Feature
“Oedipus Rex” Kembali Dimainkan oleh Teater Alam Yogyakarta
Jayakarta News – “Oedipus Rex” atau “Oedipus Sang Raja” karya Sophocles dimainkan pertama kali di Teater Dionisos, Athena, pada 429 SM. Lakon ini merupakan salah satu dari trilogi Oedipus. Kelanjutannya adalah “Oedipus di Kolonus” dan “Antigone”. Walaupun usia lakon ini sudah berabad-abad, namun tetap dinilai sebagai drama tragedi terbaik Yunani.
“Oedipus Rex” dipentaskan pertama kali di Yogyakarta oleh Studigroup Drama Jogja, pimpinan WS Rendra, yang turut bermain sebagai Oedipus. Pementasan tersebut diproduksi oleh Sanggarbambu Yogyakarta, sekitar bulan Juli 1962. Pementasan dilanjutkan di Gedung Kesenian Jakarta pada tahun yang sama. Selanjutnya saat WS Rendra membentuk Bengkel Teater, lakon ini beberapa kali dimainkankan di Yogyakarta, Jakarta, dan Aceh, serta kota lain, setidanya di tahun 1969, 1971 dan 1987. Lakon ini juga pernah dimainkan oleh, diantaranya Teater Payung Hitam Bandung (1979), Teater Lingkar Semarang (1982), Teater Lakoe Semarang (1982) dan Teater Alam Yogyakarta.
Khusus Teater Alam, lakon ini sudah beberapa kali dimainkan. Di tahun 1981, dipentaskan di Gedung Grha Dirgantara Yogyaarta dalam acara Syawalan PWI-SPS Yogyakarta, 24 Agustus. Diusung ke Pasar Seni Jaya Ancol, pada 27-28 Agustus, dan pada 15 September dimainkan di Gedung Purnabudaya. Sutradara dari pertunjukan tersebut adalah Tertib Suratmo. Lantas pada tahun 1986, lakon ini dipentaskan di beberapa kota dalam muhibah ke Malaysia, dengan sutradara Azwar AN. Pada tahun 1999, Teater Alam secara mengejutkan mementaskan trilogi Oedipus dalam satu malam, yang berdurasi 10,5 jam di Purnabudaya, dengan sutradara Azwar AN. Pada saat ulang tahun Azwar AN ke 80, fragmen Oedipus juga ditampilkan.
Seluruh pementasan tersebut, Gege Hang Andhika yang senantiasa berperan sebagai Oedipus. Pun untuk kali ini, peranan tersebut masih dipercayakan kepadanya. Selayaknyalah jika roh Oedipus dapat merasuk ke dalam dirinya?
Mengapa lakon ini?
“Pilihan naskah ini adalah pillihan dar Bang Azwar. Perbedaan dengan pementasan-pementasan sebelumnya, menurut saya yang sangat menonjol adalah usia. Kebetulan usia para pemain adalah usia Lolita (lolos Lima Puluh Tahun), seloroh Meritz Hindra, aktor yang aktif di Teater Alam sejak didirikan dan kali ini menjadi Asisten Sutradara sekaligus memainkan peran sebagai .
“Saat dipilih lakon ini, kami sempat mempertanyakan. Dijelaskan oleh Bang Azwar bahwa Inilah saatnya kalian membuktikan keaktoran kalian. Saya ingin pentas kali ini benar-benar menunjukkan ke-aktor-an. Kami dapat memahami dan menyetujui usulan itu,” tambah Gola, yang menjadi pimpinan produksi.
Sinopsis
Lakon “Oedipus Sang Raja” adalah lakon tragedi-romantik yang mengisahkan perjalanan hidup Oedipus dalam mengalami kejayaan dan keruntuhannya.
Pada saat itu Thebes dilanda huru-hara. Wabah, kelaparan, serta kemandulan menyerang negeri itu. Rakyat menderita. Dalam penderitaannya itu rakyat mengalami kegoncangan-kegoncangan batin juga kepercayaannya terhadap raja Oedipus. Tiada kepastian dalam diri rakyat.
Konon kesengsaraan yang menimpa kerajaan Thebes adalah akibat kemurkaan dewa karena pembunuh raja Laius belum dihukum. Semua orang termasuk Oedipus meraba-raba dan mencari siapakah sebenarnya pembunuh Raja Laius.
Dalam keadaan demikian datanglah pendeta Teirisias. Sekali lagi Pendeta Teirisias memperingatkan Oedipus akan ramalan-ramalan yang sudah dijatuhkan dewa-dewa kepadanya. Oedipus menjadi sangat berang, dan menuduh Pendeta Teresias telah membuat ramalan-ramalan palsu yang tak berdasar, atas kehendak dari Creon, putra mahkota kerajaan Thebes, saudara putri Yocasta.
Dalam kegoncangannya menerima kebenaran-kebenaran yang dibentangkan oleh Teresias yang dianggapnya sebagai kebohongan besar, Oedipus membela dirinya dengan menunjukkan jasa-jasanya terhadap Thebes dan seluruh rakyat, dalam usahanya mengusir Sphinx, makhluk ajaib yang telah menimbulkan kegoncangan Thebes.
Pertentangan-pertentangan di dalam istana makin memuncak. Creon yang dituduh hendak merebut singgasana kerajaan telah diusir oleh Oedipus dari istana, tetapi telah dibela oleh Yocasta.
Suasana semakin memuncak, orang terus mencari-cari siapakah sesungguhnya pembunuh raja Laius. Dan pada saat itu, Oedipus mulai mengalami kegoncangan-kegoncangan batin. Teringatlah ia akan ramalan-ramalan Dewa Apollo yang dijatuhkan terhadap dirinya, bahwa ia kelak akan mengawini ibu kandungnya dan membunuh ayahnya sendiri.
Teringat pulalah ia bagaimana ia berusaha menghindarkan diri dari segala ramalan dewa mengenai dirinya, dengan jalan meninggalkan kerajaan Korinthe.
Pada akhir cerita diketahuinyalah seluruh rahasia, yang menyelubungi selama ini. Dialah sesungguhnya yang telah membunuh Raja Laius, ayahnya sendiri, yaitu orangtua yang dijumpainya dalam perjalanan melarikan diri dari Korinthe. Oedipus sendirilah yang mengawini ibu kandungnya yaitu Ratu Yocasta, janda dari orangtua yang dibunuhnya dalam perjalanan.
Adapun Oedipus sendiri sesungguhnya anak laki-laki yang telah dibuang oleh Yocasta ke kaki gunung Kitahron, tetapi ditemukan dan dipelihara oleh seorang gembala yang kasihan melihat bayi tak berdosa itu. Bayi itu kemudian diberikannya keada seorang gembala lain di Korinthe yang menjadi abdi raja Laius yang kemudian diakuinya sebagai anak sendiri oleh Sang Raja.
Setelah rahasia terbuka, tahulah Yocasta bahwa Oedipus adalah anaknya sendiri yang dulu dibuangnya. Yocasta kemudian mengakhiri hidupnya dengan tangannya sendiri. Oedipus membuat dirinya menjadi buta dengan menusukkan jarum berkali-kali ke kedua belah matanya, takut dan ngeri melihat akibat dari ramalan yang menimpa dirinya.
Creon kemudian datang, bukan untuk membalaskan dendamnya kepada Oedipus, tetapi minta agar Oedipus tetap tinggal di istana. Tetapi Oedipus menghendaki agar dirinya dibuang keluar dari istana. Sebelum pergi Oedipus memohon satu permintaan kepada Creon yang kemudian diluluskan, yaitu bertemu dengan anaknya, hasil perkawinan dengan ibu kandungnya, Yocasta.
Tantangan
Tidak dipungkiri bahwa faktor usia memang menjadi tantangan tersendiri. Setidaknya, seperti dikatakan oleh Meritz Hindra, kemampuan untuk menghafal dialog tentu tidak semudah seperti 40 tahun lalu. Tantangan lain, secara fisik para pemain juga harus benar-benar pintar mensiasati akting-nya untuk tidak banyak menguras energi mereka, sehingga mampu bermain secara tuntas.
Sejauh mana tantangan tersebut dapat diatasi, tentu saja kita harus menyaksikannya sendiri malam nanti (18/1) dalam kesempatan yang sepertinya sulit untuk terulang kembali di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.
Kita nantikan pembuktian dar Gege Hang Andhika (Oedipus), Daning Hudoyo (Creon), Anastasia Sri Hestutiningsih (Yocasta), Jemek Supardi, Tertib Suratmo, Lukman Usdianto, Bustaman Dalhar, Ronny AN, Eddy Subroto, Aziz, Hisyam A Fachri Hamda, dan Eko Pam.
Kita dapat membayangkan betapa sulitnya mempertahankan dan menjaga kelangsungan sebuah kelompok teater, terlebih dengan tetap hadir dalam repertoire-repertoire-nya, kendati setahun sekali. Ini juga yang menjadi titik tekan dari Azwar AN, pendiri Teater Alam.
“Hanya beberapa teater yang dapat hadir setidaknya setahun sekali. Saya berharap dari rekan-rekan teater yang masih ada, dapat bertahan sampai sepuh. Artinya, tetap bertahan. Jangan sampai tidak ada teater di Yogyakarta. Memang sulit untuk menjaga dan menghidupkan teater, karena dibutuhkan keikhlasan,” ujar Azwar saat konferensi pers (14/1).
Selamat Ulang Tahun bagi Teater Alam, semoga tetap dapat bertahan, dan tetap hadir menyemarakkan dunia teater Yogyakarta dan Indonesia!!! (Odi Shalahuddin)