Connect with us

Kolom

MAKOLA: Malang Kota Lampu

Published

on

Oleh : Restu Respati*

Nama julukan adalah nama yang bukan nama asli. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan nama julukan sebagai nama yang diberikan sehubungan dengan keistimewaannya dan sebagainya. Contoh : “Si Doel” untuk Rano Karno, “Si Burung Camar” untuk Vina Panduwinata, “Si Burung Merak untuk W.S. Rendra, “Si Binatang Jalang” untuk Chairil Anwar, dan sebagainya.

Nama julukan tidak hanya disematkan pada seseorang, namun juga disematkan pada suatu tempat, apakah itu sebuah kota atau negara. Biasanya didasarkan pada beberapa fitur khusus yang menampilkan tempat tersebut. Contoh : “Zamrud Khatulistiwa” bagi Indonesia, “Negara Gajah Putih” bagi Thailand, “Negara Kincir Angin” bagi Belanda, “Negeri Kangguru” bagi Australia, dan sebagainya.

Nama julukan juga disematkan pada sebuah kota, baik itu kotamadya maupun kota kabupaten. Nama julukan ini umumnya bercirikan karakter atau ciri khas yang gampang diingat dari tempat tersebut. Contoh : “Kota Serambi Mekkah” bagi Banda Aceh, “Kota Pempek” bagi Palembang, “Kota Metropolitan” bagi Jakarta, dan sebagainya.

Kota Malang yang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur mempunyai banyak julukan. Pada masa kolonial, Kota Malang mempunyai julukan “Paris Van East Java” atau “Paris dari Jawa Timur” karena memiliki alam yang indah dan iklim yang sejuk. Kemudian juga “Kota Wisata” karena memiliki fasilitas wisata yang banyak dan menjadi jujukan wisata bagi orang-orang dari luar Malang. “Kota Pendidikan” karena memiliki banyak universitas baik negeri maupun swasta. “Kota Militer” karena memiliki banyak fasilitas militer baik dari angkatan darat, laut, maupun udara. “Kota Sejarah” karena kaya dengan sejarah, mulai dari kerajaan Kanjuruhan, Mataram Kuno/Medang, Kadiri, Tumapel/Singhasari, Majapahit, Demak, Mataram Baru (Islam), dan seterusnya. “Kota Bunga” karena memiliki banyak bunga yang ditanam dan tumbuh mekar di setiap sudut kota, “Kota Olah Raga” karena banyak melahirkan bibit-bibit atlit yang berprestasi di tingkat regional maupun nasional.  “Kota Dingin” karena beriklim dingin dan sejuk dikelilingi oleh gunung Arjuno, Welirang, Kawi, Bromo, dan Semeru. “Kota Pelajar” karena banyak pelajar dari luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri yang menempuh pendidikan di Kota Malang. “Kota Kuliner” karena memiliki banyak jenis makanan khas dengan harga yang relatif terjangkau.

Tumbuhnya sektor pariwista di Indonesia, membuat tiap daerah saling berlomba untuk memperkenalkan wilayahnya masing-masing. Upaya pemasaran ini dikenal dengan istilah City Branding. City Branding akan membentuk dan mempengaruhi persepsi suatu kota sehingga dapat menstimulasi kunjungan wisatawan dan masuknya investasi.

Secara sederhana City Branding dapat dikatakan sebagai slogan kota yang menjadi ciri khas kota tersebut untuk dipromosikan ke masyarakat luas. City Branding biasanya menggunakan istilah asing dalam promosinya. Penggunaan istilah asing ini bertujuan untuk merambah wisatawan nasional dan internasional.

“Beautiful Malang” merupakan brand Kota Malang saat ini. Beautiful artinya indah, cantik, atau bagus. Brand “Beautiful Malang” lebih menarik dan mencerminkan citra Kota Malang dibandingkan dengan “Malang Asoy” yang merupakan brand sebelumnya. Entah apa maksud dari kata “asoy” tersebut. Dari beberapa sumber, kata “asoy” merupakan singkatan dari “asik coy”. Asik merupakan kata yang menggambarkan sebuah situasi yang menyenangkan, sedangkan “coy” maksudnya adalah panggilan untuk teman. Ini kurang tepat, karena panggilan untuk teman dalam bahasa Malang adalah “rek”, yang merupakan singkatan dari kata “arek”.

Untuk mengonsep city branding diperlukan smart branding yang nantinya menjadi salah satu dimensi dalam smart city. Sasaran dari smart branding adalah adanya peningkatan daya saing daerah dengan penataan wajah kota dan potensi daerah. Beberapa strategi smart branding yang telah dilakukan oleh beberapa kota di Indonesia adalah menghidupkan lagi Kota Tua atau Heritage City. Tak terkecuali dengan Kota Malang. Kawasan Ijen Boulevard yang sebelumnya merupakan Kawasan Heritage kini mulai beralih ke Kawasan Kayutangan.

Namun alih-alih merevitalisasi bangunan indies yang ada, yang dilakukan justru menambah asesoris baru yang sebenarnya tidak sesuai dengan kesejarahan Kayutangan. Misalnya pohon tabebuya yang berasal dari negara Brasil, tatanan batu andesit di setiap persimpangan, monumen lokomotif lori yang seharusnya lokomotif trem, kotak telpon bergaya negara Inggris, dan lampu dekorasi bergaya Mataraman.

Meskipun pihak Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang menyatakan bahwa lampu dekorasi ini konsepnya Malangan dan sudah dinobatkan sebagai konsep lampu dekor Malangan – dilansir dari laman malangkota.go.id (20/9/23) – namun warga Kota Malang menganggap bahwa lampu dekorasi ini bergaya Mataraman dan tidak mempresentasikan budaya Malangan.  

Dalam proses branding, rasa kebersamaan dan kesepemahaman antara pemangku kepentingan dan masyarakat perlu ada. Suksesnya city branding jika rasa memiliki telah tercipta. Dengan metode ini warga kota menjadikan dirinya sebagai media iklan dan mempromosikan kotanya, alih-alih malu dibuatnya. Warga kota adalah aset tak ternilai untuk berhasil tidaknya branding sebuah kota.

Selain desain lampu dekorasi yang dianggap tidak mempresentasikan budaya Malang, jarak lampu yang terlalu dekat menyebabkan jumlah lampu terlalu banyak juga menjadi sorotan warga Malang. Sayangnya hal ini tidak menjadi pertimbangan bagi para pemangku kepentingan untuk kebijakan selanjutnya. Terbukti proyek revitalisasi Alun-alun Tugu Kota Malang mengalami hal yang sama. Konsep lampu dekorasi tetap sama dan jumlahnya dianggap terlalu banyak.

Tidak berhenti disitu, proyek lampu dekorasi ini kini berlanjut ke Kawasan Ijen Boulevard. Meskipun desain lampu sudah tampak berbeda, namun jarak lampu yang terlalu dekat lagi-lagi menjadi gunjingan masyarakat Kota Malang. Sesuatu yang berlebihan memang pada akhirnya menjadi kurang baik. Ibarat riasan, wajah Kota Malang menjadi menor dan kurang alami.

Berkaca dari kejadian-kejadian sebelumnya, julukan Kota Malang sebagai “Kota Bunga” pernah ternoda dan terjadi penolakan dari masyarakat karena di Alun-alun Bunder pernah ‘ditanami’ bunga dekorasi dari plastik. Koridor Kayutangan Heritage yang diharapkan menjadi ciri khas dan kebanggaan Kota Malang malah masyarakat menyebutnya menjadi “Malang Bro” sebagai plesetan dari “Malioboro”.

Sekarang dengan banyaknya lampu dekorasi yang jumlah dan penataannya dirasa terlalu berlebihan, tidak salah kiranya jika warga Kota Malang mulai menjuluki sebagai “Makola”, yang merupakan singkatan dari “Malang Kota Lampu”.

*Restu Respati, Pemerhati Sejarah dan Cagar Budaya   

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *