Connect with us

Feature

Petualangan Kecil Kutacane

Published

on

Jayakarta News – Ada kalanya, “petualangan kecil” jauh lebih menarik, ketika dilakukan dengan spontan. Sebaliknya, perencanaan perjalanan, justru terkadang menjadi belenggu, dan mengakibatkan perjalanan kurang rileks.

Ini tentang “petualngan kecil” kami –Edy Ikhsan, MC Fajar, Rahmad, dan saya sendiri, Monang Sitohang. Kami sebut petualangan kecil, karena ini memang bukan rekreasi biasa.

Bermula dari semangat “hunting” durian, maka dimulailah perjalanan itu. Di sejumlah daerah, memasuki Januari memang sudah mulai musim durian. Kami menunjuk satu daerah penghasil durian, yang layak dijadikan target. Tepatnya di Tiga Lingga, Desa Laumil Hutaginjang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Karena kami berangkat dari Medan, maka untuk menempuh jarak sekitar 165 km ke Laumil Hutaginjang, perlu waktu antara empat sampai lima jam. Tak mengapa, pikir kami. Sepadan dengan kelezatan durian yang sudah terbawa mimpi tadi malam.

Mendadak, Edy Ikhsan memberi ide menarik. Perjalanan diarahkan ke Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara yang beribukota Kutacane. Di sana menginap satu malam, lalu keesokan paginya baru balik. Tidak langsung bali ke Medan, tetapi ke Tiga Lingga, sesuai rencana yang pertama.

Kebetulan, jarak Medan – Kutacane – Sidikalang (Dairi), relatif dekat, antara 100 – 200 kilometer antar satu kota dan kota lain. Jika dilihat di peta, tiga kota itu akan membentuk segitiga, meski jalan yang ditempuh, tidak selurus itu. Itu pula yang membuat penulis menyebut perjalanan ini sebagai sebuah “petualangan kecil”, yang mengasyikkan. Jika Anda tertarik, bisa mencoba, dan merasakan sensasinya.

Pendek kalimat, kami bertolak hari Minggu pagi pukul 05.48 WIB. Mobil dipacu menuju Ketambe. Berdasar aplikasi Google Map, jarak 234 km itu akan kami tempuh dalam waktu sekitar 6,5 jam, melalui jalur Berastagi – Kabanjahe – Tiga Binanga – Kutacane.

Di titik Tiga Binanga itulah terdapat pertigaan, satu arah menuju ke Tiga Lingga tempat durian hendak kami buru, sedangkan arah yang satu menuju Kutacane. Mobil mengambil arah kanan menujju Kutacane, Aceh Tenggara.

Fajar yang pegang kemudi, memacu kendaraan dengan mantap. Sepanjang jalan suasana penuh canda dan tawa. Dalam perjalanan itu pula, Edy Ikhsan yang akrab dipanggil “ayah”, menceritakan sejarah Kutacane. Tanpa terasa kami tiba di Berastagi lalu berhenti sejenak untuk sarapan di Warung Wajik, sebelum kami melanjutkan perjalanan ke arah Kabanjahe menuju Tiga Binanga.

Fajar dan Rahmad sedang duduk nyantai menikmati keindahan alam di Jalan Kutacane-Tiga Binanga, Pasir Tengah, Tanah Pinem. (Foto: Monang Sitohang)

Yang membuat kami betah dan tidak merasa bosan dalam perjalanan itu adalah panorama alam yang memanjakan mata. Kiri-kanan tampak bebukitan menghijau, ditingkah jalan yang meliuk-liuk, naik dan turun. 

Pukul 09.44 tepat kami tiba di Jalan Kutacane-Tiga Binanga, Pasir Tengah, Tanah Pinem. Lokasi di ketinggian sekitar 1.000 dpl ini terasa sejuk. Kami berhenti sejenak. Edy Ikhsan berseru, “Cantiknya Bang, subhanallah dapur alam ini.” Kami pun menikmati keindahan alam anugerah Tuhan itu. Dua puluh menit lamanya.   

Sejam kemudian, kami memasuki perbatasan antara Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara dan Kabupaten Kutacane, Aceh Tenggara. Matahari tepat di atas ubun-ubun, pertanda kami harus makan siang. Lesehan Mbak Pia, tidak jauh dari Kantor Bupati Kutacane adalah pilihan terbaik santap siang.

“Ayah” menanyakan menu favorit, yang dijawab oleh pelayan, “Tasak teluh, Pak,” seraya menjelaskan, bahwa “tasak teluh” adalah makanan tradisi Kutacane, dengan bahan utama ayam kampung. Bumbu yang digunakan memasak antara lain sereh, asam sakala, cabai rawit utuh, bawang putih, dan bawang merah.

Tasak Teluh menu makanan kami di Jalan Iskandar, Kutacane, Aceh Tenggara. (Foto: Monang Sitohang)
Fajar, Edy Ikhsan, Rahmad dan Monang Sitohang saat menunaikan ibadah sholat Zuhur di Masjid Agung At-Taqwa, Kota Kutacane. (Foto. Ist)

Usai makan siang, perjalanan berlanjut. Sekitar 28 km lagi kami sampai tujuan, yakni Guest House Thousand Hill, Ketambe. Sebelum tiba di sana, kami menyempatkan diri berhenti untuk shalat dhuhur di Masjid Agung At-Taqwa, Kota Kutacane.

Menjelang Ketambe, tampak Sungai Alas dengan air yang jernih. Gemericik air mengalir melewati bebatuan besar. Di sekeliling, tampak pohon durian, pohon kelapa, pohon kakao, dan lain-lain.

Sekira pukul 14.00 WIB, kami pun tiba di Thousand Hill Ketambe. Bangunan menyerupai villa ini berada sekitar 30 meter dari jalan raya. Sekilas, ia tampak menyatu dengan alam sekitar yang rindang. Di guest house ini kami akan menginap, di dalam kehangatan pelukan hutan Leuser. (Monang Sitohang)

Thousand Hill Ketambe. (Foto. Monang Sitohang)
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *