Connect with us

Feature

Menikmati “Pusaran” dari FSP ISI Yogya dan Teater Alam, Sebagai Penonton

Published

on

Aktor-aktor senior Teater Alam dalam “Pusaran”. Dari kiri: Daning Hudoyo (Steve), Dinar Saka (Pablo), Gola Bustaman (Mitch), dan Meritz Hindra (Stanley). (foto: ikhsan bastian)
Oleh Odi Shalahuddin

A Streetcar Named Desire”, satu dari karya yang melambungkan nama pengarangnya Thomas Lainer Williams, atau lebih dikenal dengan nama Tennessee Williams. Tennessee, nama itu digunakan setelah  ia lulus dari Perguruan Tinggi, Sastra Inggris di tahun 1938. Dia tidak pernah menyukai nama lahirnya. Tennessee adalah julukan yang diberikan oleh teman sekolahnya yang tidak bisa mengingat nama panjangnya sehingga memanggilnya dengan sebutan negara asalnya.

Dua puluh lima drama panjang pernah ditulisnya. Di antaranya yang terkenal adalah “The Glass Menageria”. Sebagian besar dramanya membahas tentang kegilaan, depresi, pelecehan, kekerasan, keluarga yang rusak dan homofobia dengan mengambil tempat di Selatan yaitu New Orleans, kota yang ditinggalinya dan dianggap banyak memberi inspirasi dan kaya untuk tulisannya.

A Streetcar Named Desire”, yang penulisannya dimulai sejak tahun 1945, dan lakon ini dimainkan pertama kali di panggung Broadway pada tahun 1947, dengan sutradara Elia Kazan. Pada tahun 1951, lakon ini dijadikan film dengan skenario yang disusun oleh Tennesee Williams berkolaborasi dengan Oscar Saul dan Elia Kazan, dengan hanya perubahan kecil. Seluruh pemeran Broadway turut terlibat dalam film tersebut, kecuali Jessica Tandy yang memerankan Blanche DuBois pada panggung Broadway diganti Vivien Leigh dalam versi film-nya. Marlon Brando, untuk pertama kalinya memulai debut dalam dunia per-film-an, yang kemudian membawanya kepada ketenaran sebagai bintang. Film itu sendiri mendapatkan tiga Oscar. Sayangnya Marlon Brando yang menjadi nominasi, tidak berhasil mendapatkan Oscar.

Di Indonesia, Subagio Sastrowardojo pernah menyadur lakon ini dengan judul “Selubung Lampu” dengan memindahkan setting dan nama-nama pemainnya ke dalam nama Indonesia. Lokasi New Orlean diubah menjadi Yogyakarta. Pada tahun 1958, lakon tersebut dimainkan oleh Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada dalam peringatan Dies Natalis kedelapan UGM. Berperan sebagai Sufianah (Blanche) adalah Mariana Danusubroto.

Asrul Sani pun pernah mengadaptasi lakon tersebut menjadi drama TVRI dengan judul “Kereta Terakhir” yang dimainkan oleh Sanggar Pelakon di tahun 1970-an, dengan pemain Mutiara Sani.

Toto Sudarto Bachtiar, menerjemahkan lakon tersebut dan diberi judul “Pusaran”. Tercatat yang pernah memanggungkan lakon ini adalah Teater Lembaga pada Juli 1999 di Taman Ismail Marzuki dengan durasi waktu pementasan 3.5 jam, dengan pemain seperti Epoy S Pradipta dan Dona Harun, disutradarai Joseph Ginting. Jika tidak salah, di Yogyakarta lakon tersebut juga pernah dimainkan oleh Teater Stemka dan juga oleh Mahasiswa ISI Yogyakarta.

Sutradara Prof Dr Hj Yudiaryani, MA berfoto bersama tiga aktris teater ISI Yogyakarta yang yang berperan sebagai pelacur. Dari kiri: Favio, Dama (Eunice), dan Mega. (foto: dok Pusaran)

Kembali Dipanggungkan

Prof. Dr. Hj Yudiaryani, MA, Guru Besar Teater ISI Yogyakarta, kembali mengangkat lakon ini ke panggung. Lakon tersebut telah dipertunjukkan selama dua hari berturut-turut, 22 dan 23 Juli 2019 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, dengan durasi pementasan sekiar dua jam 40 menit.

“Tema sosial yang terjadi di Amerika tahun 1940-an, saya kira masih kontekstual dengan kondisi masyarakat Indonesia masa kini, yang sedang tumbuh sebagai negara maju. Gambaran masyarakat (kelas bawah) yang menyukai bir, café tempat rileks, pelacuran dan konflik keluarga, berdampak buruk bagi nasib perempuan yang dianggap sebagai penyakit masyarakat. Terjadi KDRT dan peminggiran hak ekonomi perempuan,” jelas Yudiaryani memberikan alasan pemilihan lakon terjemahan tersebut. Tampaknya, pilihan ini juga dipengaruhi oleh perhatian Yudiaryani terhadap persoalan-persoalan perempuan di Indonesia, yang turut disuarakan melalui media seni, teater khususnya, seperti melalui Lembaga Teater Perempuan (LTP) yang aktif bergeliat di tahun 1990-an.

Lakon realis psikologis, yang juga merupakan naskah standar, menurut Yudiaryani sangat bagus menjadi pembelajaran panggung terutama bagi mahasiswa teater. “Ada prinsip-prinsip dasar pemanggungan yang bisa diuji coba untuk lebih kontekstual.”

Pilihan naskah dari luar mendapatkan respon dari Rudolf Puspa, pegiat teater sejak tahun 1960-an yang hingga saat ini masih tidak berkurang geliatnya dalam dunia teater. Komentar yang dituliskan dalam status dari Odi Shalahuddin atas pementasan ini: “Pentas naskah-naskah Eropa lama memang bagus. Namun seiring tumbuh pemikiran bahwa Teater Inddonesia sepertinya perlu menggarap kehidupan yang sedang berlangsung di tanah air, menjadi Indonesia tentu lebih mengakar dan mengajar bangsa ini cinta tanah negerinya, dibanding menjadi “Indo”. Namun tetap salut untuk Mbak Yudi.”

Atas respon tersebut, saya sempat membaca pembelaan Yudiaryani, namun tanggapan tersebut tampaknya sudah dihapus.

Mengenai lakon terjemahan atau saduran dari luar, ini sangat mendominasi pada era awal dan kebangkitan Teater Modern di Indonesia. Beberapa kelompok yang cenderung mementaskan lakon realis dari luar di antaranya adalah Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Teater Populer, dan Studiklub Teater Bandung.

Taman Ismail Marzuki, pada tahun-tahun awal kelahirannya cenderung menampilkan lakon-lakon dari luar. Sampai ada keluhan dari seorang sutradara yang ditolak tampil di TIM setelah melakukan latihan intensif beberapa bulan lantaran naskah yang hendak dipanggungkan dianggap tidak memenuhi kriteria, yang notabene karya pengarang Indonesia.

Perkembangan kemudian, mulai berkembang wacana memberikan perhatian terhadap karya-karya dari pengarang Indonesia sendiri. Teater Kecil, misalnya, mulai tampil dengan naskah-naskahnya sendiri karya Arifin C Noer.

Dewan Kesenian Jakarta mulai menyelenggarakan sayembara penulisan naskah drama, dan pada saat bersamaan, tumbuhnya Festival Teater Remaja (sekarang bernama Festival Teater Jakarta) mewajiban peserta memanggungkan naskah-naskah dari karya pemenang sayembara. Pada konteks ini, mulailah marak pemanggungan karya-karya pengarang Indonesia. Kendati demikian, kiranya pemanggungan naskah dari luar bukanlah berarti mengabaikan pengarang dari Indonesia, dan tentunya tetap dibutuhkan sebagai bagian dari pengembangan kapasitas keaktoran dan segenap faktor-faktor pendukungnya.

Penasaran tentang pandangan dari Yudiaryani yang dihapus dari media sosial dan saya tidak sempat mencatatnya, ia kemukakan secara tertulis melalui komunikasi WA bahwa: “Begini: teater masa kini, katakanlah teater modern, tidak lagi berbicara tentang barat, timur, utara, atau selatan. Teater Indonesia adalah teater dunia dengan kekayaan budaya sumber dari mana saja. Beruntungnya, teater modern adalah garapan teater yang memberi ruang untuk perubahan, perkembangan, bahkan pelestarian seperti teater modern berbasis tradisi Jawa, Sunda, Bugis, dan sebagainya. Tidak fair rasanya kalau cita rasa perubahan kemudian dikemas dengan paradigma lama yang dikotomis.”

Selanjutnya dikatakan, “Naskah realisme tahun 50-an yang penuh kata-kata bisa digarap kontekstual dengan memasukkan unsur-unsur gerak dan lagu. Selaras dengan cita rasa penonton masa kini yang juga bisa diwadahi dalam format panggung teater modern. Sering dikatakan bahwa teater tradisi itu luwes, adaptif, dan kaya. Ternyata teater modern pun sama. Tergantung bagaimana kita memandang persoalan kebangsaan dan selera penonton masa kini. Dan skill yang kita miliki.” 

Sutradara dan para pemain “Pusaran” (foto: ikhsan bastian)

Kolaborasi Kampus dan Sanggar

Pemanggungan “Pusaran” dilaksanakan oleh Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogya berkolaborasi dengan Teater Alam, satu kelompok teater yang dapat dikatakan tertua yang masih konsisten menunjukkan geliat kreativitasnya di dunia panggung Yogyakarta.

Mengenai kolaborasi yang dilakukan, Yudiaryani menyatakan bahwa sekarang ini di Yogyakarta tengah terjadi krisis kemunculan sanggar-sanggar teater. Seniman sanggar terhambat oleh tidak adanya pimpinan sanggar yang bisa jadi panutan dan sulitnya pendanaan. Sebetulnya dua hal tersebut tidak boleh dijadikan hambatan untuk berkarya. Positifnya, sanggar-sanggar dapat lebih mandiri. Sedangkan teater di kampus, mahasiswa teater selalu menghasilkan karya untuk ujian setiap semesternya. “Kolaborasi kampus dan sanggar akan bisa menampilkan bagaimana cara berpikir dan cara menjiwai secara selaras. Ciri kampus dengan pola terstruktur bisa lebih terjiwai dengan pola kemandirian dari sanggar,” tambahnya.

Yudiaryani, sebagai sutradara, tentu menghadapi tantangan berat. Selain harus mampu menciptakan lakon berat ini ke panggung dengan permainan dan penataan yang prima sehingga menghasilkan pertunjukan yang dapat ditonton dengan nikmat dan mampu menggugah emosi para penonton, tantangan awal adalah bagaimana para pemain dapat menyatukan irama permainan mereka secara utuh dan luruh.

“Yang susah adalah menciptakan cemistry pemain tua dengan generasi milenial, antara pemain sanggar dan akademisi,” tutur Bambang Wartoyo, anggota Teater Alam, yang pada posisi pementasan ini berperan sebagai asisten sutradara.

Ditambahkan bahwa seorang aktor, artis harus punya pengalaman batin, jam terbang memadai, sehingga dia kaya dalam mengolah aktingnya. Sebagai misal, dicontohkan tentang peran Blanche DuBois sebagai tokoh protagonis yang harus dapat dimainkan secara prima, indah, dan permasalahan-permasalahan konflik batinnya dapat diperankan di atas panggung secara memukau. “Apakah tentang ini sudah dikantongi pemain?” tanya Bambang Wartoyo.

Bambang Wartoyo (Asisten Sutradara) bersama Daning Hudoyo (Steve), dan Dinar Saka (Pablo). (foto: ikhsan bastian)

Pada proses ini, menurut Bambang perlu perenungan yang dalam, para aktor harus bisa mengesampingkan permasalahan-permasalahan pribadinya. Zaman memang sudah berubah. “Dulu, dulu kalau latihan di sanggar kita bisa fokus. Tapi (saat ini) kehadiran teknologi komunikasi (HP) kadang pemain menyepelekan permainannya. Walau pemeranannya sedikit, kalau tidak memiliki persiapan, kehadirannya di panggung akan lewat begitu saja.”

Menempatkan pertunjukan ini sebagai suatu hal yang serius, Yudiaryani mempersiapkan proses latihan yang cukup panjang. Lima bulan, dengan latihan rutin tiga kali setiap seminggunya, dan satu minggu sebelum pementasan, latihan berlangsung setiap hari. Durasi pementasan selama dua jam empat puluh menit, maka dapat dibayangkan jika latihan dilakukan malam hari, biasanya baru selesai melewati tengah malam.

“Ya sempat drop… karena kalau fisik masih bisa ditahan, tapi kalau secara psikologis dan pikiran yang lelah, apalagi dengan latar belakang tokoh Blance yang harus dihidupkan,” ungkap Viola Alexsandra yang berperan sebagai tokoh protagonis, Blanche DuBois.

Kedisiplinan dan kesungguhan menjadi perhatian Yudiaryani. Ia tidak ingin para pemainnya hanya ‘bermain-main”. Ia memperhatikan secara sungguh-sungguh, teliti dan cermat, termasuk pada hal-hal yang kiranya dianggap remeh, seperti properti kecil macam topi yang dikenakan, tas/dompet dan isinya yang harus disiapkan, dan sebagainya. Ia juga mendorong komunikasi yang baik antar pemain, terutama pasangan-pasangan yang ada dalam lakon, sehingga mereka dapat bermain secara rileks, serius dan dapat menemukan kesatuan irama permainan. “

Viola Alexsandra pemeran Blanche DoBois. (foto: ikhsan bastian)

Tentang perbedaan usia yang terpaut sangat jauh dengan pasangan mainnya, dan juga pengalaman berakting, dirasakan memang menjadi masalah. “Karena beda generasi jadi susah saja menemukan keserasian berpikir. Jadi memang perlu penyesuaian,” jujur dikatakan oleh Alex, panggilan akrab Viola Alexsandra, mahasiswa ISI Yogyakarta angkatan 2016 ini.

Bambang Wartoyo berharap bahwa para pemain dari generasi milenial, khususnya mahasiswa-mahasiswi ISI ini memanfaatkan proses ini sebagai media pembelajaran bagi mereka dan dapat menimba ilmu kepada para pemain yang telah memiliki pengalaman panjang. “Mumpung sumur mereka masih ada airnya yang melimpah.”

Mengenai penyutradaraan Yudiaryani, dikatakan, “Bu Yudhi memenuhi kodratnya sebagai sutradara perempuan dengan segala pernak pernik keperempuan yang tidak bisa di ganggu gugat,” kata Alex sambil tertawa kecil.

Meritz Hindra (Stanley Kowalsky), dan Nur Alfiyah (Stella Kowalsky). Adu akting aktor Teater Alam dan Jurusan Teater, FSP ISI Yogyakarta dalam “Pusaran”. (foto: richa amalia putri)

Pementasannya

Lakon ini mengisahkan Blanche DuBois, seorang bangsawan Perancis, kehilangan rumah keluarga di Belle Reve, dengan menaiki trem bernama Desire, tiba di kota New Orleans untuk mengunjungi adiknya, Stella Kowalsky. Blanche tetap menunjukkan karakter kebangsawanannya dan menutupi situasi kehidupannya. Di sini, ia bertemu Mitch, bujang lapuk, yang ia harapkan akan menikahinya. Stanley Kowalsky, suami adiknya, membongkar masa lalu Blanche, dan Mitch pun mencari kebenaran tentang Blanche, yang kemudian membuatnya mengambil keputusan tidak jadi menikahi Blanche. Blanche yang mencoba mencari perlindungan untuk mendapatkan cinta kasih dan kedamaian, hanya mendapatkan kegagalan dan kekecewaan. Ia menjadi pemimpi dan hidup dalam kepura-puraan, yang kemudian berakhir menuju Rumah Sakit Jiwa.

Dua malam pertunjukan di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta yakni tanggal 22 dan 23 Juli 2019, saya hanya berkesempatan menyaksikannya di hari pertama, lantaran di tanggal 23 saya harus ke luar kota.

Pada pementasan ini, Yudiaryani mengakui memang tidak sepenuhnya setia pada naskah. Ada prinsip-prinsip dasar pemanggungan yang bisa diuji coba untuk lebih kontekstual. “Contohnya, di naskah realisme seperti Pusaran ini tidak ada tarian dan nyanyian. Tapi karena penonton Indonesia menyukai tari dan nyanyi maka keduanya dijadikan unsur garapan. Rasanya panggung jadi hidup. Dan itulah realisme Indonesia masa kini,” argumentasi Yudiarni yang dalam pementasan memang memadukan antara tarian dan nyanyian. Selain itu, beberapa dialog juga menggunakan istilah yang dikontekskan dalam bahasa setempat. Misalnya saja, saat berjudi, “mari kita bermain samgong,” satu permainan kartu remi yang kerap dimainkan oleh masyarakat Yogyakarta.

Secara umum pertunjukan berjalan lancar, namun terlihat ada kelambatan irama permainan di beberapa adegan pada pentas hari pertama. Roh pementasan terasa mengambang. Bagi saya ini sangat mengejutkan, mengingat saat menyaksikan Gladi Kotor dua hari sebelum pertunjukan, para pemain dapat tampil prima, dan informasi dari beberapa kawan yang menyaksikan Gladi Bersih-nya, pertunjukan sudah terlihat sempurna. Sekadar dugaan, faktor keletihan sepertinya menjadi penyebab utama. Kesan sebagai penonton saya dasarkan pada dua pertunjukan yang saya saksikan.

Pada adegan-adegan awal, tokoh Blanche yang dimainkan oleh Viola Alexsandra, tampak gagap. Grogi atau semacam demam panggung? Tapi beruntung segera berhasil diatasi olehnya. Namun pada satu adegan yang saya kira penting dalam dialog yang menunjukkan karakter Blanche, Alex seperti kehilangan fokus. Saat ia menyatakan: “Aku tidak suka realitas, aku suka keajaiban,” diucapkan terburu-buru, dan tampaknya saat ia lupa akan dialog. Selebihnya ia mampu tampil dengan baik.

Demikian pula dengan Nur Alfiyah, yang berperan sebagai Stella, saat Gladi Kotor tampil prima, saat pertunjukan kehilangan rohnya Stella. Kerap kehilangan fokus, dan yang paling menonjol, kesadaran bahwa ia tengah hamil tua, tidak tertampakkan dalam akting. Demikian pula adegan-adegan bersama suaminya Stanley Kowalsky (Meritz Hindra) yang jadinya berjarak.

Kedua pemain itu memegang peranan penting untuk menghidupkan lakon. Ketidaktepatan dapat merusak keseluruhan bangunan cerita. Namun, penilaian terhadap keduanya bukan berarti permainan mereka sangat buruk. Mereka bermain baik, namun memiliki potensi untuk lebih baik lagi. Dan pengalaman dengan lawan main yang terpaut jauh dengan kemampuan bermain model sanggar, bisa menjadi pengalaman berharga bagi peningkatan kualitas permainan mereka di masa depan.

Kelemahan menonjol yang juga tampak adalah komposisi blocking yang semula sangat ketat dan manis ditonton, banyak yang bergeser, dan berakibat pada tidak maksimalnya penempatan microphone dan juga pencahayaan dari tata lampu.    

Para pemain muda lainnya, mampu bermain baik dan kompak seperti tidak memiliki beban mental. Apakah dikarenakan lawan mainnya adalah teman-teman yang sebaya? Barangkali memang demikian. Namun menarik perhatian permainan Dama Wahyu sebagai Eunice, yang mampu mengimbangi permainan Daning Hudoyo (Steve).

Hal-hal di atas sepertinya teratasi di malam kedua. Penampilan mereka kembali prima. “Lebih tertata, pemain rilaks, karakter Blanche dan Stella yang pada hari pertama lepas di pementasan kedua sudah masuk ke dalam karakternya, irama terjaga, walau durasi bisa dipadatkan. Sayangnya Blanche pada adegan bersama Stanley kakinya terkilir waktu menaiki tangga. Sehingga jalannya agak terpincang- pincang,” tulis Bambang Wartoyo melalui komunikasi WA menanggapi pertanyaan saya.

Suasana usai pertunjukan “Pusaran” yang berlangsung dua hari, 22 – 23 Juli 2019, di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta. (foto: ikhsan bastian)

Gairah Perteateran di Yogya

Pementasan “Pusaran” memberikan kontribusi bagi geliat dan gairah kehidupan perteateran Yogya yang perlahan mulai menaik setidaknya sejak tiga tahun terakhir. Pentas kolaborasi ini juga menjadi menarik jika terus dikembangkan, sehingga terjadi proses saling belajar yang saling menguatkan antara teater di kampus dengan sanggar-sanggar atau teater independen/umum. Ruang pertemuan ini, yang sekiranya dilanjutkan melalui proses dialog atau diskusi secara kontinyu, akan memutus hambatan perkembangan teater modern.

Selamat bagi Yudiaryani, sang sutradara, Bambang Wartoyo selaku asisten sutradara, yang tentunya telah berpikir dan bekerja keras untuk memberikan performance bermutu bagi khalayak di Yogyakarta. Juga bagi R. “Memet” Chairul Slamet dengan ilustrasi musiknya dan Eko Sulkan dengan penataan cahayanya yang semakin menghidupkan lakon ini dan Palgunadi dengan propertinya yang sederhana namun mengena. Juga Dra Erlina Pantja Sulistijaningtijas, M.Hum, dengan make-up dan penataan busana yang menghidupkan karakter para pemain. Tak lupa, peran dari Naning Suningsih Tata Atmaja dan Silvia Purba yang menjadi Pimpinan Produksi tentunya berkontribusi besar bagi pementasan ini. Serta segenap pendukung yang tidak boleh diabaikan peranannya. (*)

*) Odi Shalahuddin, penulis, pemerhati teater, aktivis anak, tinggal di Yogyakarta

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *