Connect with us

Feature

Cegah Kelangkaan, Anjani Membangun Bibit-Bibit Pembatik Cilik di Pelosok Nusantara

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Sampai kapan pembatik di Indonesia akan mudah ditemui? Pertanyaan ini menggelisahkan hati Anjani Sekar Arum, pembatik asal Desa Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Anjani, demikian panggilan akrabnya, usianya masih terbilang muda, 31 tahun. Lahir pada April 1991 dan telah mengabdikan dirinya di dunia seni membatik sejak 2010.

‘Bergelut’ dalam dunia seni batik, Anjani telah berada pada pencapaian puncak dalam waktu singkat. Tahun 2017, motif batiknya telah dipatenkan menjadi Batik Khas Kota Batu yaitu Batik Bantengan dan Anjani sebagai penciptanya.

Dalam perjalanannya sebagai pihak yang memproduksi batik, Anjani tentu membutuhakan tenaga-tenaga pembatik. Hal ini membuatnya gelisah karena hampir setiap tahun, pembatiknya ada yang meninggal.  “Hampir setiap tahun, pembatikku ada yang meninggal. Bahkan dalam masa Covid ini, telah 4 orang meninggal,” kata Anjani  kepada Jayakarta News baru-baru ini.

Dengan begitu, pembatiknya semakin berkurang. Sementara untuk mendapatkan penggantinya, tidak mudah. “Kalau didiamkan saja, tentu akan semakin langka pembatik kita, Kalau sekarang sih, masih aman. Tetapi sepuluh tahun kemudian, apakah masih aman juga jika tidak ada yang memikirkannya untuk regenerasi,” ujar Anjani.  

Menurut Anjani, umumnya usia pembatik saat ini adalah usia yang tidak muda lagi. “Usia terus bertambah, kalau tidak ada regenerasi, bisa-bisa punah pembatik kita. Regenerasi perlu dipersiapkan dari sekarang, biar tetap aman. Itu yang saya pikirkan. Jarang pembatik memikirkan hal itu,” tandasnya.

Pembatik Cilik di Samosir, Sumatera Utara antusias belajar membatik dari Anjani (Foto: Istimewa)

Bibit Pembatik dari Komunitas Pembatik Cilik  

Dari kegelisahannya ini, Anjani pun ‘berjuang’ membangun Komunitas Pembatik Cilik untuk melahirkan bibit-bibit pembatik Indonesia.  “Cita-citaku dan kepuasanku adalah membangun komunitas pembatik cilik Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan demikian akan muncul bibit-bibit pembatik Indonesia dan aku berharap batik dapat dikenal masyarakat secara luas,” tutur Anjani. 

Diawali tahun 2015, Anjani membangun Komunitas Pembatik Cilik di kotanya sendiri, Kota Batu. Kemudian pada 2021 merambah ke Yogyakarta di dua tempat, yaitu Gedangsari, Gunung Kidul dan Pandak, Bantul. Berlanjut November 2022 Anjani membangun Komunitas Pembatik Cilik di  Pulau Samosir, Sumatera Utara.  

Memasuki tahun 2023, Anjani bertekad setiap bulan akan ke pelosok-pelosok daerah untuk membangun Komunitas Pembatik Cilik dan  memberikan pendidikan membatik secara gratis.  Perjalanan ini disebutnya sebagai menularkan virus pembatik cilik yaitu dengan membina dan memberi pelatihan membatik kepada anak-anak mulai usia kelas 3 SD hingga SMA. “Regenerasi pembatik itu sangat perlu dan dibutuhkan karena dengan membatik, kita bisa melestarikan budaya daerah kita,” ujar Anjani serius.  

Para pembatik cilik di wilayah Yogyakarta (Foto: Istimewa)

Batik Karya Anjani Cegah Punahnya Budaya Bantengan

Anjani Sekar Arum lahir dan tumbuh di Bumi Aji, Kota Batu, Jawa Timur. Tempat kelahirannya ini dikenal dengan budayanya yaitu Budaya Bantengan. Darah seni Anjani turun dari ayahnya, Agus Riyanto, penggiat Kesenian Bantengan.

“Saya terlahir dari keluarga seniman. Tidak hanya ayah tapi mulai dari kakek, juga buyut memang sudah darah seni. Salah satu nenek moyang kami adalah pendekar bantengan, istilahnya beliau itu bisa dibilang pencetus budaya bantengan. Sedangkan ayah, lebih kepada seni lukis,” kisah Anjani mengenai perjalanan hidupnya dalam Seni Membatik.

Namun, menurut Anjani, hingga pada 2008,  Budaya Bantengan sangat jarang terlihat. “Hanya sesekali saja, misalnya pertunjukan di Hari Kemerdekaan atau panen raya di Kota Batu. Penggiatnya pun sangat jarang.”

Pada tahun 2008, ayahnya mulai menggerakan kesenian ini.  “Nah selama ayah menggerakan bantengan sebagai budaya lokal sejak 2008,  kemudian beliau membangun salah satu komunitas penggiat budaya  namanya Penggiat Budaya Nusantara. Maka bantengan ini pun dijadikan event tahunan di Kota Batu,” lanjut Anjani.

Dalam tiap atraksi kesenian Bantengan, ayahnya berperan sebagai Pendekar Bantengan. Setelah kesenian ini  menjadi event tahunan, kelompok penggerak budaya bantengan terus betambah. “Awalnya hanya 30 kelompok sekarang sudah sampai ratusan. Bahkan kalau  dikumpulkan, kurang lebih  bisa 10 ribu budayawan se Malang Raya. Tidak hanya Kota Batu saja,” katanya lagi.

Galeri Batik Anjanie di Desa Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur (Foto: Istimewa)

Dengan berlangsungnya pertunjukan kesenian Bantengan setiap tahun dan semakin merakyat, Budaya Bantengan pun menjadi ikon Kota Batu. Anjani pun terpanggil untuk melestarikan budaya ini. Dia mencoba memasukan budaya bantengan menjadi motif lukisan batiknya.

“Saya berinisiatif menjadikan bantengan ini sebagai salah satu motif batik sehingga bisa menjadi ciri khas kota batu, karena di Indonesia bagi saya bantengan masih belum dijadikan motif khas sehingga saya mencoba supaya bagaimana caranya  budaya ini tetap lestari dan batu juga punya ikon, punya motif yang khas,” tutur Anjani.  

Setelah lulus sebagai mahasiswa jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang pada 2010, Anjani mulai belajar membuat lukisan kepala banteng di batiknya. Anjani yang mewarisi bakat melukis dari ayahnya, belajar membatik sampai ke Yogyakarta dan Solo  untuk dapat menghasilkan batik khas Kota Batu dengan tema bantengan.

Batik Bantengan karya Anjani, harga Rp. 800 Ribu (Foto: Istimewa)

Usahanya berhasil, hingga pada tahun 2014 Anjani telah membuat 52 karya batik. Semua karyanya dengan satu tema yaitu Bantengan tetapi dalam berbagai  motif. Semua karyanya itu dipamerkan dalam Pameran Tunggal Anjani, 29 Agustus 2014 di Kota Batu. Pameran tersebut dibuka oleh  Walikota Batu saat itu, Dewanti Rumpoko.  Dalam pameran itu, Walikota Batu menetapkan Batik Bantengan karya Anjani dinyatakan sebagai batik ciri khas kota batu.

“Saya ingin mengangkat budaya ini, karena budaya bantengan ini memang budaya masyarakat menengah ke bawah. Tidak banyak orang tergerak hatinya untuk memahami budaya ini. Pertunjukan kesenian ini pun kurang dinikmati dan kurang menarik bagi masyarakat menengah ke atas karena dianggap hanya pertunjukan rakyat menengah ke bawah. Tetapi kan tetap harus kita lestarikan budaya ini,” papar Anjani lagi.

Anjani tidak pernah putus memperkenalkan budaya ini. Setiap kali dia mengadakan pameran, Anjani selalu membawa video kesenian tersebut. Anjani tidak hanya memamerkan karya batiknya, tetapi dia justru lebih memperkenalkan Kesenian Khas Kota Batu itu, Bantengan.

“Jadi, kita tidak hanya mempromosikan batik dengan ciri khas bantengan itu saja,  tetapi kita sebenarnya sedang  memperkenalkan dan mengangkat budaya kita sendiri. Sehingga dengan batik yang kita hasilkan, kita bisa melestarikan budaya itu.”

Saat ini, perjuangan Anjani sudah membuahkan hasil, Batik Bantengan tidak hanya dikenal di Kota Batu, namun sudah dipamerkan sampai ke  mancanegara seperti Taiwan, Malaysia, Singapura dan Australia.

Tahun 2017 adalah tahun bersejarah baginya. Tahun itu, keuletannya melestarikan budaya melalui karya seni membatik mendapat penghargaan dari SATU Indonesia Awards. Anjani menjadi Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards untuk kategori Kewirausahaan. Tahun itu pun, Batik Bantengan karyanya dipatenkan menjadi Batik Khas Kota Batu dan Anjani sebagai penciptanya.

Batik Bantengan karya Anjani, harga Rp 1,5 juta (Foto: Istimewa)

Dua pencapaian di tahun 2017 ini tidak membuat Anjani terlena. Dia bahkan lebih bersemangat berkarya. Kini, fokusnya adalah melestarikan budaya nusantara. “Bukan hanya di Kota Batu, tetapi saya ingin melestarikan budaya di pelosok tanah air melalui membatik. Saya ingin mengangkat kearifan lokal setempat dalam seni membatik,” tandasnya.

Pendidikan Gratis Bagi Pembatik Cilik di Seluruh Pelosok Nusantara    

Untuk mewujudkan keingiannya itu, Anjani saat ini fokus membina pembatik-pembatik cilik. “Untuk melestarikan budaya melalui seni batik, tentu kita membutuhkan bibit-bibit pembatik, saat ini saya fokus bagaimana menyiapkan anak-anak Indonesia supaya bisa menjadi bibit pembatik. Supaya, kita tidak beresiko sepuluh tahun atau beberapa tahun kedepan pembatik Indonesia punah. Karena sekarang mencari pembatik itu susah,” tandasnya.  

Anjani membuat target, mulai tahun 2023 setiap bulan, dia akan memberikan pelatihan membatik secara gratis kepada anak-anak di pelosok Nusantara. “Saya akan mengunjungi daerah-daerah yang belum mengenal cara membatik dan memberikan pelatihan membatik secara gratis kepada anak-anak,” tuturnya.

Rencana Anjani ini sebetulnya  telah dijalankan pada November 2022 yaitu perjalanan ke Pulau Samosir, Sumatera Utara. Pada Januari 2023, Anjani berencana masih akan ke Samosir sebelum ke tempat lainnya.  “Sepertinya saya masih ke Samosir untuk membina lagi. Setelah itu, rencananya akan ke Banjarmasin,” katanya.

Anjani memang memikirkan pentingnya regenerasi pembatik. Mendidik anak-anak agar menyukai batik dan bisa membatik. Dia juga mengajari mereka untuk mengerti mana batik yang benar dan mana yang bukan batik. “Kita membutuhkan bibit pembatik untuk kelanjutan pembatik di Indonesia tidak langka. Dengan pembatik-pembatik yang tepat, kita bisa melestarikan kebudayaan daerah atau kearifan lokal  melalui seni membatik,” tutur ibu dari dua anak ini semangat.  

Semangat Anjani mendidik pembatik cilik hingga saat ini memang tidak pernah surut. Apalagi ketika melihat antusias pembatik cilik di Samosir. “Awalnya memang mereka pikir membatik itu sulit, tetapi begitu diajarkan, mereka malah jadi rebutan untuk mencoba. Anak-anak tentu merasa i,ni pengalaman baru bagi mereka,” lanjut Anjani.  

Kapolres Ponorogo AKBP Catur C. Wibowo, S.I.K., M.H dan Istri memakai batik karya Anjani. Satu pasang batik ini seharga Rp 12 juta (Foto: Istimewa)

Mereka ada yang melukis ciri khas daerahnya. Seperti Danau Toba atau rumah adat. “Memang di tiap daerah, kita mau mengangkat kearifan lokal masing-masing dalam karya seni lukis batik.”

Anjani tidak hanya ingin membangun pembatik cilik, tetapi juga mencari kawasan yang tidak akrab dengan batik. Seperti Samosir, belum ada batik tulisnya. “Kalau printing ada, tetapi itu bukan batik. Jadi, target saya mencari kawasan yang memang belum ada batiknya,  saya ingin masukan batik disana. Sehingga daerah itu akrab dengan batik. Saya ingin Indonesia akrab dengan batik.” katanya.

Di tempat kelahirannya, Desa Bumiaji, Kota Batu nama Anjani telah terukir indah. Di desa ini juga Anjani membuka Galeri Batik yang mempekerjakan 42 orang dari desa setempat dan menghasilkan batik-batik Bantengan yang indah dengan harga dari Rp. 200 ribu hingga Rp. 25 juta per helainya. Melalui karyanya, Anjani telah membuktikan melestarikan budaya dan membangun Indonesia.***(Melva Tobing)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *