Connect with us

Entertainment

Kucumbu Tubuh Indahku: Dipuji di Venice, Dicerca di Tanah Air

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Film “Kucumbu Tubuh Indahku” –yang diusung dalam Festival Film Venice dengan judul “Memories of My Body”, memberi gambaran, bahwa sebuah karya seni yang di kancah global mendapat pujian, di tanah air nasibnya bisa bertolak belakang.

Benar, dalam Festival Film Vanice untuk seksi Horizon, film garapan Sutradara Garin Nugroho –nama yang tidak asing lagi di festival film yang amat diperhitungkan di dunia dan digelar di Prancis itu– dengan meraih predikat terbaik untuk kategori tersebut, benar-benar tidak beruntung di tanah “kelahirannya.

Film yang mengangkat sisi gelap [tragedi] “budaya” Indonesia di masa lalu, “lengger lanang”, di mana-mana mendapat reaksi penolakan. Sempat diputar di bioskop, akhirnya film ini tidak bisa lagi tayang, karena mendapat penolakan dari kelompok-kelompok muslim di tanah air. Mereka juga menyerukan agar daerah-daerah lain juga melarang film tersebut. Kelompo tersebut menilai, film ini “menyimpang secara seksual” dan mempromosikan “nilai-nilai LGBT.”

Film ini menggambarkan kisah seorang pemuda dari kelompok tari yang menampilkan Lengger Lanang, tarian rakyat dari Jawa Tengah yang biasanya dipertunjukkan berpasangan, dimana laki-laki sering mengambil peran laki-laki dan perempuan.

Hal ini didasarkan pada kisah nyata Rianto, seorang penari yang dilecehkan ketika masih anak-anak, mengeksplorasi maskulinitas dan femininitas ketika tumbuh dewasa, dan mengalami pengalaman traumatis, diskriminasi dan kekerasan. Rianto sendiri berperan sebagai penari saat dewasa dan menceritakan film tersebut.

Film ini mendapat apresiasi di bagian Horizon Festival Film Venice, di mana ia memenangkan hadiah untuk film terbaik. Film ini juga dinominasikan untuk memperoleh hadiah Queer Lion. Penghargaannya juga termasuk Montgolfiere d’Or untuk film terbaik di Festival des 3 Continents di Perancis dan Cultural Diversity Award di Asia Pacific Screen Awards. Dalam kemitraan dengan APA, film ini juga diputar untuk UNESCO di Paris, pada bulan Desember lalu.

Tetapi pada kenyataannya, film ini mengalami masalah di tanah airnya, setelah dirilis pada tanggal 18 April 2019. Setelah diberi label “17+” oleh Lembaga Sensor Film (LSF), film ini diedarkan oleh produser Fourcolours Films.

Harus diakui, hingga kini Indonesia baru memiliki sangat sedikit distributor independen. Artinya, produsen film di sini biasanya menanggung risiko lebih besar apabila mengandalkan dirinya untuk mengedarkan film, melepaskan diri dari agen.

Dalam waktu kurang dari sepekan, film ini dilarang oleh para pejabat lokal di daerah-daerah, di antaranya Depok, Palembang, Riau dll. Kalangan muslim meminta agar Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa untuk menolak film ini.

Arovah Windiani, juru MUI, mengatakan bahwa, dari perspektif moral, film “tidak boleh ada di luar sana.” Yang lain mengatakan mereka telah mengajukan banding ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang mengatur Industri TV, tetapi tidak memiliki otoritas atas rilis film bioskop, untuk juga melarang film ini.

Sekalipun hanya sedikit orang yang sudah menonton film itu, tetapisebuah petisi online telah beredar yang menyerukan film “Kucumbu Tubuh Indahku” untuk dilarang. Film besutan Harin Nugroho ini dikecam, tidak terkecuali sang sutradaranya, yang dinilai karyanya sebagai “bahaya bagi kaum muda.”

Pada hari Senin lalu, MUI menuntut LSF mengubah sertifikasi film menjadi 21+, dan merekomendasikan agar Nugroho mengedit kembali film tersebut agar maknanya kurang ambigu.

Namun Garin Nugroho menolak untuk merevisi film dan mengatakan, bahwa dia menentang “pengadilan massa.” Dia pun telah menjadi “tuan rumah” diskusi publik tentang filmnya di pusat-pusat seni di seluruh negeri.

Dengan pemutaran yang dilarang di lima provinsi, film ini sekarang diputar di hanya tiga layar di negeri terpadat keempat di dunia ini.

Komite Sutradara Film Indonesia telah mengeluarkan pernyataan yang mendukung Garin Nugroho, dan mengutip sembilan contoh lain di mana penentangan dengan dalih agama yang muncul secara online, telah berdampak pada film-film Indonesia.

Organisasi itu mengatakan bahwa tekanan semacam itu berlawanan dengan program pendidikan pemerintah, dan menyarankan agar para pejabat dan masyarakat menonton film sebelum bertindak melawan mereka.

Ironisnya, mungkin saja Lengger Lanang, sebagai bentuk tariannya, tamoaknya telah disalahpahami. Padahal, namanya tersebut diyakini merupakan kontraksi dari frasa “elinga ngger,” [ingatlah nak], yang merupakan saran berbahasa Jawa yang harus diperhatikan atau diingat.

Hal itu sebelumnya telah ditafsirkan sebagai pesan moral untuk mengingat Tuhan, dan melakukan perbuatan baik untuk orang lain. Sumber lain mengatakan bahwa secara historis Lengger sebenarnya digunakan untuk mempromosikan Islam di Indonesia.

Interpretasi itu tidak cocok dengan iklim saat ini di Indonesia. Pemilihan presiden dan pemilihan umum bulan lalu, sebagian besar isu yang dijual atas dasar agama.

“Ini adalah dilema Indonesia hari ini,” kata produser Ifa Isfansyah. Indonesia terbagi antara Sufi dan Wahhabi [pemeluk agama Islamnya. Menurut] Wahhabi, semuanya harus mengikuti budaya Arab, menolak mayoritas tradisi Indonesia dan pengaruh seni dan tari Hindu dan Budha, yang juga merupakan tradisi lokal kita. ”

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *