Feature
Sandiwara ‘Pekaba’, Pertarungan Antar Juru Cerita dengan Tari Piring dan Silek
Jayakarta News – Dalam kebudayaan Minangkabau, Tukang Kaba adalah seorang juru cerita tradisional. Ia menyampaikan kisah bersamaan dengan memainkan alat musik perkusi (kendang, memukul meja dan nampan). Tukang kaba moderen dapat dikaitkan pada empat profesi yang populer bagi orang Minang, yaitu ulama, politisi, pedagang dan penulis.
Mereka sama-sama mensyaratkan kecerdasan berbahasa yang tinggi, hebat, lincah dan lihai. Pertunjukan sandiwara ‘Pekeba’ oleh Ranah PAC (Performing Arts Company) dari Padang di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta baru-baru ini berkisah ihwal pertarungan antar juru cerita dalam menunjukkan siapa yang paling hebat diantara mereka.
“Pemain adalah para pekeba yang saling bertarung menggunakan bahasa,” lontar Direktur Artistik Ranah PAC, S. Metron Masdison kepada penulis. Bahasa di sini dalam pengertian tidak hanya kata atau kalimat verbal. Namun bunyi yang bisa datang dari mana saja. Tubuh, perkakas sehari-hari, alat musik dll.
“Bahasa dikembalikan ke hulunya, yaitu bunyi. Berinteraksi tidak lagi sepenuhnya dengan kosakata, tetapi dengan kosabunyi dan kotagerak,” ungkap S. Metron M.
Sependapat dengan Pimpinan Produksi Ranah PAC, Fariq Alfaruqi, bahwa berbagai jenis tradisi Minangkabau pada dasarnya memiliki karakteristik sebagai sesuatu yang dalam wacana seni pertunjukan disebut seni lintas disiplin. “Pemain Pekeba selain pandai menyampaikan cerita juga harus menguasai tari piring, silek (silat) dan menyanyi,” papar Fariq.
Tidak ada pemisahan antara musik, tari atau drama. Semua menyatu. Semua unsur pertunjukan dikembangkan secara dinamis dalam formula baru. Empat pekaba adalah Vendo Olvalanda, Syahrul Huda, Roby Satria dan Afdhal Zikri sepakat berujar, karya yang dibawakan kali ini merupakan hasil riset mereka terhadap seni tradisi lisan Minangkabau seperti salawat dulang, dikia pano, gandang tambua, randai dan sampelong.
Semua unsur tradisi lisan ini diolah sehingga menjadi sebuah komposisi karya yang baru dan berbeda dari sumber asalnya. “Dulu, sandiwara ini dimainkan empat pemain pria dan seorang pemain wanita. Bayangkan, pemain wanita terus memukul-mukul meja hingga telapak tangannya memerah. Karena menikah, pemain wanita sudah tak ada lagi,” urai Vendo Olvalanda.
Ihwal memukul dan mengetuk meja, peristiwa ini berasal dari permainan domino yang acap dimainkan oleh orang Minang. “Kemudian, bunyi-bunyi pukulan itu kami eksplorasi kembali,” imbuh Vendo. Sebagaimana diutarakan oleh S.Metron M, karya ini telah banyak mengalami perubahan dan akan terus diperbarui. Sejak tahun 2014, Pekaba telah tampil di beberapa kota seperti Medan, Pekanbaru, Solo, Semarang, dan Singapura. (pik)