Buku & Sastra
Realisme Oerip: Derita
Komik drama sosial Oerip tentang orang-orang biasa pada 1966,
terujukkan kepada film Pencuri Sepeda gubahan Vittorio De Sica tahun 1948.______________________________
Komik drama Derita gubahan Oerip ini tahun terbitnya 1966, tetapi belum berizin polisi Seksi Bina Budaya Sub-Seksi Lektur, yang diterakan pada setiap komik pasca—’G30S’, sebagai bentuk pengawasan terhadap kemungkinan diselundupkannya ‘ideologi terlarang’.
Namun walau Derita ini masih bersih dari pengecapan tersebut, segera terlacak kecenderungannya yang didaktis, yakni secara tidak langsung melalui alur ceritanya seperti mau mendidik.
Sangat mungkin pengenalan atas sifat seperti ini, yang membuat lembaga pengawasan ini hadir setelah peristiwa berdarah pada 30 September 1965 tersebut.
Didaktis macam apa? Terkisahkan dalam 24 halaman terdapatnya tiga sahabat muda, Astuti, Warno, dan Yeti; satu lelaki dua perempuan, dan dalam proses Warno menikah dengan Astuti, sesuai ke mana hatinya menuju.
Setelah berumah tangga, dan Astuti mengandung, ternyata hatinya beralih ke Yeti, yang memang sengaja merebutnya.
Alhasil, Yeti pun mengandung, dan Warno memiliki dua rumah tangga, meski yang satu dirahasiakannya. Jadi apa yang bermula seperti romansa segi tiga beralih menjadi drama sosial, ketika dalam keadaan menanggung dua keluarga, dan beban ekonomi Warno memberat, pertimbangannya jauh dari bijak, seperti berikut:
Rupanya drama sosial Oerip adalah keterjebakan Warno atas perangkap Yeti, tetapi sebagai lelaki di antara dua perempuan, kebersalahan berada di pihaknya. Apalagi dengan keputusan yang tak berkeadilan: berbuat seenaknya agar Astuti menceraikannya.
Dengan kata lain, dua perempuan dalam Derita mendapat peran klasik: Astuti sebagai perempuan yang bersedia keluar dari pekerjaan setelah menikah; Yeti sebagai femme fatale yang di satu pihak sengaja merusak, di lain pihak melepaskan diri dari stereotip pasrah-mengalah, meski tetap menggantungkan diri kepada Warno.
Kemenduaan berlarut-larut di antara dua istri yang mengandung, bahkan kemudian Astuti melahirkan, mengacaukan perilaku Warno, sebagai manusia maupun sebagai pegawai, sehingga dikeluarkan dari pekerjaannya.
Setelah Yeti melahirkan, kekalutannya dalam kebutuhan biaya memuncak, sehingga dengan nekad ia berusaha mencopet, dan gagal. Nasibnya pun berakhir di balik terali besi.
***
Kiranya mudah menarik unsur didaktis, yang kelak akan diawasi oleh Seksi Bina Budaya Sub-Seksi Lektur itu, atas penjagaan terhadap ajaran ‘ideologi terlarang’—dan dalam hal Derita jelas tak perlu ada sensor apapun, saat perilaku Warno memberi cermin kebersalahan yang membuat pembaca manapun tidak ingin mengalami nasib serupa.
Dalam konteks komik sebagai cerita gambar, kali ini gambar-gambar Derita bercerita lebih banyak daripada alurnya. Bukan sekadar karena menghadirkan kembali suasana masa lalu, melainkan karena berperan penting dalam memperlihatkan latar dan pernak-pernik yang mengutuhkan drama sosialnya.
Dalam panil perkenalan misalnya, diperlihatkan kontras dandanan Astuti dan Yeti. Adakah suatu keberpihakan terhadap ‘nilai tradisi’, mengingat representasi Yeti sebagai ‘perempuan modern’ yang agresif, dengan cukup kentara tidak terhadirkan sebagai teladan didaktis yang boleh diikuti? Sementara panil-panil berikutnya mengutuhkan dunianya, dengan terdapatnya orang naik sepeda maupun pengasong rokok yang dua-duanya berpeci, serta pedagang pikulan di kaki lima.
Peci jelas menunjukkan keindonesiaan, tetapi dalam panil-panil ini tidak diperlihatkan dengan tujuan nasionalis, melainkan pengesahan atas keberadaan ‘orang biasa’, sebagaimana memang demikianlah fungsi peci menjadi penandaan, dalam seni drama maupun film semasanya.
Dalam panil-panil berikutnya, terdapat suasana perkantoran, yang menengok peralatan, dan tentu juga busananya, seperti dokumentasi keadaan 1965; taman sebagai tempat tujuan tamasya, tempat terlacaknya perkembangan situasi konflik dari posisi Yeti; dan kemudian juga interior dan eksterior rumah tinggal, yang sungguh bersahaja alias unggul realismenya untuk setia dengan tampak keseharian tanpa usaha memolesnya secara berlebihan.
Drama memang mengandalkan konflik, dan dalam komik drama sosial ini ujaran-ujarannya begitu lugas, bisa diterima dalam konteks keseharian yang tidak berbahasa Indonesia, sehingga yang tertulis di komik merupakan usaha baru. Maka kelugasannya bukan kekasaran, melainkan keluguan suatu cara berbahasa yang belum terkuasai sepenuhnya.
Perilaku lancung dan culas lelaki, sebagai suatu kelemahan karena tak tahan godaan, tentu bukan wacana baru. Namun menarik untuk melihat praktik korupsi jiwa maupun harta ini, dalam dunia 1966 yang jauh dari mewah. Warno mondar-mandir antara dua rumah, tidak menunjukkan sebagai golongan miskin, tetapi jelas tidak cukup berharta, yang menandai kondisi ekonomi serba kekurangan pada masanya.
Tidak seperti ada perwujudan yang menandai perputaran uang, tempat dana bisa dikais dan perilaku korup mendapat lahan. Warno hanya bisa mengambil dompet alias mencopet—dan karena ia seorang amatir belaka, komik drama ini pun menyayatkan pisau ironinya.
***
Realisme sebagai genre tampak gampang dirumuskan, dalam kenyataannya beban pembermaknaan membuat subgenre selain menjadi acak, juga bertumpang tindih mengikuti konsep ideologisnya masing-masing.
Kata ‘realisme’ sebetulnya memiliki makna koheren, mengingat keberbagaian penggunaan yang telah ditemukan, dalam perubahan dan referensi kepada gubahan tak terbandingkan. Seperti juga setiap kata yang memiliki sejarah panjang, dalam berbagai varian penggunaan, maknanya kompleks seperti sejarahnya itu. Maka ketimbang memulai—atau mengakhiri—dengan definisi pasti, lebih baik menerima pergantian (makna) yang diberikan oleh sejarah dan penggunaannya.
Kemudian, sangat perlu menyadari kategori-kategori utamanya pada abad ke-20, seperti antara lain—dalam konteks realisme Oerip—Realisme Sosial, walau jika sekadar mengikuti label-label akan luput menyadari keluasan dan kedalaman gubahan-gubahannya. Untungnya praktik, tendensi, dan makna umum realis berlangsung tanpa diberi label seperti itu. Adalah melalui referensi historis, maka salah satu bentuk gugus realisme dari berbagai konteks bisa dikenali.
Dalam pengaruh pendidikan formal maupun informal seni gambar yang merujuk ke kebudayaan Barat, keakraban dengan gubahan bergaya realistik menjadi bagian dari bahasa rupa, termasuk bahasa gambar, yang membedakan diri dengan bahasa (seni) rupa tradisional sebelumnya (Prendeville 2000, 7).
Komik drama sosial Oerip, Derita, terhubungkan dengan situasi 1966 di Indonesia, ketika moralitas personal pejabat menjadi isyu sehari-hari, dan masih bergaung slogan kebudayaan yang berpihak kepada petani dan buruh, disebut Realisme Sosialis (bukan Sosial), yang semangatnya adalah membela kelas tersebut dari penindasan struktural tuan tanah dan majikan kapitalis.
Namun jika Realisme Sosialis akan menunjuk sistematika penindasan, realisme Oerip tidak menunjuk ke mana pun selain sosok Warno—notabene ‘orang biasa’, bukan representasi pemerintahan korup. Sebaliknya, kantor tempatnya bekerja cukup tegas. Jadi Warno memang tidak terandaikan patut dibela.
Memang ada persoalan etis mengenai kemenduaan terhadap Astuti dan Yeti, tetapi yang personal menjadi sosial melalui gambar-gambar: roman lokal, ekspresi wajah, busana; dan tentu juga cara berbahasa—segi naratif lain dari sebuah komik.
***
Dalam komik ini, kemewahan tampak sangat terbatas, sepadan belaka dengan garis kemiskinan yang begitu tinggi tingkatnya, sehingga tanpa perlu menjadi gelandangan pun usaha kriminal yang bisa dilakukan adalah mencopet. Suatu adegan yang mengingatkan kepada sebuah film dari gelombang neo-realisme Italia, Pencuri Sepeda (Ladri di biciclette / Vittorio De Sica, 1948), ketika seorang pekerja harian terpaksa mencuri sepeda, setelah usaha mencari sepedanya sendiri yang hilang gagal—padahal ia hanya bisa bekerja sebagai penempel poster jika memiliki sepeda. Seperti pencuri sepeda itu, Warno pun gagal mencopet. Keduanya diburu massa dan tertangkap secara mengenaskan.
Tertangkapnya Warno dapat dianggap terpisah dari sikapnya sebagai lelaki di antara dua perempuan, tetapi kuasa wacana didaktik akan menafsirkannya sebagai akibat langsung—dan kuasa wacana semacam inilah yang kiranya berlangsung.
Di luar persoalan itu, realisme komik Derita tampak senada dengan neo-realisme Pencuri Sepeda dalam sinema Italia itu, bahwa bukan kejahatan tetapi struktur kemiskinan yang akut memaksa seseorang mencuri.
Seperti juga realitas sosial dalam konstruksi kemiskinan pada 1966, telah melahirkan komik drama Derita gubahan Oerip ini.
SENO GUMIRA AJIDARMA,
partikelir di Jakarta.
Gambar-gambar © 1966 OERIP / U. P. MEKAR