Connect with us

Kolom

Tiada Henti Bina Bangsa

Published

on

Oleh Sri Iswati *)

Kongres Pancasila ke-11 di Yogyakarta pertengahan Agustus lalu membangun pesan yang dalam tentang bagaimana kita semestinya merealisasikan nilai-nilai Pancasila. Utamanya dalam Orasi Kebangsaan yang disampaikan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Momen kegiatan ini juga pas, dalam suasana bangsa Indonesia memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-74, sehingga kenangan dan  ingatan mudah terbawa ke  masa lalu. Masa pergerakan, masa perjuangan merebut kemerdekaan hingga pertempuran-pertempuran sengit  mempertahankan  kemerdekaan Indonesia. Yang dilandasi semangat heroik pantang menyerah dengan semboyan:  Merdeka atau Mati.

Sri Sultan mengajak seluruh anak bangsa, di mana pun dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas hingga Rote, untuk “Merajut Kembali Persatuan Indonesia”, yang dijiwai semangat peduli dan berbagi serta bergotongroyong antarsesama, tanpa membeda-bedakan asal-usul suku, agama, dan golongan.

Orasi Kebangsaan Sri Sultan tentang Aktualisasi Pancasila Dalam Merajut Kembali Persatuan Bangsa, menjadi sesuatu yang semestinya terus diperbarui agar selaras dengan geliat zaman. Untuk itu tentu memerlukan inovasi-inovasi.

Selarik iklan media ibukota untuk terus eksis, layak penulis kutip di sini: Inovasi menjaga relevansi.

Benar, karena dengan inovasi-inovasilah menandakan dan memanifestasikan langkah, dan kebijakan bersesuaian dengan nafas, serta gejolak yang terjadi di masyarakat. Yakni Persatuan Bangsa yang belakangan kerap “terusik”. Bahkan sempat terpolarisasi. Terutama di saat-saat perhelatan  akbar, seperti Pemilu.

Tak hanya pemilu yang telah kita rasakan bersama ekses kegaduhannya di tahun 2019 ini. Pilkada di beberapa daerah juga diwarnai ketegangan. Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 pun menorehkan catatan buram dalam berdemokrasi karena mengedepankan isu-isu SARA yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Letupan-letupan peristiwa yang tak kalah mengkhawatirkan juga terjadi. Konflik antarkampung, tawuran antarkelompok masyarakat, bahkan tawuran kaum intelektual pelajar dan mahasiswa pun tak jarang mewarnai kehidupan kita  sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa persatuan dan kerukunan diantara anak bangsa masih menjadi pekerjaan rumah kita.

Mengapa masih acap terjadi disharmoni seperti itu? Padahal kita telah  sepakat  bahwa persatuan merupakan pondasi terbesar bangsa Indonesia selama ini. Kalau pondasi itu retak, atau patah-patah, atapnya tentu bisa roboh.

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Peribasa lama ini tak kan pernah usang nilainya sekalipun perubahan-perubahan terus terjadi. 

Presiden Joko Widodo acap pula mengatakan bahwa potensi terbesar bangsa Indonesia adalah persatuan. Ucapan klise kedengarannya. Tidak! Klise dalam teks kebahasaan. Namun selalu kontekstual dalam proyeksi langkah-langkah zaman  sampai kapanpun.

Ceramah Gus Muwafik di Istana Negara pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW beberapa waktu lalu menyinggung ihwal potensi dan keagungan bangsa Indonesia ini. Bangsa Eropa terdiri dari beberapa negara. Bangsa Arab pun terdiri beberapa negara. Namun beberapa suku bangsa di Indonesia bisa bersatu dalam satu negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indoneisa.

Pancasila sebagai pemersatu bangsa kita akui dan rasakan kesaktiannya selama ini. Namun menggelitik pula pertanyaan atas Subtema yang dibentangkan dalam Kongres Pancasila tersebut yakni… Merajut Kembali Persatuan Bangsa.

Sebenarnya bukan hanya terpampang pada kongres Pancasila XI di Yogya saja. Ungkapan senada juga acap kita dengar di acara-acara talks show di televisi, misalnya Merajut Harmoni Persaudaraan.

Dalam narasi yang tak tertulis atau terucap, kalimat yang indah itu menyiratkan telah terjadi  disharmoni. Jika persatuan itu ibarat kain, maka kain itu mungkin koyak, ada benang-benang yang putus, atau bahkan ada robekan. Karena itu perlu disulam dan dirajut kembali.

Indonesia memiliki banyak berbedaan. Plural. Sangat beragam. Negara kepulaua ini terdiri sekitar 17 ribu lebih pulau. Terdiri bermacam ras, banyak agama, pelbagai suku bangsa, beratus bahasa, dengan segenap perbedaan adat-istiadat serta budayanya.

Potensi konflik dan pecah tentunya cukup besar pula. Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), DR Hermawan Sulistyo dalam salah satu bukunya, Siapa Makan Siapa, mengatakan, karakter negara kepulauan seperti Indonesia ini mengandung potensi disintegrasi tinggi. Minimal mengandung potensi fragmentasi dan atau kontraksi negara yang sangat tinggi pula.

Kita longok sejarah, sekitar 30 tahun silam. Ketika negara super power Uni Soviet pecah pada tahun 1990 menjadi 15 negara, banyak yang meramalkan Indonesia akan menyusul. Ternyata kemudian yang pecah adalah Yugoslavia (1991) menjadi enam negara (Slovenia, Kroasia, Serbia, Bosnia Herzegonina, Montenegro,  dan Makedonia). 

Yugoslavia merupakan negara di Eropa yang pertama mengakui kemerdekan Indonesia. Sehingga terjalin persahabatan antara Indoesia – Yugoslavia. Dan Presiden Sukarno ketika itu sudah beberapa kali berkunjung ke negara di Teluk Balkan tersebut.

Di antara kunjungan kenegaraan itu, terjadi sebuah dialog legendaris yang direkam dengan baik oleh sejarahwan Serbia. “My Dear Friend Tito, jika Anda meninggal nanti, bagaimana nasib bangsa Anda?” tanya Bung Karno.

Tito menjawab bangga, “Aku memiliki tentara pemberani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami.” Setelah menjawab, Tito balas bertanya pada Bung Karno, “Bagaimana dengan negara Anda sahabatku, Dear Friend Karno?”

Bung Karno menjawab pertanyaan Tito dengan tenang, “Aku tidak khawatir, karena telah kuwariskan Pancasila sebagai jalan hidup bangsa Indonesia.”  (Islami.co)

Meski terdiri etnis yang sama, perpecahan tak terhindarkan. Dan tentu oleh perbedaan-perbedaan lain sehingga konlik pun terjadi. Tahun berkutnya (1993) Cekoslowakia juga bubar menjadi Ceko dan Slowakia. Pisah tanpa konfllik

Bercermin pada perpecahan di beberapa negara tersebut, lalu bersungguh-sungguh menyadari karakter negara kepulauan kita yang plural ini, serta kondisi kekinian yang acap memunculkan disharmoni, maka upapa-upaya pembinaan bangsa tentang nilai-nilai Pancasila kudu terus digalakkan. Tiada henti.

Kendati kondisinya baik-baik saja, kondusif, namun menjaga dan merawat persatuan dan kerukunan di masyarakat, di sekolah-sekolah, dan kampus-kampus harus dilakukan terus-menerus. Menjaga dan merawat untuk mengantisipasi konflik. Dan pembinaan kebangsaan guna memupuk rasa nasionalisme.

Pengajaran sejarah di antaranya dapat menjadi pilihan materi dalam kuliah-kuliah umum untuk memupuk rasa kebangsaan. Bagaimana Indonesia ini dibangun, bagaimana kemerdekaan ini dipertahankan, kiranya tak hanya jadi pengingat tapi juga menjadi lentera dan arah dalam menatap masa depan bangsa.

Pengungkapan sejarah nasional kita sasaran yang dtuju  adalah membangkitkan kesadaran atas keindonesian kita dan memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa. Jika rasa ini sudah benar-benar tertoreh dalam sanubari anak bangsa, maka bukan hanya buhul persatuan yang kian kuat melainkan harmonisasi pun terbangun hangat.

Tentu penyampaian materi tidak sekadar ceramah, melainkan dikemas dalam sajian visualisasi yang memikat. Atau semacam film pendek yang menyandingkan arsip – atas fakta historis-  dengan narasi yang menggambarkan perjalanan bangsa dalam olahan digital yang menarik. Dengan digitalisasi, konten materi yang sebenarnya besar dapat tersaji dalam durasi yang relatif lebih singkat. Efisien dan efektif pula.

Film pendek tentang berlaganya para atlet dalam kompetisi antarnegara  di luar negeri dalam mencapai prestasi, juga menarik. Yang biasanya ditandai dengan pengibaran merah putih dan melantunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di bidang seni budaya pun tak kalah mengharukan, ketika penari dan kesenian-kesenian tradisional kita mendapat kemenangan atau sambutan meriah di mancanegara.

Forum Kebangsaan

Selain itu, forum-forum pembauran seperti FPK- Forum Pembauran Kebangsaan dapat dibentuk  tidak hanya di kota tapi hingga tingkat kecamatan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan Pembauran Kebangsaan (FPK) di Daerah. Jika memungkinkan bisa diperluas ke tingkat desa. Sebab, ini seiring dengan pengembangan komplek-komplek perumahan hingga ke daerah perdesaan. Dan umumnya penghuni komplek perumahan dari kalangan beragam.

Soal pembinaan bangsa ini, secara struktur kita punya badan atau lembaga yang tugas dan fungsinya memang terkait pembinaan bangsa. Baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota yakni Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).

Fungsi Kesbangpol ini antara lain menyelenggaraan pembinaan dan pengembangan wawasan kebangsaan, pembauran, persatuan dan kesatuan bangsa serta politik dan demokrasi. Juga pelaksanaan dan pengkoordinasian kegiatan pembinaan dan pengembangan wawasan kebangsaan, pembauran, persatuan dan kesatuan bangsa serta politik dan demokrasi. Dan memfasilitasi penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan wawasan kebangsaan, pembauran, persatuan dan kesatuan bangsa serta politik dan demokrasi.

Kota, terutama yang merepresentasikan sebagai miniatur Indonesia yang terdiri bermacam ras, suku, agama, ormas, juga berbagai kelompok masyarakat lainnya, saya kira peran Kesbangpol ini perlu ditingkatkan. Sebagai wadah informasi dan diskusi, dapat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, atau institusi lainnya yang  memiliki peran besar dalam penyelenggaraan pengajaran di bidang strategis ini .

Bagaimana model aplikasi materi yang perlu disampaikan, modul-modul seperti apa yang diperlukan, konten apa saja yang juga sesuai dengan  konteks kekinian, serta menarik kalangan milenial, maka sebaiknya bersinergilah dengan pakar Informasi dan Teknologi (IT), serta libatkan kalangan muda. Mereka tentu tahu jawabnya. Sebab, kreativitas dan inovasi-inovasi dunia digital merupakan bagian penting dari nilai eksistensinya.

Dalam catatan Litbang Jayakarta News, Kesbangpol Banyuwangi, Jawa Timur, khususnya Bidang Ideologi, Pembauran, dan Kebangsaan ajeg tiap bulan menyelenggarakan pertemuan yang melibatkan pelbagai elemen masyarakat. Mewakili berbagai etnis, suku, agama, organisasi kepemudaan, ormas, dan lainnya.

