Global
Prabowo Diminta Memilih Menlu yang tak hanya sekadar Jadi Juru Bicara di PBB
JAYAKARTA NEWS— Eskalasi ketegangan di Timur Tengah terus meningkat seiring dengan Israel yang memperluas perang kawasan. Indonesia juga harus merespon hal ini dengan segera menyiapkan skenario terburuk menghadapi situasi geopolitik global yang semakin memanas, apabila Israel terus memperluas zona perang. Ancaman perang dunia (PD) III semakin nyata.
Mantan diplomat senior Ple Priatna meminta agar Prabowo Subianto selaku Presiden terpilih memilih menteri luar negeri yang tepat, tidak hanya sekadar menjadi juru bicara di PBB atau forum-forum internasional, tetapi juga mengambil langkah-langkah visioner kebijakan politik luar negerinya.
“Menteri luar negeri ke depan jangan hanya bisa menyampaikan keprihatinan, atau ikut narasi barat. Jangan menganggap biasa persoalan Palestina, kenapa negara lain seperti bisa membawa Israel ke ICC, sementara Indonesia tidak bisa. Karena kita menganggapnya biasa, dan bisanya hanya menyampaikan keprihatan saja,” kata Diplomat Indonesia 1998-2021 ini, dalam diskusi Gelora Talk, Rabu (2/10/2024).
Ia juga menyoroti sikap Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno dan para delegasi Indonesia yang walkout saat Presiden Israel Benyamin Netanyahu berpidato di Sidang Majelis PBB ke-79 beberapa waktu lalu.
“Ngapain harus walkout, utus saja diplomat paling rendah. Caci maki Neyatanyu di situ, sampaikan semua sikap pemerintah Indonesia, dan jangan pernah berpikir untuk membuka hubungan diplomatik dengan Isarel,” kata Ple Priatna.
Sementara itu, Duta Besar LBBP Republik Indonesia untuk Lebanon Hajriyanto Thohari berharap agar Indonesia berperan agar bisa mencegah terjadinya perang kawasan atau regional.
Sebab, Israel pada prinsipnya tidak akan berhenti menyerang Lebanon sampai Hizbullah bisa dihancurkan, seperti halnya Hamas di Gaza, Palestina.
“Tidak hanya Iran, di Lebanon ada banyak negara yang punya proxy-nya. Di situ ada Amerika, Prancis, Iran, dan Arab. Saya berharap Indonesia membuat seruan agar kekuatan besar bisa mengerem diri supaya tidak terjadi perang regional,” kata Hajriyanto.
Keberadaan pasukan perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL) yang didukung 43 negara, termasuk Indonesia sejak 2006 lalu, yang didukung sekitar 11.500 pasukan perlu diefektifkan untuk mencegah perang regional tersebut.
“Selama ini Hizbullah kalau menyerang Israel hanya sekadar simbolik saja, tapi kalau agresi Israel ke Lebanon seperti ke Gaza, perang besar pasti terjadi. Kehadiran peacekeeping di Lebanon itu dalam rangka memisahkan Hizbullah dan Israel. Peacekeeping harus diefektifkan mencegah perang regional,” ujarnya.
Mantan Wakil Ketua MPR ini menegaskan, Israel tidak takut dengan kekuatan militer negara-negara Arab, bahkan pesawat tempurnya sering berlalu-lalang dan rudalnya berseliweran, dibiarkan saja.
“Negara-negara Arab itu tidak punya sistem pertahanan anti roket, sehingga pesawat Israel bisa terbang rendah berjoget-joget dan menari nari dari Lebanon hingga Damaskus, Suriah. Negara-negara Arab itu, seperti tidak berdaya,” ujarnya.
Cara efektif untuk menekan Israel itu, lanjut Hajriyanto, dengan menggalang solidaritas dan aksi demontrasi di negara-negara barat. Hal ini membuat dukungan barat kepada Israel dan Netanyahu rontok.
“Jadi yang paling ditakut Israel dan Netanyahu itu, demo-demo di negara-negara Eropa dan Amerika. Sehingga dukungan barat dan legitimasi terhadap mereka langsung rontok seperti beberapa waktu lalu. Kalau demo di negara Arab dan Islam tidak berdampak sama sekali,” ujarnya.
Netanyahu Ingin Trump Menang
Sementara Penulis Buku Hamas: Superpower Baru Dunia Islam Pizaro Gozali Idrus mengatakan, Presiden Israel Benyamin Netanyahu sengaja memperluas perang kawasan untuk sekedar ‘buying time’ menunggu kemenangan Donald Trump di Pilpres 2024.
“Netanyahu melakukan buying time, menunggu hasil Pilpres. Netanyahu ingin Donald Trump yang menang. Jika Donald Trump menang dan ekskalasi berlanjut, maka skala perang antara Israel dan Iran akan semakin besar,” kata Pizaro.
“Tapi kalau perang dengan skala nuklir, kita we can see. Tapi kalau perang dengan skala besar, itu terbuka terjadi apalagi kalau Donald Trump terpilih,” imbuhnya.
Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialog ini sependapat, bahwa situasi geopolitik global sekarang memungkinkan terjadinya PD III, meskipun efeknya tidak secara langsung ke Indonesia, tetapi persiapan harus tetap dilakukan.
“Karena itu, Indonesia perlu membuat buku putih pertahanan mengantisipasi hal ini terjadi. Dan Presiden Prabowo nantinya harus nelpon satu-satu menteri luar negeri. Menlu Iran, Lebanon, Amerika dan lain sebagainya,untuk melakukan deeskalasi perang. Semoga kedepan Indonesia lebih banyak berkecimpung di forum-forum internasional,” tegasnya.***din