Connect with us

Feature

Era Kemerdekaan Air di Desa Pucung

Published

on

Jayakarta News – Jauh di kedalaman perut Gua Suruh, Desa Pucung, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Agustus 2001. “Luar biasa, luar biasa…,” pekik Joko Sulistyo sesaat setelah kakinya menyentuh air.  Ia sadar betul, ini bukan air secerukan atau sekubangan.  Ini air sungai.

Joko Sulistyo (Foto: koleksi pribadi)

Pikiran Joko lantas terbang ke desa Pucung. Warga desa pemilik Gua Suruh itu selalu dilanda paceklik air di musim kemarau. Ia bertekad menaikkan air sungai bawah gua itu. Air sungai kapur ini harus menjadi sumber air tambahan bagi warga. Tapi apa teknologinya dan bagaimana cara memasang peralatan di tempat tersembunyi jauh di kedalaman perut bumi? Bagaimana pula mengajak warga yang selama ini banyak yang ketakutan memasuki Gua Suruh  karena telah lama beredar  kabar miring bahwa gua itu angker? Joko terpicu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu demi mewujudkan mimpinya membawa masyarakat Desa Pucung menuju era kemerdekaan air bersih.       

Andaikata Joko berkarakter cuek, ia tak akan terusik dengan semua hal ihwal tentang usaha menaikkan air sungai kapur bawah gua itu. Warga desa Pucung beruntung kadatangan tamu pecinta alam sekaliber Joko dan kawan-kawannya. Mereka bukan tipe manusia yang melampiaskan kegilaan caving (penjelajahan gua) semata-mata untuk: berpetualang, membuat foto, merekam video atau melakukan riset ilmiah yang hasilnya selesai di forum presentasi, debat, diskusi dengan segepok laporan tebal yang digandakan berkali-kali tetapi bisa jadi hanya dibaca sesekali. 

Penerima anugerah Satu Indonesia Award Astra tahun 2013 ini berbeda. Joko adalah figur pecinta alam sekaligus fotografer plus. Ini berarti kegilaan berpetualang di alam bebas seraya merekam gambar itu ia imbangi juga dengan sentuhan kemanusiaan. Sepak terjang bapak satu anak itu klop dengan semboyan hidupnya: mengabdi, berbagi dan bahagia. Ia menggilai penelusuran gua. Baginya, keluar masuk gua tanpa hasil adalah sesuatu yang mubazir. Tatkala moncong lensa kameranya membidik sungai di perut Gua Suruh, seketika itu pula otaknya berpikir untuk menaikkan objek fotonya itu ke atas bukit.  Dari ketinggian itu, benda cair ini akan meluncur melewati pipa menuju  bak-bak penampungan di sekitar rumah warga.  

Semenjak penjelajahan Gua Suruh itu, anggota klub pecinta alam KMP Giri Bahama Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Solo (UMS) ini terus berpikir untuk mengupayakan pengangkatan air dari kedalaman gua menuju  ke atas bukit yang tinggi terbuka. Awalnya ia sempat ragu akan debit air yang tergolong kecil. Kedalaman sungai ada pada kisaran 15 cm sampai dengan 50 cm. “Ah, saat penjelajahan Gua Suruh pertama kali itu kan musim kemarau, di kala penghujan pastilah debit air akan melimpah,” tutur Joko menepis keraguannya sendiri. 

Ada lagi tantangan lain. Apa teknologinya? Darimana dananya? Siapa eksekutornya? Bagaimana cara membangun instalasi dan semua seluk beluknya di tempat terkucil jauh di kedalaman perut bumi?  Semua tantangan itu tak membuat Joko setop. Tekadnya bulat utuh. Skenario optimis ia kibarkan tinggi-tinggi. Semangatnya berkobar demi menghapus keringat warga desa Pucung di musim kemarau dengan siraman air Gua Suruh.     

Lansekap permukaan Gua Suruh. (Foto: Joko Sulistyo)

Kondisi Alam

Desa Pucung berada di ketinggian 500 hingga 600 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Karst atau batuan kapur mendominasi wilayah yang bentang alamnya 70 persen bergunduk-gunduk membentuk perbukitan ini. Seluas 30 persen sisanya berupa dataran sempit dan lembah, yang sebagian dikelola sebagai lahan pertanian tanah kering.

Ciri khas kawasan perbukitan kapur adalah bentukan-bentukan gua yang tersebar di permukaan, di lembah-lembah, atau di cerukan baik terbuka maupun  tertutup vegetasi. Di kawasan ini ada sejumlah 13 gua antara lain Gua Kangkung, Gua Jeromati, Luweng WC atau Kakus, Gua Tembus, Luweng Gesing, Gua Kucing, Gua Suruh, dll.  Nama-nama gua itu, menurut info Joko, diberikan oleh penemunya. Hanya Suruh satu-satunya gua di Desa Pucung yang telah diketahui memiliki sungai bawah tanah. “Mulut Gua Suruh terletak di pusat cekungan, tak terlihat karena terhalang vegetasi.  Jaraknya  dari rumah warga sekitar 700 meter,” kata Joko.

Joko menjelaskan bahwa Suruh merupakan gua vertikal (luweng) dengan mulut gua sepanjang delapan meter, disambung lorong vertikal sedalam 17 meter, dilanjut dataran sejauh 20-30 meter, kembali ketemu luweng sedalam 11 meter, disambung dataran 300-an meter barulah berjumpa dengan sungai kapur bawah tanah. “Total panjang lorong datar yang sudah terpetakan sejauh 1.200 meter,” tuturnya. Ia menambahkan bahwa lorong itu tergolong panjang. Dibutuhkan waktu satu sampai dua hari bila ingin menjelajahinya sampai tuntas.  

Bersama timnya yang berjumlah delapan orang Joko menelusuri Gua Suruh hingga mencapai sungai bawah tanah. Sementara tim pendukung yang berada di luar gua berjumlah lebih dari delapan orang.  Para penelusur gua ini menempuh jarak datar sejauh 400-an meter dalam tempo sekitar enam jam, lengkap dengan peralatan caving vertikal seperti: helm speleo, helm khusus yang mampu melindungi kepala dari benturan atau reruntuhan materi dilengkapi lampu senter; cover all, baju khusus bersambung dengan celana yang melindungi tubuh dari gesekan sekaligus mempertahankan suhu pada gua bersungai yang dingin dan lembab; sepatu boot beralas karet; boom atau generator karbid untuk bahan bakar lampu penerang; sarung tangan khusus; pelampung; SRT set atau peralatan pengaman yang dipasang di tubuh; berbagai macam tali temali yang berhubungan dengan SRT set, dll.       

Penelurusan Gua Suruh berakhir. Selepas mempreteli peralatan cavingnya, Joko tak lantas berleha-leha. Tidak hanya bukit kapur yang menggunduk di depan matanya. Serentetan kerja besar berikutnya pun ikut membukit di hadapannya. Tekadnya mantap. Paceklik air di desa berpenduduk 2.350-an jiwa itu mesti diakhiri.  

Joko Sulistyo memang bukan warga Desa Pucung. Ia tinggal di Kabupaten Klaten. Namun ketika kabar perihal kesulitan air rutin melanda warga Desa Pucung, Kecamatan Eromoko Wonogiri itu, empatinya menajam. Ia seperti ikut merasakan tidak enaknya tak punya air bersih. Kadang mandi, lebih sering tidak. Warga Desa Pucung yang tinggal di perbukitan karst, sudah terbiasa berjalan kaki sekian kilometer untuk sekedar mendapatkan sepuluh hingga duapuluhan liter air. Atau jika tak sudi bersusah payah memeras keringat, mereka harus rela merogoh kocek lebih dalam lagi demi setangki air bersih yang dibeli dari luar wilayah bahkan dari Yogyakarta. Betapa sengsaranya.  

Survei pengukuran di lokasi sungai bawah tanah. (Foto: dokumentasi Joko Sulistyo)

Jalan Panjang

Perjalanan menuju kemerdekaan air di Desa Pucung panjang dan berliku. Namun demikian itu tak membuat sedikit pun Joko patah arang. Bayangan kegembiraan warga menyaksikan air mengucur di rumah-rumah mereka di saat musim kemarau menjadi semacam bahan bakar yang tak pernah habis mengobarkan tekadnya. Sejumlah langkah berikutnya mesti ditapaki Joko dan kawan-kawan demi cita-cita mulia itu selama rentang waktu sebelas tahun. Langkah paling awal adalah memantau kondisi air sungai. “Caving tidak bisa setiap hari dan tiap tahun musim kemaraunya berubah-ubah, lagipula kita juga tidak bisa masuk pada musim hujan,” papar Joko. Monitoring  perkembangan debit air ini wajib dipantau dari tahun ke tahun, utamanya fluktuasi debit air pada puncak musim kemarau. Dengan demikian, dibutuhkan waktu yang relatif lama guna mendapatkan hasil pengamatan hingga akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa proyek pengangkatan air itu bisa dieksekusi.

Perihal pendanaan sama saja. Kerja ini juga berproses dalam hitungan waktu yang lama. “Kami sudah berkeliling menawarkan proposal ke Pemda, ke kampus, juga ke sponsor. Tidak ada yang tertarik mendanai,” tutur Joko. Ia bercerita, tahun 2012 usaha mendapatkan dana itu baru terwujud.  Ini terjadi setelah ada suksesi kepemimpinan di Desa Pucung. Kepala desa lama tidak aktif dan menolak ajakan masuk gua. Pemimpin baru memiliki visi dan misi berbeda. Ia menanggapi  positif upaya mengangkat air sungai Gua Suruh. “Bahkan Kepala Desa sendiri yang mengajukan proposal sekaligus menunjukkan dokumentasi video ke Pemda,” kata Joko berkisah.

Dana teratasi. Beaya dengan kisaran angka Rp 350 juta berdatangan dari berbagai pihak seperti Pemda Wonogiri lewat Dana Alokasi Khusus (DAK), Kampus Universitas Muhammadiyah Solo (UMS) dan donatur. Warga Desa Pucung berduyun-duyun menyumbangkan tenaga mereka. Posisi pemasangan pompa yang berada jauh di perut bumi membutuhkan strategi khusus. Material seberat 15 ton mesti sampai ke lokasi. Batu split, pasir, semen, besi, pipa hanya bisa diangkut secara manual. Itu belum termasuk peralatan yang dibutuhkan. Memanfaatkan tenaga manusia menjadi satu-satunya solusi. Warga Pucung bersama Joko dan tim pecinta alamnya siap melaksanakan tugas itu.

Awalnya, warga desa itu tak otomatis menjawab “iya” untuk masuk gua. Dibutuhkan pengkondisian.  Sebab, kasak kusuk bahwa Gua Suruh angker telah lama beredar. Tidak banyak warga yang sudi menyambangi perut Gua Suruh. “Setelah kami ajak kepala desa dan perangkat desa masuk gua, kita foto dan buat videonya, barulah warga antusias,” tutur Joko.

Pengkondisian warga tak cukup hanya sampai pada kesanggupan mereka memasuki gua. Joko dan kawan-kawan pecinta alamnya membekali para pria yang bersedia masuk ke sungai perut  gua dengan ketrampilan caving vertikal. Ini penting, sebab tingkat kesulitan untuk sampai ke lokasi sungai bawah gua tinggi. Keamanan dan keselamatan adalah harga mati. 

Pelatihan caving vertikal di rumah warga Desa Pucung. (foto: dokumentasi Joko Sulistyo)

Pemilihan teknologi juga melewati tahapan yang tidak sebentar. Joko terus mencari-cari perangkat yang mumpuni untuk mengangkat air sungai kapur Gua Suruh. Ia sibuk mencari referensi dan bertanya ke sana kemari. Tahun 2008 ia menemukan jawabannya. Kala itu, Joko mengikuti penelusuran gua di Desa Sumberagung, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri. Warga desa setempat memanfaatkan air gua untuk memenuhi kebutuhan harian. Teknologi yang digunakan adalah pompa celup submersible. “Kebetulan saya dimintai tolong untuk proses maintenan karena petugas perawatan instalasi di tempat itu sudah sepuh dan tidak memiliki peralatan safety,” kata Joko. Wacana itu ia gunakan untuk menimba ilmu perihal seluk beluk  pompa celup submersible. Tak hanya sebatas satu referensi ini saja. Joko masih mencari masukan tentang pompa submersibel dari kawan-kawannya yang bekerja di bagian kunstruksi bangunan hotel. Akhirnya Joko sampai juga pada kesimpulan untuk menggunakan pompa serupa.      

Pompa celup submersible adalah pompa yang ditanam di dalam air. Ia mampu beroperasi normal dan berdinas lebih lama jika ditempatkan di kedalaman air. Pompa ini bekerja dengan cara mendorong air, bersebalikan dengan prinsip kerja jetpump yang menaikkan air dengan cara menyedotnya.

Detik-detik Eksekusi

Atas: Doa bersama menjelang eksekusi proyek pompanisasi air Gua Suruh. Bawah: Pengurukan jalan setapak menuju Gua Suruh. (Foto-foto: dokumentasi Joko Sulistyo)

Waktu pemasangan pompa benar-benar tiba. Ini terjadi tepat sebelas tahun dihitung dari penemuan sungai Gua Suruh oleh Joko Sulistyo dan para koleganya. Sebelum gong dimulainya kerja besar itu ditabuh, warga Desa Pucung dan semua yang terlibat dalam proyek pompanisasi  air sungai Gua Suruh berkumpul untuk melakukan doa bersama. Memohon ridho Illahi menjadi prosesi pertama demi menghalau hal-hal negatif yang mungkin saja merintangi. Keamanan dan keselamatan kerja semata-semata bersandar pada restu Yang Kuasa.  

Deru mesin truk mulai meraung-raung memecah keheningan Desa Pucung. Kendaraan besar itu mengirimkan aneka rupa material. Ada semen, pasir, batu split, pipa, toren dan sebagainya. Tak hanya sekali. Banyaknya kebutuhan material yang akan digunakan, membuat moda angkutan bak terbuka itu mondar mandir di desa yang berjarak 13 km dari pusat Kecamatan Eromoko. 

Gelombang-gelombang energi seperti otomatis menggerakkan tubuh-tubuh warga untuk menjalankan tugas masing-masing. Puluhan yang terlibat seperti sudah tahu tugas masing-masing.

Ada yang menguruk jalan. Di banyak titik, penampakan jalan setapak menuju Gua Suruh tidak rata, berlubang-lubang dan sempit. Kondisi demikian mesti diantisipasi. Sebab infrastruktur ini akan menjadi jalur penghubung  lalu lintas warga mengusung material ke lokasi gua.  

Ada yang memilah-milah material dan mengepaknya ke dalam karung-karung kecil. Ada yang memenggal-menggal pipa menjadi dua atau tiga bagian. Pemaruh-maruhan ini penting, sebab untuk sampai ke perut gua yang ukurannya selorong, material itu hanya bisa dipindahkan dengan cara dipikul atau digendong. Karenanya, pipa-pipa harus dipotong-potong dan aneka material mesti dikemas ke dalam kantong-kantong.

Material dikemas ke dalam kantong-kantong, siap diusung menuju lokasi pompanisasi. (foto: dokumentasi Joko Sulistyo)
Pengusungan material ke Gua Suruh. (Foto: dokumentasi Joko Sulistyo)

Ada yang mengusung material. Mereka kompak melangkah berurut-urutan menyusuri jalan setapak menuju Gua Suruh. Dengan beban di pundak, punggung atau tangan, pembawa bahan bangunan ini akur dalam ayunan langkah, searah, satu tujuan. Bila dicermati dari kejauhan, barisan ini membentuk formasi persis seperti semut-semut  pekerja memindahkan makanan menuju liang penyimpanan.

Berat material yang diusung mencapai 15 ton. Bahan bangunan ini digunakan untuk membangun cek dam. Pompa submersibel bekerja maksimal di kedalaman air. Posisinya harus terbenam di bawah permukaan. Bendungan berfungsi untuk meningkatkan sekaligus menstabilkan debit air, sehingga  pompa setinggi 120 cm dan selebar empat inchi itu bisa dibenamkan ke dalam air.

Setelah cek dam jadi tibalah saatnya memasang pompa dan kelengkapan instalasinya. Joko berkisah, perut gua yang jauh di kedalaman dan berwujud vertikal bukanlah tempat yang mudah dijangkau dengan cepat setiap saat. Ada dua catatan yang ia garisbawahi untuk merespon beratnya kondisi medan. Pertama, keamanan sewaktu pemasangan pompa, dan kedua, pompa harus bekerja maksimal dan bebas rewel.

Kiri: Pembangunan cek dam. Kanan: Joko Sulistyo (tengah) saat pemasangan pompa. (Foto-foto: dokumentasi Joko Sulistyo)
Kiri: Penguatan jaringan pipa. Kanan: Pemasangan jaringan kabel. (Foto-foto: dokumentasi Joko Sulistyo)

Joko menceritakan uji coba pemasangan pompa membutuhkan kewaspadaan ekstra, karena melibatkan penggunaan stroom. Tak ada alat komunikasi jarak jauh. Tak ada telepon yang bisa berfungsi karena memang tak ada sinyal. “Kami melakukan uji coba hanya berdasarkan kencanan waktu, kapan listrik dinyalakan, kapan ia dimatikan. Ini penting agar semua yang bekerja di kedalaman gua bebas dari musibah tersengat aliran stroom,” tutur Joko.          

Semua pekerjaan itu bersifat gotong royong. Tak ada pos pengeluaran untuk upah pekerja. Ini murni kerja bakti. Seluruh pihak  yang terlibat, baik warga, pecinta alam, anggota berbagai organisasi dan juga para donatur adalah relawan. “Bantuan tenaga warga Pucung sendiri sangat besar bila dirupiahkan,” tambah Joko yang bertugas sebagai pelaksana lapangan dalam proyek pompanisasi air Gua Suruh itu.

Tak setiap hari agenda kerja proyek air Gua Suruh dijalankan. Warga Desa Pucung yang terlibat memiliki  pencaharian. Mayoritas bekerja sebagai petani lahan kering, sebagian kecil beternak, dll. Sementara Joko dan pasukan pecinta alam dan para donatur juga memiliki tanggung jawab sebagai mahasiswa atau karyawan di tempat masing-masing. Praktis akhir pekan merupakan waktu ideal untuk mengerjakan proyek itu. “Dibutuhkan sembilan hari kerja untuk memindahkan material ke perut Suruh,” papar Joko. Sementara pengerjaan proyek secara keseluruhan hingga tuntas menghabiskan waktu enam bulan.

Pompa telah terpasang. Air dari kedalaman perut Gua Suruh mengalir lewat pipa HDPE ukuran 1,5 inchi menuju toren di atas bukit. Masing-masing toren berdaya tampung 5.500 liter. Total air yang bisa ditampung wadah raksasa ini mencapai 22.000 liter. Pipa-pipa paralon mengular dari toren di puncak bukit menuju bak penampungan di sekitar rumah warga. Posisinya tak terlihat, sebab demi keamanan pipa itu ditanam di bawah permukaan tanah.

“Bak penampungan memiliki kapasitas 2 hingga 3 ribu liter air, dibangun di enam dusun yang terimbas paceklik air ketika kemarau tiba. Total jumlah dusun di desa Pucung mencapai 15 buah. Sembilan dusun yang lain memanfaatkan sumur boor yang sudah ada. Sementara di musim penghujan, semua warga Desa Pucung memanfaatkan air hujan. Rata-rata rumah di kawasan yang jauhnya 37 km dari pusat kota Wonogiri ini memiliki penampungan air hujan (PAH).

Toren di atas bukit. Total daya tampung 22.000 liter air. (Foto: Dokumentasi Joko Sulistyo)

Kemerdekaan Air

Kerja besar telah selesai. Sukses tergenggam di tangan. “Alhamdulillah, saya sangat bersyukur bisa membantu warga tempat kami (grup pecinta alam) berkegiatan,” tutur Joko. Semua keraguan dan kesulitan tertatasi. Tak ada kurban dalam proyek pompanisasi air Gua Suruh.

Wajah-wajah ceria muncul dari warga di kala musim  kemarau tiba. Mereka tak lagi bersusah payah mendatangkan air dari tempat yang jauh: baik berjalan kaki, naik kendaraan sendiri atau pun membeli dari truk-truk tangki. 

Kendati ditambang dari kampung sendiri, warga Desa Pucung tetap harus membeli. Retribusi ini penting untuk beaya perawatan alat dan jaringan serta ongkos listrik. Besar pungutan bervariasi tergantung kebijakan masing-masing dusun, antara Rp 3 ribu hingga Rp 7 ribu per meter kubik.

“Ada dusun yang kreatif memasang meteran, sehingga pemakaian air per orang tercatat. Bagi dusun yang tidak memasang meteran, pungutan ini ditanggung bersama,” kata Joko. Nilai retribusi air Gua Suruh itu jauh lebih rendah dibanding harga air kiriman truk tangki. Warga mesti menebus Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu untuk setangki air dengan volume 5.000 liter (5 kubik). Ini berarti harga per kubik air tangki mencapai Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu. Harga itu mencapai sekitar lima hingga sepuluh kali lipat lebih dibanding retribusi air Gua Suruh.

Joko menjelaskan, satu tangki air bisa mencukupi kebutuhan per kepala keluarga (KK) selama dua minggu. “Ini bila pemakaiannya irit lho,” tuturnya. Penggunaan sejumlah itu melulu untuk konsumsi dan kebutuhan rumah tangga saja. Apabila warga memiliki hewan ternak, tingkat konsumsi airnya akan lebih tinggi lagi. Jika ukuran irit itu yang dirujuk, penggunaan air per bulan per KK mencapai dua tangki dengan nilai Rp 400 – Rp 500 ribu untuk air yang dibeli dari truk tangki. Bila memakai air Gua Suruh, warga cukup merogoh kocek antara Rp 30 ribu  – Rp 70 ribu per bulan, untuk jumlah yang sama. “Sangat murah dan mudah,” tambah Joko.    

Kiri: Pemasangan pipa dari atas bukit menuju bak penampungan. Kanan: Uji coba pengangkatan air dari Gua Suruh. (Foto-foto: Dokumentasi Joko Sulistyo)
Kiri: Warga Desa Pucung antri air di bak penampungan. Kanan: Warga Pucung mengerjakan maintenan bersama klub pecinta alam. (Foto-foto: dokumentasi Joko Sulistyo)

Warga mengusung sendiri air dari bak penampungan. Mereka membawa jerigen atau ember besar. Pekerjaan ini, sejatinya jauh lebih ringan dibanding sebelum era kemerdekaan air. Bak penampungan hanya berjarak beberapa langkah dari rumah.   

Kiat mengusung air sendiri memang memeras tenaga juga menambah waktu. Tetapi ada sesuatu yang berharga. Di bak penampungan, warga antri menunggu giliran. Sambil menanti jerigen atau ember terisi, warga bertemu, bertegur sapa, berhaha-hihi atau membicarakan sesuatu yang lebih serius dalam suasana gembira. Berkumpul dalam suasana santai, sederhana dan gembira sejatinya modal dasar untuk menciptakan rasa kebersamaan yang rekat dan membahagiakan. Ketegangan melumer, perpecahan pun tak pernah mengintai.   

Bak-bak penampungan air Gua Suruh Desa Pucung itu seperti menjadi cermin ketika di banyak tempat  acapkali muncul ketegangan, permusuhan, bahkan tak jarang pecah tawuran antarwarga. Joko bersaksi, ia dan kawan-kawan pecinta alamnya bergaul akrab dengan masyarakat desa ini. “Bahkan sampai sekarang warga Pucung menganggap kami keluarga sendiri,” kata Joko. 

Joko dan koleganya masih setia menyambangi Pucung. Sambil ber-caving ria mereka membantu pemuda dan pihak yang ditunjuk desa untuk ikut memaintenan peralatan. Sudah tujuh tahun usia pompanisasi air Gua Suruh. Selama kurun itu pernah satu kali ada masalah berkaitan dengan listrik. 

Jaringan di Wonogiri untuk tiga phase belum siap. “Kita gunakan satu phase. Saat pemakaian, tegangan tidak stabil, pompa macet sampai terbakar,” kata Joko. Solusi yang kemudian dijalankan adalah pompa dihidupkan pada jam pemakaian listrik menurun, yakni antara pukul 11.00 WIB malam hingga 03.00 WIB dini hari. Upaya ini membuat listrik lebih stabil.

Joko Sulistyo, grup pecinta alam dan Desa Pucung adalah potret simbiosis mutualisme. Kolaborasi mereka memberi solusi untuk kehidupan bersama yang lebih baik. (Ernaningtyas)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *