Kolom
Pemilu Serentak 2024 di Era Post Truth
Oleh Achmad Fachrudin, Dosen Universitas PTIQ, Penggiat Literasi Demokrasi
Dari Pemilihan Umum (Pemilu) ke Pemilu selalu mempunyai dinamika dan kompleksitasnya sendiri. Berbeda dari Pemilu-Pemilu sebelumnya, Pemilu Serentak yang puncaknya akan berlangsung pada Rabu 14 Februari 2024 memiliki karakteristik yang khas. Salah satu faktor pemicunya, karena saat ini kita berada di era post truth. Manakala era post truth tidak dapat dijinakkan, berpotensi menghasilkan pejabat terpilih (elected officials) yang tidak credible dan defisit integritas kualitas personal.
Terminologi era post truth sendiri pertama kali dirilis Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika-Serbia di majalah The Nation ketika menulis tentang perang Teluk dan Iran (1992). Melalui esainya tersebut, Tesich menunjukkan kegalauannya yang mendalam terhadap perilaku politisi/Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang secara terang-terangan menyokong invasi Negeri Paman Sam tersebut kepada Irak padahal tindakan tersebut mencedrai hak-hak asasi manusia. Tetapi oleh sementara intelektual dan media massa AS, justeru dilakukan justifikasi akademik/ilmiah.
Dari peristiwa tersebut muncul berbagai pemikiran tentang post truth. Mc Intyre dalam Post Truth (2018) misalnya, memaknai era post-truth “as relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief”. Adapun Michael A. Peters, Sharon Rider Mats Hyvönen dan Tina Besley (Editor) dalam “Post-Truth, Fake News Viral Modernity & Higher Education” (2018) mengeritisi, sekalipun zaman sudah masuk paska kebenaran, fakta alternatif atau bahkan berita palsu secara fundamental merusak demokrasi, namun faktanya banyak digunakan oleh sementara elit politik. Dan terpenting merambah berbagai aspek kehidupan.
Kemudian istilah post truth dipopulerkan oleh penulis AS, Ralph Keyes (2004) dalam bukunya: “The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life” bersama komedian Stephen Colber dengan istilah truthiness. Yakni: sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Suatu era yang diselimuti banyak manipulasi, pengkaburan, pembalikan antara yang benar dengan salah; antara yang hak dengan batil; antara fakta dengan bukan fakta (fake), dan sebagainya.
Saking populernya terminologi post truth yang banyak diwarnai perilaku hipokrisi atau kemunafikan, tak heran jika pada tahun 2016 Oxford Dictionary (OD) menganugerahi kata “Post-Truth” sebagai “Dictionary Word of the Year 2016”. Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan 2.000 persen penggunaan kata tersebut pada tahun 2016. Menurut OD, era post truth berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan dimana fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada menarik emosi dan kepercayaan pribadi.
Bahasa Hipokrisi
Truthiness, seperti diistilahkan Ralph Keyes mirip dengan hipokrisi, yakni: seseorang yang secara terbuka menyatakan memiliki sikap atau bertingkah laku tertentu, tetapi kemudian bertindak dengan cara yang tidak konsisten dengan sikap atau tingkah laku tersebut. Kata hipokrisi berasal dari Bahasa Yunani: ὑπόκρισις (hypokrisis), yang artinya “cemburu”, “berpura-pura”, atau “pengecut”.Dalam bahasa indonesia sering disebut sebagai “kemunafikan”.
Sedangkan kemunafikan berasal dari Bahasa Arab: “nafaqa-yunafiqu-nifaqan wa munafaqan” atau dari “an-nafaqa” (nafaq), yang artinya lubang tempat berlindung. Orang munafik memiliki sifat bermuka dua, dan antara ucapan dengan perbuatannya tidak selaras. Rasulullah SAW mendeskripsikan orang munafik dengan tiga ciri; (1) apabila berkata berbohong, (2) apabila berjanji mengingkari, dan (3) bila dipercaya (amanah) mengkhianati.
Dalam lanskap bahasa Indonesia, banyak istilah pejoratif untuk menggambarkan seseorang yang memiliki ciri hipokrit. Antara lain tidak memiliki pendirian, tidak memiliki integritas, mencla-mencle, plintat plintut, muka dua, dan sebagainya. Selain istilah, diperkaya dengan pepatah. Dalam pepatah Jawa, disebut “esok dhele, sore tempe”. Artinya, pagi hari masih berbentuk kedelai, tetapi ketika sore hari sudah berubah menjadi tempe. Namun, pepatah tersebut ingin menggambarkan karakter manusia yang tidak konsisten antara ucapan dengan perbuatan pada saat yang lalu, saat ini dengan beberapa waktu kemudian.
Pribahasa Jawa lain “kakean gludug kurang udan” yang dapat dimaknai sebagai keadaan cuaca yang hanya diiringi sambaran petir saat hujan turun rintik-rintik. Tetapi makna sebenarnya dari pepatah tersebut adalah ungkapan yang menggambarkan orang yang suka berbicara besar, tetapi hasilnya nol. Orang itu lebih banyak bicara daripada bekerja. Sering berjanji namun tidak atau kurang bukti.
Di kalangan masyarakat Sunda dikenal pepatah “beungeut nyangareup ati mungkir”. Pepatah tersebut mengirim pesan kepada, dalam mengarungi kehidupan yang sarat dengan misteri, harus selalu waspada jika berhubungan dengan seseorang. Tidak jarang, ada orang yang bersikap dan bertindak amat baik didepan kita, namun dibelakang malah memaki-maki. Ironi kehidupan yang membuat tanda tanya besar.
Ranah Pemilu
Banyak pemikir politik mengkaitkan era post truth dengan kebohongan publik sebagai isu utamanya dengan ranah atau aktivitas politik. Kapolkas (2019) misalnya, menyebutkan bahwa ciri era post-truth adalah ketidakjujuran baru secara kualitatif para politisi, terutama dalam hal mengarang fakta untuk mendukung apapun yang dinarasikan. fakta yang dihadirkan itu mencerminkan suatu hasrat politik tertentu, terutama dalam usahanya mempengaruhi persepsi orang-orang mengenai politik.
Diantara kasus yang acapkali dirujuk antara lain skandal calon Presiden Donald Trump dari Partai Demokrat yang mencalonkan diri sebagai Presiden AS di Pemilu Presiden 2016. Trump ditengarai melakukan truthiness dengan cara membombardir lawan politiknya dengan berita bohong (fake news) secara sengaja untuk menipu orang, serta politik identitas yang streotif dan destruktif. Ironisnya dengan trik dan manuver strategi komunikasi atau media tersebut tersebut, Trump berhasil mengalahkan pesaingnya Hillary Clinton, yang lebih dikenal publik jauh kesan mempraktikkan hipokrisi politik.
Di Filipina, Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr (anak mantan Presiden Marcos Sr), menang telak dalam Pemilu menggantikan Presiden Rodrigo Duterte karena menggunakan truthiness dalam strategi kampanye. Caranya dengan memanfaatkan Media Sosial (Medsos) untuk melakukan fabrikasi dan manipulasi sejarah masa lalu Marcos Sr dari diktator dan penuh dengan korupsi disulap menjadi pemimpin yang demokratis dan bersih.
Dengan strategi tersebut, pemilih Pemilu Filipina khsusunya kalangan mudanya, yang menurut Data Reportal terdapat 92,05 juta pengguna Medsos per Januari 2022 atau 82,4 persen dari keseluruhan populasi pemilih, akhirnya terbius dan memilih Bongbong hingga yang bersangkutan terpilih menjadi Presiden Filipina.
Di Indonesia berbagai spekulasi maraknya era post truth juga menjadi perbincangan hangat. Rieke Elvira dan Eriyanto misalnya dalam “Post-Truth and Religious Sentiment that Change the Political Landscape and Its Outcome in 2017 Jakarta Gubernatorial Election, FISIP Universitas Indonesia (2017) menyimpulkan, strategi post-truth telah dilakukan oposisi terhadap Ahok dengan berbagai “fake news”, fitnah, sentimen agama, hoaks dan sebagainya untuk menjatuhkan Ahok.
Namun hasil penelitian ini direspon secara kritis oleh aktivis Syahganda Nainggolan dengan mengatakan, riset Rieke Elvira dan Eriyanto berbeda dengan investigasi media terbesar Eropa: “The Guardian” dalam “’I felt disgusted’: Inside Indonesia’s Fake Twitter Account Factories”, Juli 2018, yang mengungkapkan pengakuan tim Medsos Ahok yang berbulan-bulan memproduksi fitnah, hoaks dan berbagai “fake news” dengan bayaran yang mahal.
Berakhirnya Pilkada DKI 2017 dengan hasil dramatis (dimenangkan oleh Pasangan Calon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang berpasangan dengan Calon Gubernur DKI Sandiaga Salahuddin Uno yang Pasangan Calon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengalahkan Calon Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang berpasangan dengan Calon Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat), tidak serta merta mengubur era post truth. Bahkan terus tumbuh subur dan mengalami metamorfosis dan transformasi hingga menjelang, saat dan paska Pemilu Serentak 2019.
Adalah kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf Yusril Ihza Mahendra pada sidang sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi Selasa (18/6/2019). Saat itu Yusril menyinggung soal politik post-truth. Menurutnya, Pemilu 2019 merupakan fenomena politik post-truth. Dengan menyebut sejumlah ciri-cirinya. Diantaranya penggunaan strategi untuk membangun narasi politik tertentu untuk meraih emosi publik dengan memanfaatkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta yang membuat preferensi politik publik lebih didominasi oleh faktor emosional dibandingkan dengan faktor rasional.
Pemilu Serentak 2024
Memasuki tahapan Pemilu Serentak 2024, hampir dipastikan sulit dihindari dari serbuan dan jebakan era post truth yang ditandai ekspressi narasi dan perilaku (aksi) truthiness, hipokrisi dan kemunafikan. Untuk dapat memaksimalisasi dan mengkapitulasi hipokrisi politik menjadi political benefit bagi pemenangan Pemilu, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya tidak jarang menggunakan Search Engine Marketing (SEM) sebagai strategi digital marketing dengan yang paling sering adalah menggunakan media konvensional (media cetak, televisi, radio), dan media digital (online dan media sosial) atau lembaga survei. Bagi kandidat yang kantongnya ‘tebal’ atau diuntungkan karena kedudukannya sebagai pejabat publik, dapat membayar influencer dan buzzerRp.
Karena perannya saat ini yang demikian dahsyat dan massif, media sosial melalui algoritma secara tidak langsung juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam membentuk masyarakat post-truth. Algoritma media sosial berperan dalam menciptakan kondisi yang disebut echo-chamber. Echo-chamber (ruang gema) adalah kondisi di mana seseorang menerima informasi, ide, dan gagasan yang homogen secara terus-menerus, sedangkan pandangan lain tidak masuk dalam ruang tersebut. (https://setkab.go.id/media-sosial-post-truth-dan-literasi-digital/).
Yang dikuatirkan dari kehadiran era post truth serta dukungan perangkat teknologi digital dengan berbagai variannya yang kian canggih, seperti dikatakan Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, kebohongan yang dipercaya sebagai kebenaran bisa memicu semua orang membelanya dengan Tindakan yang heroik. Si pejuang akan jadi korban kebohongan, Sementara orang yang menentang kebohongan juga bisa jadi korban pidak yang membela kebenaran. (2023:133).
Dampak negatifnya lagi dan ini yang paling dikuatirkan, masyarakat atau pemilih tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mengenali, mengerti, memahami, menyaring dan melawan segala bentuk hipokrisi politik. Sehingga yang meraih suara terbanyak atau persisnya menjadi elected officials, baik di jajaran eskekutif maupun legislatif, justeru politisi hipokrit namun memiliki modalitas berbagai proyek pencitraan secara digital maupun konvensional. Atau karena dukungan jaringan kekuasaan yang dimilikinya. Dalam bahasa yang sudah sangat popular disebut karena dukungan kekuatan oligarki.
Dalam kontek ini menarik dan relevan mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Yang menekankan pentingnya seorang pemimpin negara harus bersikap jujur. Sebab, jika sebaliknya maka akan mendapatkan karma. Hasto lalu menyinggung kisah pewayangan mengenai tokoh pemimpin Pandawa, yakni Yudhistira, yang memiliki watak jujur. Merujuk pada cerita itu, seorang pemimpin tidak boleh berbohong dan tidak boleh memanipulasi demi elektoral. “Inilah yang harus ditanamkan dengan memperingati kemerdekaan ke-78 agar pemimpin ke depan harus jujur,” ucap Hasto, sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com, Kamis (17/8/2023).
Ruang Publik
Untuk itu perlu disediakan ruang atau forum publik yang luas dan terbuka untuk dapat melakukan proses cek dan ricek, uji publik, eksaminasi atau apapun namanya terhadap manuver elit atau pejabat public/politik yang bertendensi mengandung kebohongan publik, atau hipokrisi politik. Yang paling tepat dan independen melakukan tugas dan peran tersebut adalah kampus dengan cara mengundang para aktor politik atau pihak yang berkepentingan dengan isu hipokrisi politik. Karena dilakukan di dalam kampus, tentunya pendekatan atau kegiatannya harus dikemas secara akademis/ilmiah, penuh dengan etika dan keadaban.
Sementara terhadap pemilih, penting dilakukan edukasi dan literasi politik dan demokrasi secara sistematis dan komprehensif, khususnya terkait dengan mencermati dan mensikapi fenomena dan realitas hipokrisi politik di era post truth. Dengan cara demikian, harapannya tentu saja di Pemilu Serentak 2024, masyarakat dan pemilih mendapatkan lebih banyak lagi elected officials yang memiliki integritas dan kapasitas serta mampu membawa bangsa ke depan kearah kehidupan yang lebih baik dan berkualitas dalam berbagai aspeknya.
Pada akhirnya, tulisan sederhana ingin ditutup dengan pendapat David Runciman dalam buku “Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond, Revised Edition” (2018). Runciman mengacu pada studi terhadap . karya beberapa pemikiran politik modern, seperti Hobbes, Mandeville, Jefferson, Bentham, Sidgwick, dan Orwell mengakui, tidak mudah menghilangkan kemunafikan dari belantara politik dan kemungkinannya akan sia-sia. Karena itu, kata Runciman: “alih-alih mencari politisi otentik dengan sia-sia, kita harus mencoba membedakan antara kemunafikan yang tidak berbahaya dan berbahaya dan hanya mengkhawatirkan varietas yang paling merusak”.***