Connect with us

Kabar

Diskusi 7 Hari Wafat Pelukis Hardi

Published

on

Para pengamat seni rupa bicara tentang Hardi di TIM (foto Dudut)

JAYAKARTA NEWS— Tujuh hari wafatnya pelukis Kanjeng Pangeran (KP) Hardi Danuwijoyo (72 tahun) diperingati kalangan seniman di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, baru-baru ini. Digelar diskusi kebudayaan sebagai upaya mengenang kiprah Hardi dalam seni rupa baru.

Kritikus seni Yusuf Susilo Hartono memaparkan cara dan kiat almarhum Hardi yang tetap ‘survive’ meski lukisan karya Hardi tidak dipajang di pasar raya (utama) seni rupa Indonesia.

“Mas Hardi membangun pasar sendiri berupa jaringan persahabatan dari pejabat, politikus, pesohor/artis, pengusaha dan kolektor privat. Kiat manjur ini didukung medsos untuk promosi dan marketingnya,” kata Yusuf Susilo yang juga seorang perupa.

Dia menyebutkan beberapa kolektor terbanyak yang tekun memburu dan membeli karya-karya Hardi di antaranya EZ Halim dan Fadli Zon. Konon dua tokoh ini mengoleksi sampai ratusan lukisan Hardi.

Apa yang menarik dari seorang Hardi di jagat seni rupa Indonesia? Gaya naturalisnya atau style khasnya yang cenderung ke kritik dan politik ataukah ulah kontroversialnya sehingga Hardi pernah dipenjara di tahun 1978?

“Saya kenal lama ketika saya siaran di Radio ARH. Hardi andal, trampil, berani, enyoy life, penuh semangat dan visinya luar biasa,” lontar Wina Armada Sukardi, seorang kolektor setia karya Hardi.

Dan satu hal lagi, Wina menambahkan, Hardi baik hati, polos dan blak-blakan. Hardi enggak munafik dan berpura-pura. Jujur dan apa adanya.

“Kalau dia lagi enggak punya duit, ya bilang enggak punya. Suatu ketika, Hardi polos mengaku lagi bokek. Tolong bantu belilah lukisan saya agar saya bisa beli beras”. Ini pernah diucapkannya di hadapan Wina Armada yang pernah aktif di Dewan Pers.

Maklum, kala itu Hardi sudah menikah dan isterinya sedang hamil. Saat itu, Wina kerap mengenalkan Hardi ke rekan-rekannya yang kini sudah jadi ‘orang’ dan berhasil. Misalnya Ketua MPR Bambang Soesatyo yang lalu dirinya dilukis dan ‘dijual’ ke yang bersangkutan.

Bahkan, Wina Armada sering diminta oleh Hardi untuk membuka pameran tunggalnya. Ini agar pengunjung yang datang bejibun dan tertarik memborong lukisan Hardi yang sedang dipamerkan. Hardi tahu Wina Armada selaku wartawan dan advokat punya pengalaman luas dan banyak teman.

“Saya lillahi ta’ala membantu Hardi. Tanpa komisi,” cerita Wina yang mengoleksi lukisan karya Hardi seperti Ka’bah, ayam dan potret dirinya.

Pengalaman serupa juga dialami pengamat seni rupa Agus Dermawan T yang pernah bekerja sebagai tim artistik di majalah Gadis. “Sifat Hardi tanpa tedeng aling-aling. Kami sama-sama studi di STSRI di Jogjakarta. Saya dan Hardi bersahabat selama 50 tahun dan berantem selama 50 tahun,” ungkap Agus tertawa.

Agus ingat tatkala Hardi baru saja tetiba di Indonesia dari luar negeri (Hardi mendapat bea siswa di Jan van Eyc Academie, Maastrich, Belanda) datang ke kantor Majalah Gadis.
“Saya kaget, Hardi bilang enggak punya uang. Dia berniat meminjam pada saya. Lalu saya sarankan agar Hardi menulis di Gadis kan dapat honorarium,” terang Agus.

Hardi acc. Tapi dia menyela. “Tulisanku kan tentang kritik seni rupa. Apa cocok untuk Gadis?”
“Jangan khawatir. Nanti saya yang meremajakan tulisan Anda,” balas Agus tersenyum.
Plong. Tulisan Hardi dimuat di Gadis dan Hardi beroleh honor. Agus sedikit berbangga bisa membantu teman sekelasnya yang lagi kesusahan.

Satu hal, dimana ada Hardi, pasti ada Agus. Dimana Hardi pameran, pasti dikritik Agus. Lukisannya kurang menukik dan merakyat, kurang inilah dan kurang itulah.

Membaca kritik Agus, Hardi kerap marah. Lalu di saat lain, mereda. Hardi ganti memuji tulisan Agus. “Kami bersahabat, berantem. Adu gagasan. Ramai. Berkawan lagi. Berantem lagi. Hampir 50 tahun kami yah begitu…,” imbuh Agus tergelak.

“Jujur, kami merasa kehilangan sahabat yang baik dan kritis. Sekaligus teman berdebat yang lihai dan apa adanya,” timpal Agus lagi.

Memang, Hardi seorang pelukis yang lihai dan cerdik serta peduli pada lingkungan dan situasi yang centang perenang. Peduli pada keadaan sosial politik, hukum dan HAM. Hardi adalah seniman penyampai kebenaran.

Seorang pencetus Gerakan ‘Seni Rupa Baru’ yang memrotes guru-gurunya dan politikus yang munafik.

Hardi pernah viral dan dituduh makar oleh Laksusda Jaya 1978 gegara lukisan foto dirinya berjudul ‘Presiden tahun 2001, Soehardi’. Lukisan ini sebagai bentuk protes lantang pada rezim Orde Baru yang sangat represif dan militeristik.

Hardi lama ditahan dan berkat campur tangan Adam Malik kala itu yang percaya pada HAM, Hardi dibebaskan.

Itu juga sekali lagi yang didiskusikan di TIM oleh Yusuf Susilo Hartono, Aidil Usman (Ketua Komite Seni Rupa DKJ), Bambang Asrini Wijanarko (kurator seni rupa), Fanny Jonathans Poyk (novelis), Amien Kamil (moderator) dan seniman lain.

Mereka bicara ihwal Hardi. Seniman penuh inspirasi menyuarakan akal sehat dan sadar di kehidupan negara yang absurd ini. Hardi, jasa dan perjuanganmu tetap dikenang ! (pik).

Continue Reading
Advertisement
2 Comments

2 Comments

  1. Yusuf Susilo Hartono

    January 6, 2024 at 11:33 pm

    Terima kasih atas beritanya. Koreksi sedikit, saat ini saya bukan Ketua PWI Jaya Seksi Kebudayaan. Tahun 1990-an memang pernah, mengurus seksi kebudayaan PWI Jaya bermarkas di TIM. Hal itu, sebelum menjadi pengurus PWI Pusat 2008-2023, mengurus Departemen Wartawan Film, Kebudayaan dan Pariwisata, serta Anugerah Kebudayaan PWI Pusat. Salam.

    • admin

      January 6, 2024 at 11:41 pm

      Terima kasih koreksinya. Sudah kami perbaiki. Salam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *