Entertainment
Tubuh Sumber Ekspresi
Jayakarta News – Tubuh adalah sumber segala ekspresi manusia. Dan tubuh adalah dasar dalam membuat koreografi. Seorang koreografer pertama sekali harus percaya dengan tubuh. Namun, untuk mengeksplorasi sebuah karya, tak tertutup kemungkinan untuk memanfaatkan dan memberdayakan elemen atau materi lain.
Tubuh manusia, tanpa ia sadari, terhubung erat dengan garis dan ruang. Tubuh senantiasa bekerja mengikuti ‘garis’ dan ‘ruang’. Pertemuan antara satu tubuh dengan tubuh lain niscaya juga terjadi dalam sebuah ‘garis’ atau ‘ruang’.
Apakah itu garis dan ruang secara harfiah yang terasosiasi dengan tempat, seperti rumah, sekolah, kantor, jalanan dsb, namun juga bisa ruang yang tak berwujut, seperti ruang sosial, ruang budaya, ruang keluarga, ruang intim, aturan, nilai-nilai, dan hal-hal abstrak lain yang mengkondisikan nilai-nilai dalam setiap garis dan ruang tersebut.
Selama dua hari (15 dan 16 November 2019) menyaksikan 8 nomor tari dalam JDMU (Jakarta Dance Meet Up) Selection di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), para koreografer tampak sekali bekerja memanfaatkan tubuh para penari yang terus dieksplorasi untuk mencari tubuh yang bebas dari identifikasi maskulin dan feminin.
Tubuh apakah yang muncul dan keluar dari dikotomi tersebut kelihatan pada bentuk dan alur karya koreografer Abu Hasan Lobubun dari Komunitas Daun Gatal. Berjudul ‘Tahun ke 3’, Abu Hasan menyuguhkan memorinya ketika ia berusia 3 tahun, bagaimana reaksi tubuhnya ketika berinteraksi dengan benda dan orang-orang disekitarnya.
Lain lagi Pada nomor tari berjudul ‘Siloka Rasa’ karya koreografer Annisa Nurkhadijah dari KIG Dance Community. Annisa menampilkan tari Bajidoran dari Jawa Barat. Tari ini terlanjur mendapat stigma negatif dari masyarakat karena diasosiasikan tari erotis dan mengundang pria untuk saweran.
Atau dalam perspektif lain, tari Bajidoran bisa jadi bentuk perlawanan terhadap struktur sosial patriarkis yang mengekang tubuh perempuan. Perempuan yang baik digambarkan perempuan yang bergerak dengan halus, lembut dan penuh tata krama. Bukankah penggambaran tersebut adalah cara untuk tetap menundukkan perempuan di bawah kuasa laki-laki?
Di sini, Annisa berhasil mengolah dengan menggunakan pendekatan yang lebih modern dan diposisikan sebagai bentuk pembebasan tubuh perempuan. Beberapa nomor tari lain juga patut diketengahkan, seperti ‘Demon Trance’ karya koreografer Bathara Saverigadi Dewandoro, 22 tahun, dari Swargaloka Art. Atau nomor ‘Almost Done’ karya Marich Prakoso dari Kreativitat Dance Indonesia, yang memvisualkan bullying yang marak terjadi saat ini, yang akhirnya tertoreh pada ingatan dan tubuh korban.
Alhasil, seorang koreografer mesti peka terhadap lingkungan sekitar. Ia mesti masuk ke kedalaman realitas agar karya yang ia hasilkan tidak dangkal. Berkarya bukanlah kompetisi, melainkan kebutuhan jiwa masing-masing koreografer. (pik)