Connect with us

Kabar

Terorisme Ancaman Abadi

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Bicara terorisme bagi Prof (Ris) Hermawan Sulistyo alias Mas Kikiek, seperti membicarakan anak-anak asuhnya. Pakar pembunuhan politik ini ilmunya “nglotok” kalau membahas terorisme. Ada hal yang patut digarisbawahi dari penjelasannya dalam Expert Webinar “Terorisme dan Politik Takfiri”, bahwa ancaman terorisme itu langgeng (abadi).

Prof. Kikiek mengungkapkan bahwa ancaman serangan terorisme akan tetap muncul sepanjang masa. itulah sebabnya kajian dan riset terkait terorisme harus tetap dilakukan untuk mengantisipasi dan mencegah aksi terorisme, pesannya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Senin (12/4/2021).

Associates Puskmnas, Ali Asghar M.Sos menjadi pemateri, sedangkan Prof. Dr. Hariyono (Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP), Badrus Sholeh Ph.D (FISIP UIN Jakarta), Dr. Nur Iman Subono (FISIP UI) dan Mohammad Sofyan Tsauri (mantan terpidana kasus terorisme) bertindak sebagai pembahas.

“Terorisme dari tahun jebot sampai akhri jaman, ketika matahari meledak dan mati, sehingga tidak ada lagi kehidupan di bumi. Kira-kira matinya matahari 1 miliar tahun lagi,” kata Mas Kikiek.
Sejalan dengan pekembangan peradaban dan teknologi, terorisme juga mengalami perkembangam baik dari aspek modus operendi, pola teror, bahan peledak yang dipakai, kelas sosial pelaku dan motif tindakan terorisme.

Palaku teroris seriang dihubungkan dengan agama yang dianutnya, seperti Islam, sehingga kadang muncul stigma terhadap agama tertentu. Pelaku terorisme bukan hanya dari kalangan Muslim, tetapi ada juga dari kalangan Nasrani. Pada perkembangan terbaru, bahkan pelaku dapat dikatakan “melepaskan” diri dari lebel agama, seperti aksi tertorisme yang dilakukan oleh Neo Nazi di Jerman. Muncul juga pelaku yang bertindak sendiri (lone wolf). Seperti pelaku dalam serangan ke Mabes Polri, yang berangkutan tidak terkait langsung dengan jaringan/organisasi teroris, tetapi bersimpati dan mengambil ide penyerangan dari kelompok teroris.

Aksi terorisme tujuannya juga bermacam, seperti melawan rejim (ekonomi dan politik), melawan Amerika Serikat, dan tujuan-tujuan lainnya. Dalam beberapa kasus, tidakan para pelaku teror bisa memiliki dua makna sekaligus, sehingga di satu sisi kelompok itu dianggap teroris, tapi di sisi lain ada kelompok yang memujanya sebagai pahlawan.

Ancaman serangan teroris merupakan keniscayaan, bahkan di masa pandemik Covid-19 pun terjadi aksi terorisme. Bom bunuh diri di gerbang Gereja Katedral Makassar pada Minggu 28 Maret 2021 menguatkan sinyalemen ancaman terorisme di Indonesia belum akan berakhir dalam waktu dekat di masa akan datang. “Masa pandemi tampaknya justru menjadi momentum untuk konsolidasi, perekrutan dan serangan balik,” kata Ali Asghar.

Ali mencacatat, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang dideklarasikan oleh Aman Abdurrahman pada 2015, dibuat untuk mewadahi simpatisan ISIS. Kelompok ini bercita-cita hidup di bawah naungan syariat Islam dalam bentuk khilafah atau daulah Islam. Sejak dideklarasikan, JAD menebar teror di berbagai daerah. Mereka bergerak melalui sel-sel kecil yang otonom dan mandiri dalam operasi serangan teror.

Karakter serangan mematikan berupa pola bom bunuh diri keluarga (familial suicide terrorism) menjadi instrument teror yang khas dari JAD. Misalnya, Keluarga Oepariarto (Bom Surabaya 2018), Keluarga Tri Murtiono (Bom Mapolresta Surabaya 2018), Keluarga Abu Hamzah (Kota Sibolga 2019), dan Keluarga Pelaku Bom Bunuh diri Gereja Katedral Makassar 2021.

Menurut Ali, fenomena terorisme yang mengusung simbol-simbol agama seperti kemuculan gerakan JAD, merupakan kontinuitas dari ideologi politik takfiri di Indonesia. Dalam perspektif ini, ideologi takfiri merupakan manifestasi dari pemikiran politik untuk memperjuangkan kekuasan politik dan pemerintahan berdasarkan hukum Islam.

Geneologi pemikiran politik takfiri telah ada dalam tradisi sejarah Islam pada periode awal. Peristiwa konflik dalam sejarah awal Islam antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, yang melahirkan peristiwa arbitrase atau tahkim dengan menggunakan simbol-simbol agama menjadi masa di mana ideologi politik takfiri menjadi rumusan awal berkembangnya paham pemikiran takfiri dalam Islam.

“Kelompok Ali yang tidak setuju dengan peristiwa tahkim menyatakan keluar, yang kemudian disebut dengan barisan khawarij. Kelompok khawarij kemudian menganggap kelompok Ali dan Muawiyah sebagai kafir, sehingga boleh diperangi dan dibunuh karena melanggar hukum Allah dengan mengusung konsep La Hukma illa Lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah),” kata Ali.

Ideologi takfiri merupakan “anak kandung” sah dalam sejarah Islam sebagai manifestasi pemikiran politik kekuasaan dan pemerintahan untuk mencari tatanan pemerintahan yang berdasarkan hukum Islam. Ideologi takfiri mereproduksi sistem makna dalam doktrin Islam menjadi strategi aksi dalam mewujudkan agenda politik berbasis syariah. Dalam konteks ini, ideologi takfiri mencerminkan suatu pendekatan politik yang bersumber dari pemikiran khawarij. Politik takfiri merupakan suatu proses di mana ideologi takfiri menjadi strategi aksi dari agenda dan kepentingan politik untuk mewujudkan sistem pemerintahan berdasarkan hukum Islam secara totalitas.

Politik takfiri merupakan kombinasi antara konsep politik dan konsep syariah yang menjadikan Islam bukan sekedar agama ritual saja, tetapi juga politik yang ditafsirkan sebagai gagasan Khilafah atau Daulah Islam. Gerakan politik takfiri pada periode pascakolonial abad ke-20 diformulasikan kembali oleh Hasan al-Banna, Abu A’la Maududi dan Sayid Quthb dengan mengangkat retorika jihad untuk menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi. Ketiga tokoh itu menjadi sumber inspirasi konsep jihad gerakan politik takfiri seperti yang dilakukan oleh al-Qaeda, ISIS dan JAD di Indonesia.

Wakil Kepala BPIP Prof Hariyono mengharapkan kajian yang dilakukan oleh Ali lebih menukik, sehingga bukan hanya merefleksikan sejarah tetapi juga dapat menangkap setting sosiokulturalnya, sehingga menggunakan variable tidak tunggal dalam membaca soal terorisme. Bukan hanya mendalami klaim “Islam apa adanya” tetapi juga mendalami “ada apanya”, tandasnya. (sm)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *