Connect with us

Kabar

Babak Baru “Skandal Meikarta”, Toto Laporkan Edi ke Polisi

Published

on

Bartholomeus Toto melaporkan Edi Dwi Soesianto ke Polresstabes Bandung. (ist)

Jayakarta News – Mega skandal Meikarta, dipastikan akan terus bergulir. Salah-salah bisa menjadi bola salju yang siap menggulung siapa pun yang terlibat. Perkembangan terbaru, mantan Dirut Lippo Cikarang (LC), Bartholomeus Toto (“BT”) Selasa, 10 September 2019, melaporkan Edi Dwi Soesianto (“EDS”) ke Polrestabes Bandung. Dasar pelaporan adalah fitnah dan pencemaran nama baik yang diduga telah dilakukan oleh Edi Dwi Soesianto terhadap Bartholomeus Toto.

Langkah hukum yang dilakukan BT, bisa jadi merupakan kunci yang akan menguak skandal Meikarta lebih terbuka dan transparan. Hal itu dibenarkan pengacara BT, Supriyadi, SH, MH. Kepada pers Supriyadi mengatakan, “Betul kami telah melaporkan Edi Dwi Soesianto terkait keterangan fitnah dan pencemaran nama baik sesuai Pasal 310 UU KUHP, dimana Edi Dwi Soesianto dalam persidangan Tipikor Bandung atas terdakwa Billy Sindoro dkk. yang terbuka untuk umum tanggal 14 Januari 2019 sudah memfitnah klien kami,” ujarnya.

Supriyadi menambahkan, pihaknya telah menyerahkan bukti-bukti kuat kepada pihak penyidik kepolisian, bahwa pengakuan Edi Dwi Soesianto, yang menyatakan bahwa BT mengetahui, menyetujui dan memberikan uang sebesar Rp. 10.5 miliar kepada Neneng Hasanah Yasin (mantan Bupati Bekasi) adalah fitnah”.

“Klien kami sangat dirugikan dan terpukul dirinya dijadikan tersangka KPK, nama baiknya telah dicemarkan di publik, dan klien kami akan terus berjuang untuk mencari kebenaran dan memperoleh keadilan,” tambah Supriyadi.

Supriyadi menambahkan, “Sebetulnya mantan sekretaris direksi PT Lippo Cikarang Tbk, Melda Peni Lestari, juga sudah membantah bahwa dia pernah menerima uang tunai sebesar Rp. 10.5 miliar dari klien kami, dan dia juga membantah telah menyerahkan uang sebesar Rp. 10.5 miliar kepada Edi Dwi Soesianto”. “Saya tidak mengerti mengapa selama ini tidak ada pihak yang mau meneliti lebih jauh terhadap kejanggalan tuduhan kepada klien kami. Mengapa tidak dilakukan audit forensik keuangan terhadap PT Lippo Cikarang Tbk. Sebuah upaya pembuktian yang sesungguhnya sangat mudah sederhana dan mudah,” papar Supriyadi.

Seperti yang telah dilansir media massa, Toto telah dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) terkait dugaan pemberian gratifikasi perizinan proyek Meikarta. KPK menduga Toto telah memberikan gratifikasi sebesar Rp. 10.5 miliar kepada Neneng Hasanah Yasin, mantan Bupati Bekasi, untuk memuluskan IPPT proyek Meikarta. Neneng sendiri sudah divonis bersalah dalam kasus itu.

Duduk Persoalan

Proyek properti yang “heboh” karena efek iklan dan promosi yang luar biasa masif itu, faktanya menyimpan banyak ketidakberesan. KPK lalu mencokok Bupati Bekasi (ketika itu), Neneng Hassanah Yasin (NHY) sebagai tersangka dalam kasus suap perizinan Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Oleh pengadilan, ia dinyatakan terbukti bersalah dan diganjar hukuman 6 tahun penjara.

Selain NHY, kasus ini juga menyeret sejumlah nama lain. Per akhir Juli 2019, KPK menetapkan dua tersangka lain, Sekda Provinsi Jawa Barat IK, dan mantan Dirut Lippo Cikarang BT. Keduanya disangkakan tuduhan yang berbeda. IK disangka menerima suap sebesar Rp 1 miliar terkait proyek Meikarta. Sedangkan BT disangka menyuap mantan Bupati NYH Rp 10,5 miliar dalam beberapa tahap.

Menjadi menarik karena setelah penetapan itu, IK sepi dari pemberitaan. Sebaliknya BT justru bereaksi keras. Ia menolak semua tuduhan yang tak berdasar. Dalihnya, ia sama sekali tidak berurusan dengan proyek Meikarta. Karenanya, melalui Supriyadi, SH, pengacara yang ditunjuk, BT berencana mengajukan langkah hukum pra-peradilan. Nah!!!

