Connect with us

Histori

Revitalisasi Alun-Alun Tugu Malang Cederai Nilai Sejarah Kota

Published

on

MALANG, JAYAKARTA NEWS— Revitalisasi Alun-Alun Tugu Malang menimbulkan banyak masalah. Baik dalam perencanaan anggaran, maupun pengerjaan proyeknya. Proyek yang terkesan mengada-ada ini, seperti dipaksakan untuk dilaksanakan menjelang masa berakhirnya kepemimpinan Sutiaji sebagai Walikota Malang September mendatang.

Sebagai tokoh senior Kota Malang Eko Jeep pernah diajak bicara Walikota Sutiaji terkait rencana revitalisasi Alun-Alun Kota Malang. Awalnya Eko setuju untuk pembongkaran pagar Alun-Alun karena desain awal Alun-Alun memang tanpa pagar. Yang membuat Eko berang adalah besarnya anggaran yang diperlukan untuk pembongkaran pagar alun alun yang mencapai Rp6,9 miliar.

Dari sisi anggaran Proyek Revitalisasi Alun Alun Tugu Malang sempat mengalami beberapa kali revisi. Mulai Rp6,9 miliar, direvisi menjadi Rp6,6 miliar. Setelah proses review oleh lembaga anti rasuah, anggaran revitalisasi turun menjadi Rp5,3 miliar.

Dirancangan desain Alun-Alun Tugu yang sudah diterbitkan juga akan dipasang lampu bergaya Yogyakarta. Seperti yang sudah terpasang di area Kayutangan. Dari pertimbangan desain seperti ada yang kurang pas. Karena kawasan Malang pada umumnya bahkan kawasan Alun Alun Tugu khususnya bergaya arsitektur kolonial, mengapa menggunakan lampu corak kerajaan seperti di Yogyakarta.

Kondisi memorial saat Alun-Alun sedang direnovasi/foto: istimewa

Alun-Alun Tugu Malang adalah kawasan yang penuh nilai sejarah bagi Kota Malang. Alun-Alun ini pertamakali dibangun pada 1920 oleh planolog berkebangsaan Belanda, Thomas Karsten. Desain awalnya sangat sederhana dengan konsep terbuka tanpa dibatasi pagar yang menghalang. Bahkan, belum ada tugu di bagian tengah alun-alun tersebut.

Pada awalnya taman ini bernama JP Coen Plein. Penamaan ini sebagai bentuk penghormatan kepada Gubernur Jenderal Jaan Pieterzoen Coen yang juga dikenal sebagai pendiri Batavia (Jakarta).

Bangunan tugu dibangun lewat peletakan batu pertama, pada 17 Agustus 1946 oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Doel Arnowo dan disaksikan oleh M Sardjono Wiryohardjono yang kala itu menjabat sebagai Wali Kota Malang. Pondasi tugu ini sempat dihancurkan Belanda saat menguasai Kota Malang.

Tahun 1952, tugu ini dibangun kembali dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 20 Mei 1953. Monumen ini disebut sebagai wujud kebebasan Indonesia dari dominasi kolonialisme Belanda selama 100 tahun lamanya.

Malang memiliki 2 alun alun. Alun-alun Tugu dan Alun-alun Merdeka yang berada di depan Masjid Jami’ Malang. Dulu, dalam masa pendudukan Belanda di Malang, Alun-Alun Tugu menjadi areal bermain keluarga Belanda, sedangkan masyarakat pada umumnya bermain di Alun-Alun Merdeka.

Maka tidak heran jika ditemukan semacam memorial dari keluarga Belanda dalam bentuk kotak semacam tempat duduk dari beton dengan nama keluarga Belanda. Sayangnya dalam revitalisasi Alun-alun sekarang ini memorial yang sebelumnya tepasang rapi di taman di antara Tugu dan Bangunan Balaikota, dibongkar.

Penulis sempat mempertanyakan keberadaan memorial tersebut ke pihak Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), mereka tidak tahu kalau di area Tugu ada memorial tersebut. Setelah penulis mendatangi langsung area Tugu, penulis mendapatkan memorial itu sudah terbongkar. Ketika dikonfirmasi ke pihak TACB, mereka kaget. Dan mengatakan bahwa TACB tidak dilibatkan dalam proyek revitalisasi Alun-Alun Tugu Malang.

Yang menjadi pertanyaan penulis adalah, mengapa mereka tidak dilibatkan dalam Proyek Revitalisasi Alun-Alun Tugu Malang yang jelas jelas adalah kawasan yang sarat dengan nilai sejarah Kota Malang. Kalau memang tidak diperlukan, mengapa dibentuk TACB? (Heri)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *