Buku & Sastra
Realisme Oerip: Terlambat

Seno Gumira Ajidarma

Dari ketiga artefak cerita-gambar bergenre drama sosial gubahan Oerip yang bisa ditemukan, Terlambat, yang tanpa data tahun pembuatan, boleh dicurigai sebagai gubahan terawal.

Apabila dalam O, Mama (1966) naratif terbangun dari lajur-lajur menuju konflik; antara ayah dan anak yang menaruh hati kepada perempuan yang sama; dan dalam Derita (1966) naratif berisi keterbelahan hati seorang lelaki kepada dua perempuan, yang menimbulkan berbagai konflik sepanjang alur; maka Terlambat ini, ibarat pantun, nyaris tanpa sampiran, dan hanya terdapat isi: dua kakak beradik, si kakak serba positif dan si adik serba negatif, berakhir dengan keberkahan si kakak.
Dalam O, Mama posisi ayah sebagai rentenir memberi peluang pengungkapan kondisi ekonomi Indonesia semasa, dan bagaimana kondisi itu menjadi salah satu faktor penentu bagi drama sosialnya.
Dalam Derita kondisi ekonomi menjadi penyebab nestapa dan perilaku lelaki yang mondar-mandir di antara dua perempuan, yang berujung pada tindakan mencopet, itu pun gagal dan tertangkap pula.
Keduanya melahirkan situasi-situasi dramatik, yang dalam penggambaran dari panil ke panil tidak hanya memberikan drama, melainkan juga konteks ruang-waktu semasa. Penggambaran sikap, ekspresi wajah, busana, gaya hidup, interior rumah atau perkantoran, suasana dan penanda dari jalanan, rincian pernik-pernik kecil, juga wacana dalam cakapannya, berperan setara belaka bersama alur yang menuntaskan cerita.
Dari sudut pandang kontemporer, peran ganda cerita-gambar, yang bukan sekadar berfungsi sebagai seni hiburan dalam budaya populer, melainkan juga dokumen sosial, menjadi bagian dari segenap kontribusi sosialnya secara historis.
Bagaimana dengan Terlambat ?
***
Akhir ajaib cerita-gambar ini, sebuah pertanyaan: “Terlambat??”, mungkin tidak akan terjawab. Judulnya Terlambat, mengapa harus diulang dengan tanda tanya, ketika lazimnya justru tergaris bawahi sebagai penutup?
Tengok lebih dulu alurnya.
Sam adalah seorang mahasiswa yang tidak pernah kuliah, seorang perayu gadis-gadis belasan tahun. Kegiatannya sehari-hari adalah menggoda dan merayu, sampai akhirnya tiba saat ketika gadis-gadis yang dirayunya tersadar, dan meninggalkan Sam.


Semua ini dibeayai oleh harta ibunya, yang sebetulnya juga tidak berlimpah-limpah. Sementara itu, Zen, kakak Sam, sudah selalu menasehatinya, tetapi setiap kali dibalas dengan marah-marah. Ditunjukkan betapa ibunya juga cenderung berpihak kepada Sam.

Selain makan-minum dalam kencan-rayuan, Sam pun berjudi dan selalu berutang. Gaya hidup ini membuatnya jatuh ke pelukan Ratnasih, seorang pekerja seks komersial, yang menjeratnya sebagai sumber penghasilan.

Suatu ketika, saat di rumah tidak ada orang, Sam mencuri seluruh perhiasan ibunya, dan menyisakan satu cincin di kantung Zen. Akibatnya, ibunya yang marah dan mengundang polisi untuk memeriksa, jadi salah sangka terhadap Zen. Adapun Zen, selepas urusan polisi, kehilangan minat untuk pulang.



Demikianlah Zen berhasil hidup mandiri, dan mengawini Nur, puteri atasannya. Saat ingin menjumpai ibunya, rumah yang mereka datangi sudah dijual kepada tetangga oleh Ratnasih. Ibunya menumpang di rumah Mak Siti, tentunya tetangga pula.



Maka Zen dan Nur memboyong Ibu ke rumah mereka. Sampai pada suatu pagi muncul seorang pengemis buta dan istrinya, yang ternyata adalah Sam dan Ratnasih. Kepada Zen yang belum dikenalinya, ia berkisah tentang dosa-dosanya, dan mensyukuri bahwa Ratnasih tetap setia kepadanya.
Akhir cerita sungguh baik, bahwa semuanya lantas saling mengenali dan Zen menampung mereka di rumahnya.
Panil terakhir inilah yang menimbulkan pertanyaan. Setelah Ratnasih mengatakan Zen dan Nur akan pulang terlambat karena masih sibuk, sehingga sebaiknya makan dulu, apakah maknanya Sam bertanya, “Terlambat ??”
Pertanyaan itu seolah wajar jika Sam kurang mendengar, atau kurang mengerti mengapa Zen dan Nur pulang terlambat, tetapi selain kedua perkara itu memang bukan masalahnya, kata “Terlambat??” sungguh bermasalah sebagai penutup naratif yang juga berjudul Terlambat.
Pertanyaan “Terlambat??” berkemungkinan relevan jika dihubungkan dengan keadaan Sam sebagai fakir buta, yang membuang-buang peluang terbaiknya sendiri semasa mahasiswa, tetapi dapat dikatakan masih baik nasibnya, ketika Ratnasih yang semula pekerja seks komersial ternyata setia merawatnya.
Etika yang terterapkan dalam cerita-gambar Terlambat bukan penghukuman, melainkan penyadaran—pertimbangan ini mungkin karena penutup kata “Terlambat??” justru menjadi awal wacana baru.

Ruangan pada panil terakhir yang tak berkehendak tamat ini, seperti mengambil sudut pandang lensa lebar di bawah normal (cembung), sehingga pintu dan jendelanya tergambar miring. Namun kemiringannya juga bisa berlaku sebagai metafor kemiringan yang berlangsung dalam dunia para peran. Misalnya bahwa Sam yang buta karena penyakit kelamin, mungkinkah tetap dianggap kurang terhukum?
***

Dalam panil di atas terbaca ungkapan dalam balon-renungan, “Memang di kota itu sukar membedakannya wanita baik dan wanita …”
Titik-titik itu jelas mengandaikan pembaca dapat berpikir sendiri, bahwa jika ‘wanita baik’ itu oposisi binernya tentu ‘wanita tidak baik’, tetapi ‘di kota itu sukar membedakannya’ lebih merujuk pluralitas atau keberagaman ukuran nilai di kota besar.
Pembedaan menjadi sulit, bukan saja karena alat pengukurnya tidak hitam-putih, tetapi karena yang hanya putih dan hanya hitam mungkin memang tidak ada. Dalam dunia kelabu, ukuran hitam-putih mustahil berlaku, selain menjadi keliru.
Pada panil tersebut, nama toko sepatu ‘Gaya Baru’ memang merupakan gejala pasca-1965, ketika kata ‘gaya baru’ menjadi cap-dagang (trade mark) nyaris untuk apapun, di dalam maupun di luar perdagangan, mulai dari kereta-api gaya baru, rumah gaya baru, pokoknya gaya hidup baru, selepas dari tekanan ‘resmi’ (pidato kenegaraan Sukarno tahun 1959) terhadap ‘musik ngak-ngik-ngok’ (rock’n roll).
Segenap kebaruan yang masih anomali, massal, mendadak, dan mengejutkan, mengundang kepanikan moral (moral panic) yang fatalistik, seperti komik yang dirazia atau dibakar pada tahun 1950-an, di Amerika Serikat maupun di Indonesia. Sedangkan komik atawa cerita-gambar adalah sebagian saja dari merebaknya budaya urban yang tak terbendung.
Betapapun, dalam hal komik Indonesia, arus banjir komik itu melalui proses negosiasi terhadap budaya dominan, sehingga alih-alih anomali, menggebraklah komik wayang di pasaran, dengan tiga besar nama terlaris, yakni R.A. Kosasih, Ardisoma, dan Oerip sendiri. Negosiasinya adalah: dalam segala kebaruannya sebagai komik, ideologi wayang terkesankan sebagai bagian dari kebudayaan tradisional (baca: ‘nilai lama’).
Sehingga menjadi menarik, bagaimana interupsi terhadap laju komik wayang, dalam sikap antifeodal komunisme, sempat tertanggapi Oerip melalui komik-komik drama yang—sekadar—bernuansa realisme sosial (bukan sosialis). Adapun pengertiannya: representasi budaya urban Oerip tidak pernah melebihi yang seharusnya, ibarat ekonomi ia tidak melakukan kapitalisasi aset.

Dalam panil ‘pemandangan kota’ tadi misalnya, kejujuran Oerip membuat pembaca masa kini (yang memburunya ke pasar komik langka, tak jarang dengan harga fantastis) akan mafhum sekaligus terkayakan oleh pemandangan pluralitas minus keramaian tersebut—yang selain ‘gaya baru’, tetap menghadirkan teks-adonan seperti berikut:

Sepanjang naratif cerita-gambar Terlambat ini, pendekatan estetik dan etika dokumenter berkelindan, tanpa sodokan individual yang merebut perhatian, selain konsentrasi pada format realisme sosial dengan kesetiaan tertentu.
Sebuah lukisan dalam rumah Ibu misalnya, dari panil ke panil tidak pernah tampak secara utuh, karena setiap kali ada orang lewat atau berbicara di depannya. Juga sekadar pajangan di dalam ruangan, ditempatkan sesuai dengan kewajaran penghuni, yang tidak merasa perlu memperlakukannya seperti benda seni dalam galeri.
Sebaliknya segenap penggambaran benda non-seni begitu proporsional, sehingga tampilan keseluruhannya mencapai proporsi artistik. Segala benda dalam panil seperti kunci, gantungan baju, headboard di jauhan, sebagian kursi, baju tergantung, pintu lemari, dan gorden, menjadi bagian dari dokumen sosial maupun berfungsi sebagai properti artistik.


***
Naratif cerita-gambar Terlambat ini, sebagai temuan artefak komik drama sosial ketiga gubahan Oerip Somantri (1923 – ….), dibalik klise tema keinsyafan dan kesederhanaan alurnya, dibanding O, Mama, dan Derita, tetap berfungsi sebagai dokumen yang membuka pintu-pintu ke masa lalu.


Tertimbun popularitas impian urban dari sub-genre komik roman, ketiga komik Oerip ini lebih dari layak untuk diandalkan, bagi pembongkaran representasi realitas urban masanya, sebagai pembelajaran masa kini dan masa depan.
SENO GUMIRA AJIDARMA,
partikelir di Jakarta.