Kolom
Ketika Kekecewaan Sampai di Tapal Batas

JAYAKARTA NEWS – Banyak tokoh, orang-orang terdekat istana, maupun orang biasa-biasa saja yang dulu mendukung tanpa pamrih, ikut menaruh harapan kepada Bapak Presiden Joko Widodo – tentu plus respek, bahkan ada yang dengan sanjung puja – tapi kini harus patah hati.
Deni Siregar misalnya, salah satu nama yang tak asing di jagat media sosial (medsos). Dulu ia sering dibuli karena terkesan mati-matian “membela” Bapak Jokowi. Pekerja keras, pemimpin yang menggapai puncak kepemimpinannya melalui anak-anak tangga yang terus naik. Mulai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, lalu Presiden RI.
Betapa tidak. Penampakan kesederhanaannya tak diragukan. Mau blusukan menyapa rakyatnya, dan kehadirannya selalu dielu-elukan, terutama kaum kebanyakan yang acap menyatakan apapun dari lubuk hati terdalamnya. Wajar tentunya jika karena semua itu Deni Siregar terpesona.
Kini wajar pula tentunya jika ia kecewa, lalu meneriakkan lengking jeritannya. Karena praktik politik dinasti, nepotisme yang dilakukan dengan siasat tak beretika. Selain itu dianggap menabrak konstitusi melalui suatu upaya yang diduga berkait berkelindan dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi “ikhwal batas usia capres dan cawapres”. Ketua MK adalah iparnya, sehingga sang anak lolos maju menjadi cawapres.
Mereka yang patah hati, kecewa, kemudian tak sekadar diam. Namun mengekspresikan kekecewaannya dengan pelbagai cara. Ada yang menyeberang mendukung tokoh lain, berbicara lewat medsos, dan tentu menyampaikan pula pesan dan tetap berharap beliau berjalan di “jalur yang beretika, serta baik dan benar”. Terutama terkait politik dinasti, karena Bapak Jokowi tampak membuka jalan dan ruang bagi keluarganya untuk berperan serta dalam politik tersebut. Piwulang Jawa menyebut cara demikian sebagai “aji mumpung”
Pesan dan harapan yang dikemukakan oleh mereka yang kecewa pun tetap santun, beretika. Ada pula yang dibalut kejenakaan layaknya Abunawas. “Pak Jokowi ini makan apa sih kok jadi begitu ?!” Atau; “Kesambet apa sehingga bisa jauh berubah? Dan banyak pula yang terang-terangan mengatakan apa adanya, pun dengan kata-kata yang tajam bahkan mungkin menohok andai disadari benar esensinya.
Namun, jika semua dipandang kritik belaka oleh Pak Presiden, dan siapapun boleh mengkritik di era keterbukaan ini, tapi dianggap angin lalu, itu berarti hilangnya kepekaan-kepekaan yang betapapun lembutnya pesan tak akan menggetarkan nurani. Dan betapapun sarkastisnya kata-kata, mungkin saja tidak disimak. Ungkapan demikian ada pula dalam sebuah lagu religi, ‘Bermata Tapi Tak Melihat’, gubahan Bimbo. Cuplikan syairnya antara lain; /Bermata tapi tak melihat/ Bertelinga tapi tak mendengar/ Bermulut tapi tak menyapa/ Berhati tapi tak merasa
Kita tahu, kalau kekecewaan sudah di tapal batas, di tubir antara kecewa, kesal, prihatin, dan putus asa, tentu menjadi sesuatu yang mendera dan mengaduk-aduk emosi. Kalau kekecewaan terkait langkah sang pemimpin yang sebelumnya membuat kita memiliki banyak harapan, lalu harapan itu luruh berguguran, inilah puncak keprihatinan kita saat ini.
“Pak Presiden yang terhormat, sudahilah semua drama, “ saran Deni Siregar di akhir narasinya dalam chanel youtube, 2045 TV. “Kembalilah pada porosnya. Cepat ambil langkah untuk redam semua sebelum terlambat dan api akan membakar ilalang kering yang mudah tersulut ketika ada yang memanfaatkannya. “
“Duh, sayang sekali ketika nama yang baik yang dibangun hampir sepuluh tahun harus hancur karena kesalahan satu kali. Semoga Pak Presiden mengerti dan jeritan hati ini sampai ke ruang personal dan bisa menyentuh hati.”
Itulah harapan Deni Siegar.
Seruan Keras
Tak kalah keras dibanding Deni, orang Batak yang tampak paham tentang budaya Jawa yakni Johan O Silalahi pun lantang menyeru. Seruannya keras laksana menggedor pintu langit. Dalam suatu perbincangan di 2045 TV juga , antara lain dikemukakan, “Ada yang ga patut, ada yang ga pantas ketika mas Jokowi memaksakan putranya, Gibran jadi walikota Solo. Ini pukulan pertama buat saya.” aku Johan.
Lalu disebutkan saat menantunya, Boby Nasution, mengkhianati partainya, PDIP yang mengantarkannya menjadi Walikota Medan. Johan tampak sangat menyayangkan sikap Pak Jokowi yang seolah jauh dari budayanya sendiri.
“Budaya Jawa itu sudah terbentuk ratusan tahun, “ katanya. “Tidak mungkin kacang meninggalkan kulitnya. (Tidak mungkin) Air susu dibalas dengan air toba.”
Sebagaimana kawan setia, ia pun menyatakan bahwa kita sayang sama Jokowi. Kita sayang pada bangsa dan negara ini. Kita menjaga supaya Presiden Jokowi selesai dengan terhormat. Saya berharap, mendoakan supaya presiden Jokowi selesai purna tugas dihormati seluruh rakyat.
Karena itu Johan mengingatkan sang presiden agar “eling”. Kata-kata yang diucapkan Johan cukup menohok terkait upaya Jokowi mengantar Gibran menjadi Walikota Solo. Tak heran jika ia sampai melepaskan kalimat yang lebih dari satire, dan berasa getir, sekaligus miris “Jangan mengambil hak orang. Jangan menginjak kaki orang atau jangan menginjak kepala orang.”
Narasinya demikian gamblang. Keras, dan menikam ! Uneg-unegnya dibahasakan apa adanya. Meski itu dikatakan di medsos, dunia maya, namun resonansinya bisa menjalar ke dunia nyata. Padahal “yang maya dan yang nyata” tersebut senantiasa dalam genggaman kita. Di ponsel kita semua.
Deni Siregar dan Johan Silalahi, hanya bagian kecil dari mereka yang mengungkapkan keprihatinan, lalu meneriakkannya. Dalam suatu wawancara di televisi, sastrawan dan budayawan Gunawan Mohamad yang belakangan ingin fokus belajar melukis, akhirnya terjaga juga ketika melihat fenomena terkoyaknya demokrasi.
Di sisi lain kita tetap bersyukur karena masih bisa meneriakkan kekecewaan, mengkritik, serta mengkritisi langkah penguasa yang kita anggap menyimpang. Namun tentunya, kita juga harus memaknai dan mewaspadai, jangan-jangan teriakan ini sinyal untuk teriakan berikutnya
Memang, tidak semua orang yang mengikuti pekembangan situasi politik utamanya jelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden saat ini, mau berbicara atas fenomena yang tidak diharapkan tersebut. Mereka memilih diam, dan mungkin beranggapan bahwa isu atau fenomena tersebut akan berakhir atau selesai seiring pergantian waktu.
Namun sebagian lagi menilai bahwa isu di luar yang merebak bisa dikatakan sebagai kezaliman politik. Dan itu harus segera dihentikan, setidaknya bisa diredam, terlebih terkait dengan gejala koyaknya demokratisasi. Maka, saatnya kita mengingat ucapan Khalifah Ali bin Abi Tholib. Ia mengatakan, Kezaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik.
Saya kira, kaum mudah utamanya, jangan bersikap diam pabila mengetahui tanda-tanda yang mencederai demokrasi. Juga jangan diam jika pilar yang menggerogoti tegaknya reformasi mulai tergoyahkan, seperti anti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sementara yang terlanjur kecewa hingga merasa terluka karena harapan-harapannya sirna terlindas anasir-anasir nepotisme, juga tak perlu melankolik. Kekecewaan itu mungkin juga bagian dari kesalahan kita sendiri, yang barangkali berlebihan dalam mencintai dan memuja seseorang, namun tidak menyediakan “ruang antisipasi” bahwa siapapun bisa berubah. Termasuk kita sendiri.
Apalagi terkait kuasa dan tahta. Lompatan perubahan bagi seseorang, keluarga, atau kelompok, bisa tak terduga. Guna melanggengkan, bisa bertabur strategi, siasat, konspirasi, termasuk penyimpangan dengan segenap intrik dan segenap romantikanya. Bukankah hal itu merupaka fakta sejarah yang selalu berulang ?! *** iswati