Semua itu dimaksudkan tidak hanya menjaga persatuan namun juga membina kerukunan. Ingat peribahasa, tak kenal maka tak sayang. Setelah kenal dan ditambah kualitas pertemuan, kiranya dapat menimbulkan saling pengertian diantara sesama anak bangsa.

Rindu Tokoh Pembauran

Konflik yang belum lama terjadi di Surabaya terkait Papua, yang kemudian memantik demontrasi besar di bumi Cenderawasih, mungkin bisa dihindari kalau forum-forum pembauran itu lebih giat dan dinamis dalam beraktivitas. Acap bertemu, berdiskusi, bertukar informasi, dan mewadahi aspirasi-aspirasi.

Di tengah kemelut itu, beberapa jam kemudian, pemuda Papua beramai-ramai ziarah ke makam Gus Dur. Hal ini sangat mengharukan. Kalau Gus Dur masih hidup, mungkin mereka ingin benar-benar dirangkul oleh Bapak Pembauran itu. Mereka hanya bisa rindu dan berdoa. Dan tentunya berharap, tokoh-tokoh pembauran seperti Gus Dur selalu hadir dan ada untuk kita semua.   

Menghadapi konflik, apalagi perpecahan atas bangsa sendiri, tentu lebih rumit. Bung Karno pernah mengatakan, tugasku memperjuangkan kemerdekaan memang sulit, namun tugas kalian mengisi kemerdekaan lebih sulit karena yang dihadapi bangsa sendiri.

Terkait campur tangan asing? Hal itu perlu diwaspadai sepanjang waktu. Litbang Jayakarta News pun menyimpan imbauan Dansesko TNI Agoes Sutomo, beberapa bulan lalu, sebelum berlangsung Pemilu 2019 ini. Karena relevan dengan topik ini, maka saya nukilkan sebagian informasinya.

(Ada kekuatan asing yang mengincar Indonesia rusuh. Untuk itu mereka telah melakukan skenario secara sistematis melakukan Proxy War pelemahan Ketahanan Nasional Indonesia dari masa ke masa secara bertahap dan halus.

Melalui  Pelemahan sistem Pertahanan kita, meliputi semua bidang; ekonomi, politik, hukum, peraturan, media informasi, pergeseran watak prilaku bangsa – gaya hidup, Institusi Pemerintah, dan lainnya.

Pelemahan sistem Pertahanan ini tentu melalui Operasi Inteligent masif dan terstruktur. Masing-masing agen masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan bernegara kita. Ada yang masuk dan menjadi dosen, pengamat, pejabat publik, Institusi, dan lainnya.

Salah satu contoh, bagaimana merekayasa terjadi gejolak kerusuhan di Indonesia. Untuk menciptakan gejolak, masing-masing agen bergerak untuk menanamkan rasa: Saling benci, saling curiga, saling buruk sangka. Baik  antarsuku, antaragama, antarormas, antarulama, antarkampus,  antarparpol, dan lainnya.

Kita seolah digiring kepada satu titik yaitu perang. Sekecil apa pun masalah diperuncing dan diprovokasi. Tujuannya, menjadikan kita bangsa yang sinis,  egois, dan  anti kebersamaan. Jadi kalau ada kejadian di sekitar kita yang di luar kewajaran, itu adalah salahsatu bentuk hasil kerja para agen tersebut—nusantaranews.co.)

Maka, betapun besar tantangan ke depan, dengan terus membangun persatuan dan harmoni kerukunan, kiranya bangsa Indonesia akan sanggup menghadapi. Ingat kata-kata Bung Karno lagi; Perpecahan hanya akan menguntungkan lawan. Mari kita patri di dada kita semboyan kekinian yang relevan ini: Indonesia rumah kita! NKRI harga mati. Dan Merah Putih simbol abadi! ***

 *)  Penulis, Wartawan Jayakarta News, Peminat Sejarah

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *