memanfaatkannya. “

“Duh, sayang sekali ketika nama yang baik yang dibangun hampir sepuluh tahun harus hancur karena kesalahan satu kali. Semoga Pak Presiden mengerti dan jeritan hati ini sampai ke ruang personal dan bisa menyentuh hati.”

Itulah harapan Deni Siegar.

Seruan Keras

Tak kalah keras dibanding  Deni, orang Batak yang tampak paham tentang budaya Jawa  yakni  Johan O Silalahi pun lantang menyeru.  Seruannya keras laksana menggedor pintu langit. Dalam suatu perbincangan di 2045 TV juga , antara lain dikemukakan,   “Ada yang ga patut, ada yang ga pantas ketika mas Jokowi memaksakan putranya, Gibran jadi walikota Solo. Ini pukulan pertama buat saya.” aku Johan.

 Lalu disebutkan saat menantunya, Boby Nasution,   mengkhianati partainya, PDIP yang mengantarkannya menjadi Walikota Medan. Johan tampak sangat menyayangkan sikap Pak Jokowi yang seolah jauh dari budayanya sendiri.

 “Budaya Jawa itu sudah terbentuk  ratusan tahun, “  katanya. “Tidak mungkin kacang meninggalkan kulitnya.  (Tidak mungkin) Air susu dibalas dengan air toba.”

Sebagaimana kawan setia,   ia pun menyatakan bahwa kita sayang sama Jokowi. Kita sayang pada bangsa dan negara ini. Kita menjaga supaya Presiden Jokowi selesai dengan  terhormat. Saya berharap, mendoakan supaya presiden Jokowi selesai purna tugas dihormati seluruh rakyat.

Karena itu Johan mengingatkan sang presiden  agar “eling”. Kata-kata yang diucapkan Johan cukup menohok terkait  upaya Jokowi mengantar Gibran menjadi Walikota Solo.  Tak heran jika ia sampai  melepaskan kalimat yang  lebih dari satire,  dan berasa getir, sekaligus miris   “Jangan   mengambil hak  orang. Jangan menginjak kaki orang atau  jangan menginjak kepala orang.”     

Narasinya demikian gamblang. Keras, dan menikam ! Uneg-unegnya dibahasakan apa adanya. Meski itu dikatakan di medsos, dunia maya, namun resonansinya  bisa menjalar ke dunia nyata.  Padahal  “yang    maya dan  yang nyata” tersebut  senantiasa dalam genggaman kita. Di ponsel kita semua.

Deni Siregar dan Johan Silalahi, hanya bagian kecil dari mereka yang mengungkapkan keprihatinan, lalu meneriakkannya. Dalam suatu wawancara di televisi, sastrawan dan budayawan Gunawan Mohamad yang belakangan  ingin fokus belajar melukis, akhirnya terjaga juga ketika melihat fenomena terkoyaknya demokrasi.      

Di sisi lain kita tetap bersyukur karena masih bisa meneriakkan kekecewaan, mengkritik,  serta mengkritisi langkah penguasa yang kita anggap menyimpang. Namun  tentunya, kita juga harus memaknai dan mewaspadai, jangan-jangan teriakan ini sinyal untuk teriakan berikutnya

Memang, tidak semua orang yang mengikuti pekembangan situasi politik utamanya jelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden saat ini, mau berbicara atas fenomena yang tidak diharapkan tersebut. Mereka memilih diam, dan mungkin beranggapan bahwa isu atau fenomena tersebut akan berakhir  atau selesai seiring pergantian waktu.

Namun sebagian lagi menilai  bahwa isu di luar yang merebak  bisa dikatakan sebagai kezaliman politik. Dan itu  harus segera dihentikan,  setidaknya bisa diredam, terlebih terkait dengan gejala koyaknya demokratisasi.  Maka, saatnya kita mengingat ucapan Khalifah Ali bin Abi Tholib. Ia mengatakan, Kezaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik.

 Saya kira, kaum mudah utamanya, jangan bersikap diam pabila mengetahui tanda-tanda yang mencederai demokrasi. Juga jangan diam jika pilar yang  menggerogoti tegaknya reformasi mulai tergoyahkan, seperti  anti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sementara yang terlanjur kecewa hingga merasa terluka karena harapan-harapannya  sirna terlindas anasir-anasir nepotisme, juga tak perlu melankolik.  Kekecewaan itu mungkin juga bagian dari kesalahan kita sendiri, yang barangkali berlebihan dalam mencintai dan memuja seseorang, namun tidak menyediakan “ruang antisipasi”  bahwa siapapun bisa berubah. Termasuk kita sendiri.

Apalagi terkait kuasa dan tahta. Lompatan perubahan bagi seseorang, keluarga, atau kelompok,  bisa tak terduga.  Guna melanggengkan, bisa bertabur strategi,  siasat,  konspirasi, termasuk penyimpangan  dengan segenap  intrik dan segenap romantikanya. Bukankah hal itu merupaka fakta sejarah yang selalu berulang ?!   *** iswati 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *