Kabar
Ketika Para Dokter Berguguran
Jayakarta News – Wabah Covid-19 menerjang Indonesia. Sejumlah dokter dan petugas paramedis yang terpapar corona, meninggal dunia. Sedangkan, pemerintah belum juga mengambil langkah tegas. Terkait itu, Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) melayangkan surat imbauan kepada Presiden Joko Widodo.
Pada point pertama surat yang ditandatangani Ketua Dewan Guru Besar FKUI, Prof Dr dr Siti Setiati, SpPD, K-Ger, Mepid, FINASIM, menyoal pengumuman jumlah korban yang dinilai tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Per tanggal 24 Maret 2020, terdapat 790 kasus positif infeksi COVID-19 di Indonesia dengan proporsi terbanyak ditemukan di ibukota negara kita, Jakarta (463 kasus).
Angka kematian/mortalitas di Indonesia sendiri saat ini mencapai 58 kasus, dengan jumlah pasien yang sembuh adalah 30. Dengan demikian, Indonesia berada pada ranking-5 kasus dengan case fatality rate (CFR) tertinggi ke-5 di dunia.1 Berkaca dari negara-negara lain, dengan adanya perkembangan uji diagnostik, maka jumlah kasus positif di Indonesia akan terus bertambah secara eksponensial.
Mengatasi pertambahan kasus COVID-19 di Indonesia, maka seluruh pemerintah, organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga terkait, tenaga kesehatan di seluruh lapisan fasilitas kesehatan, beserta masyarakat harus dapat bekerja sama, secara terintegrasi dan multi-disiplin dalam memerangi virus COVID-19 ini.
Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Korea Selatan yang membuat kebijakan agar semua orang yang pernah terpapar atau kontak dengan pasien positif COVID-19 untuk diperiksa dengan cara mendirikan drivethru tempat pengecekan COVID-19 secara massal, sehingga semua orang dapat di-swab dan hasilnya akan diberitahu 2-3 hari ke depan. Hasilnya secara transparan akan diberi tahu kepada pasien dan juga data tersebut diambil oleh negara.
Lebih lanjut, apabila pasien tersebut positif, maka distrik/daerah tersebut akan diberi notifikasi oleh negara untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap infeksi COVID-19. Secara nasional, pemerintah Korea Selatan melarang semua aktivitas dengan jumlah massa yang banyak, perkumpulan-perkumpulan, menggalakan work from home, menggunakan alat telekomunikasi dan internet secara maskimal, memberi edukasi etika bersin, etika batuk, serta cuci tangan sesering mungkin.
Di Korea Selatan pun terjadi lonjakan jumlah masyarakat terinfeksi COVID-19, namun jumlah kematian tidak seperti negara-negara lain (0.69%). Di Korea Selatan, apabila pasien tersebut stabil dan tidak ada keluhan, maka mereka menjalankan self-isolation dan social distancing pada diri mereka sendiri, termasuk menjauhi keluarga mereka yang tidak terinfeksi COVID19.
Apabila mereka memiliki gejala berat, mereka dapat dirawat di Rumah Sakit besar khusus infeksi COVID-19, sehingga tidak dicampur dengan pasien non-infeksi COVID-19. Ada pula rumah sakit lokal dimana mereka dapat merawat pasien infeksi COVID-19 dengan gejala ringan. Selain pembatasan perjalanan ke dalam dan luar negeri, produksi masker di Korea Selatan pun ditingkatkan, sehingga baik tenaga kesehatan maupun masyarakat tidak kekurangan alat pelindung diri (APD), tentunya dengan harga normal.
Ketersediaan alat-alat di rumah sakit juga memiliki peran penting, terutama pada pasien infeksi COVID-19 berat. Pada umumnya, herd immunity atau kekebalan kelompok bisa tercapai bila populasi terinfeksi sekitar 70%. Artinya 270 juta x 70% = sekitar 189 juta orang. Kalau rerata CFR di dunia adalah 3%, maka harus ada sekitar 5-6 juta jiwa.
Sementara saat ini CFR Indonesia adalah 8-10% ditambah lagi dengan Indonesia adalah negara yang luas dan banyak kepulauan, tentu akan sulit pemantauan dan prediksinya. Skenario ini adalah apabila populasi terinfeksi sekitar 70%, bagaimana kalau 90% populasi terinfeksi dengan CFR 8%? Berapa juta orang akan jatuh sakit dan meninggal karena infeksi ini?
Kalau pakai asumsi di atas, dan kita pakai CFR dunia sebagai CFR Indonesia, maka dengan jumlah kematian sekarang 55, artinya jumlah kasus sebenarnya (55×100)/4,3 = 1279 kasus. Sehingga, kemungkinan jumlah kasus COVID19 di Indonesia saat ini adalah sekitar 1.300 KASUS.
Fasilitas kesehatan kita tidak siap. Dengan episentrum infeksi saat ini di Jabodetabek dan Surabaya saja fasilitas kesehatan kita masih memiliki kesulitan untuk mendapatkan APD.
Selain itu, ketersediaan alat bantu pernapasan hanya terbatas di beberapa RS saja, menghasilkan CFR yang tinggi. Sulit dibayangkan apabila daerah Papua dengan fasilitas kesehatan yang minim terinfeksi COVID-19. Saat ini, studi menyatakan hanya tersedia 2 bed ICU (Intensive Care Unit) setiap 100.000 populasi di Indonesia.4 Hal ini merupakan proporsi terendah di Asia.
Bayangkan apabila infeksi ini meluas di Indonesia! Bukan hanya masyarakat yang akan menjadi korban, tetapi tenaga kesehatan garis depan pun satu per satu akan berguguran. Sungguh tragis. (rr)