Tak pelak, yang terjadi atas kasus BT, bisa jadi akan menjadi deretan ketujuh, ketidakcermatan KPK dalam menangani perkara. Dengan fakta-fakta yang dimilikinya, BT berpeluang lepas dari perkara ini.

Seperti diketahui khalayak, bak mendapat “durian kasus”, KPK bekerja marathon menangani Skandal Meikarta. Tak kurang dari Bupati Bekasi, Sekda Provinsi Jawa Barat, dan sejumlah nama swasta diberondong tembakan penetapan tersangka.

Sayang, satu di antara tembakannya bisa dibilang salah sasaran. Tembakan terhadap BT bisa jadi merupakan tembakan yang salah, karena didasarkan atas keterangan palsu dan fitnah. Dalam pokok soal yang satu ini, penyelidik dan penyidik KPK sepertinya kurang teliti, atau bahkan tertipu kesaksian palsu.

Jika ditelisik ke belakang, menembak BT sebagai tersangka dalam kasus Meikarta memang menjadi ganjil. Ini bisa ditelusur melalui riwayat hubungan BT dengan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengembang Meikarta.

Bermula dari peristiwa akhir tahun 2016, Lippo bekerjasama dengan mitra dari China untuk proyek Meikarta di Cikarang. Karena lokasi Meikarta berada di Cikarang, maka secara administratif, Lippo Cikarang (LC) dilibatkan pula untuk proyek Meikarta. Hal ini lazim dilakukan, seperti halnya proyek Orange County dengan pihak Mitsubishi, Jepang atau Axia Service Apartment dengan pihak Toyota, Jepang. Lebih jauh pada awal pengembangan Lippo Cikarang tahun 1990-an, Lippo bermitra dengan pihak Hyundai, Korea dan Sumitomo, Jepang. 

Karena BT saat itu menjabat sebagai Presdir LC, maka secara administratif menjadi terlibat. Akan tetapi, pada praktiknya, BT tidak mengetahui secara mendetail bagaimana pengaturan kerjasama antara Lippo dengan partner China. Yang diketahui BT sebatas, Lippo melalui LC memiliki saham di MSU sekitar 50%. Bentuk kontribusi saham berupa lahan milik LC. Sementara pihak China 50% berupa dana tunai.

Karena pihak Lippo tidak memiliki kompetensi melakukan pembangunan properti dengan konsep seperti Meikarta (mengadopsi konsep pengembangan kota baru di China), maka pembagian tugas di antara pemegang saham dalam kerjasama, seluruh keputusan strategis, manajerial dan tenaga kerja, penetapan kontraktor pelaksana, seluruh hal-hal operasional termasuk perizinan proyek Meikarta, 100% menjadi tanggung jawab pihak China.

Mengejar launching bulan Mei 2017 (awalnya ditargetkan Februari 2017), sementara manajemen tim yang dibentuk (perlu waktu untuk recruitment) pihak China belum dapat bekerja 100%, LC diminta membantu dalam hal administrasi sampai dengan MSU beserta jajaran Direksi dan Staf terbentuk. Pada waktu itu yang memegang kuasa adalah perwakilan dari pihak China. Kontraktor pelaksana juga dari China, jadi banyak sekali ekspatriat dari China.

Setelah manajemen MSU terbentuk, BT tidak lagi terlibat dengan proyek Meikarta. Manajemen MSU memiliki otoritas independen tidak terkait dengan LC. Namun karena perlu waktu untuk masa transisi, hal-hal yang bersifat administratif terkait dengan LC seperti kepemilikan lahan (yang harus pindah status menjadi milik MSU dan perizinan/tanah masih atas nama LC), maka pihak LC wajib membantu penyelesaian administratifnya.

Berkaitan kondisi di atas, dalam hal perizinan, secara alamiah EDS yang mengurus perizinan Meikarta, karena MSU belum memiliki tim perizinan sendiri. Namun pada pelaksanaannya, ada sedikit keengganan dari pihak EDS untuk melaksanakannya. BT melaporkan hal ini pada pihak China, dan selanjutnya perwakilan dari pihak China itulah yang memerintahkan memberikan extra bonus sebesar Rp. 3,5 miliar. Terkait dengan pemberian Rp. 3,5 miliar, karena pada waktu itu BT masih bertindak sebagai authorized signature, maka voucher dan cek ditandatangani oleh BT, setelah mendapatkan perintah dari perwakilan partner pihak China tersebut.

Fitnah EDS terhadap BT

Sejak mendapatkan bonus Rp 3,5 miliar, EDS (Edi Dwi Soesianto) bergerak “lincah” mengurus perizinan. Diawali dengan keterangan EDS yang mengaku mendapat info dari staf bupati NHY bernama Topik, bahwa NHY meminta fee sebesar Rp 10 miliar – Rp 20 miliar untuk pengurusan perizinan Meikarta. Ironisnya, BT sendiri tidak pernah mendapat laporan itu dari EDS.

Yang ia dapat justru peringatan dari SAT, staf di bawah EDS, bahwa kalau EDS nanti minta fee atas nama pejabat, agar diabaikan saja. BT sendiri sebagai orang dengan latar belakang perbankan, tidak memiliki interest untuk dekat atau percaya kepada EDS.

Ketidaktertarikan itu lebih kepada gaya hidup EDS yang tidak sesuai dengan penghasilan bulanannya. Sebagai pegawai dengan gaji tertentu sesuai posisinya, sangat aneh jika EDS memiliki rumah mewah dan hobi otomotif yang mahal. Sebagai catatan, audio mobil EDS saja berhaga ratusan juta rupiah. Dugaan BT benar, dan terungkap dalam fakta persidangan bahwa memang bagian perizinan yang dipimpin EDS  mendapatkan bagian dari fee perizinan yang diurus.

Di tempat terpisah, EDS sudah meminta maaf kepada BT secara pribadi. Ia bahkan berdalih, tindakannya “mencatut” nama BT karena tidak mau melibatkan orang lain. “Cukup kita-kita saja,” kata EDS kepada BT.

EDS juga mengaku kepada BT, tidak bisa mengingat jumlah dana yang ia berikan kepada para pejabat selama ia bekerja di bagian perizinan. Meski begitu EDS toh menandatangani BAP yang berisi fitnah terhadap BT. Kepada BT, ia berdalih karena diancam rumahnya akan disita.

Dalam persidangan sebelumnya, EDS dan SAT secara terpisah mengatakan bahwa sebetulnya mereka dengar ada deal soal fee antara NHY dan BS dari HJS. Fakta ini terungkap dalam fakta persidangan dimana NHY mengatakan ada pertemuan dengan BS membahas soal fee Rp 10 miliar.

Sedangkan EDS mengaku melaporkan permintaan fee dari NHY ini pada BT, dan BT menyetujuinya. Dan BT mengatakan akan disiapkan uangnya. Di sinilah BT merasa benar-benar ditikam dari belakang. Karena faktanya, BT tidak pernah mendengar permintaan fee untuk NHY dari EDS. BT tidak pernah menjanjikan untuk mempersiapkan uang untuk pemberian fee. Ia sudah membantah di persidangan. Sayang, penyidik maupun majelis hakim tidak menanyakan lebih mendetail, seperti kapan EDS meminta fee kepada BT, kapan BT pernah menyatakan kesanggupan memberikan fee, kapan fee diserahkan, siapa saja saksinya, dan seterusnya.

Disayangkan juga majelis hakim tidak menguji keterangan EDS yang mengaku menerima uang tunai Rp 10 miliar melalui MPL (sekretaris direksi). Bahkan dikatakan, uang tunai diterima di helipad Lippo Cikarang, diserahkan oleh MPL. EDS juga menyebutkan, sumber uang dari Karawaci.

Atas keterangan itu, pun saksi MPL sudah membantah dan menolak. Ia sama sekali tidak pernah merasa mengambil uang Rp 10 miliar di helipad dan menyerahkannya kepada EDS. Sebagai sekretaris, jangankan uang Rp 10 miliar, uang kecil pun harus ia catat. Sedangkan, tugas MPL di kantor itu adalah mengurus kas kecil. Tidak ada kewenangan pada dirinya untuk menangani uang Rp 10 miliar. Apalagi jika disebutkan uang tunai. Betapa berat uang sejumlah Rp 10 miliar, meski dalam pecahan 100-ribuan sekalipun. Uang satu miliar rupiah saja sangat berat, apalagi 10 miliar! Ditambah, ia seorang perempuan yang secara fisik tidak sekuat laki-laki pada umumnya.

Hingga pada titik itu, fitnah dan tuduhan EDS terhadap BT sama sekali tidak diperkuat oleh kesaksian siapa pun. Sebaliknya, justru dilemahkan, salah satunya oleh MPL sebagai sekretaris. Apa yang terjadi, di persidangan justru saksi MPL diancam dengan pasal memberi kesaksian palsu.

Sedangkan, fakta persidangan sebelumnya, terkait perkara Neneng dan Billy, sama sekali tidak disebut-sebut keterlibatan BT. Padahal, esensi kasus adalah suap Rp 10 miliar kepada Neneng. Menjadi sangat janggal ketika BT kemudian menyuap Neneng Rp 10 miliar.

Tak heran jika BT, yang sudah mendedikasikan 30 tahun hidupnya untuk mengabdi di Lippo Group merasa dizolimi, sekaligus dikorbankan. “Sampai liang kubur, akan saya kejar kebenaran itu. Ini masalah kredibilitas dan nama baik. Saya juga punya keluarga,” ujar BT dalam keterangan persnya.

Alhasil, Skandal Meikarta masih akan terus bergulir. Bukan tidak mungkin, BT adalah kunci untuk menguak aktor intelektualis sejati dalam Skandal Meikarta. (*/atm)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *