Connect with us

Feature

Bung Karno dalam Arsitektur Drama Monumen Nasional

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Mengikuti kuliah arsitektur DR. Ir. Yuke Ardhiati secara daring, terasa kita diajak kembara ke berbagai situasi historis, khususnya terkait keilmuan dan kepemimpinan Presiden RI pertama Ir Sukarno. 

Tema yang diusung tentang “Bung Karno dan Arsitektur”. Babak-babak yang disorot setiap pekan dengan topik beragam, meliputi pelbagai dimensi kearsitekturannya. Konsep rancang bangunnya, paras keindonesiaannya, green building-nya, futuristiknya, muatan-muatan filosofinya, keunikan, dan sisi-sisi lain yang bersinggungan bahkan berpadu dengan realita kekinian. Dan tentu mimpi-mimpi serta idealismenya.

Sang arsitek dan pemimpin besar revolusi itu adalah kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia, maka kearsitekturannya pun jelas menemukan ruang yang strategis. Jakarta City Planing, Monumen Nasional, Stadion Utama GBK, di antara entitas dari pemikiran dan mimpi-mimpi Bung Karno. Ditambah talenta kesenimanan yang menonjol semakin memposisikan kepemimpinannya  memiliki daya cipta kuat. Dan karunia dari Sang Mahapencipta itu seperti sangat disadari oleh si pemilik nama.

“Saya adalah seniman yang memiliki daya cipta,“ kata Bung Karno.

Selain mahasiswa Teknik Sipil Jurusan Arsitektur Kampus Merdeka (Universitas Pancasila Jakarta), diundang pula pada pertemuan itu arsitek senior, desainer, dan beberapa perupa yang punya pengalaman, atau mengetahui hal ikhwal terkait topik yang dibahas.

Tema tentang Bung Karno dan Arsitektur ini juga berkait berkelindan dengan disertasi Yuke tentang Arsitek Sukarno dan karya-karya arsitekturnya. Bagi Yuke ini disertasi kedua dari kampus Universitas Indonesia. Disertasi pertama dari Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) dan disertasi kedua untuk gelar doktornya ini pun dari UI, Fakultas Teknik Departemen Arsitektur.

Karya disertasi arsitektur Yuke tentang arsitek Sukarno diuji pada akhir 2012, suatu disertasi yang dilandasi riset mendalam tentang sosok Sukarno. Tidak hanya terkait kearsitekturannya semata tapi bersinggungan erat dengan banyak dimensi. Termasuk kepemimpinannya yang banyak disanjung puja, baik di dalam maupun di luar negeri, hingga masa-masa jelang kejatuhannya. Karena itu nilai-nilai historisnya cukup kental.

Profesor pembimbingnya, Gunawan Tjahjono, sebagai promotor pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengakui betapa uletnya Yuke selama menempuh pendidikan Doktor di Departemen Arsitektur UI.

“Anda memiliki tekad yang sangat kuat dan keinginan belajar yang amat teruji. Meski anda telah mendapat gelar doktor dari Fakultas Sastra, sekarang Fakultas Ilmu Budaya di UI, anda memerlukan gelar tertinggi di bidang Arsitektur demi karir di bidang pendidikan tinggi. Semangat demikian seakan seirama dengan tokoh yang anda angkat dalam disertasi,“ puji guru besar itu.

Skala manusia di halaman Tugu Monas. (fok. yuke ardhiati)

Arsitektur Drama

Pada uraian metodologi dari disertasi Yuke tentang Arsitek Sukarno itu selanjutnya menjadi bagian teori arsitektur yang kemudian diajarkan kepada para mahasiswanya. Dalam bahasan kali ini Dr Yuke memaparkan peran yang begitu besar dari Bung Karno dalam Arsitektur Drama dalam Rancangan Tugu Nasional.

Dieksposnya topik itu menurut Yuke karena arsitektur masa kini juga masih menggunakan cara ini, tapi mereka tidak paham bahwa  sejak lama Arsitektur Drama itu menjadi cara arsitek untuk menggubah karya agar mengesankan.

Sebenarnya sejak th 1960 an, ada 9 analogi berarsitektur, yakni analogi matematik, analogi biologis, analogi romantik, analogi linguistik, analogi mekanik, analogi pemecahan masalah, analogi Adhocis, analogi bahasa pola, dan analogi dramaturgi.

Arsitektur Drama di Tugu Nasional, adalah cara Arsitek untuk menampilkan semua keagungan Indonesia yang puncaknya ada di R Tenang, di saat pembacaan Proklamasi oleh Bung Karno (saat itu, Bung Karno berkenan merekam suara beliau di RRl untuk Monas ini). Nah, untuk lebih dapat menikmati bangunan arsitektur drama tersebut adalah melihat ibukota negara dari puncaknya Monas. Dan tampaklah, di tahun 1960-an itu Jakarta masih lapang. Dan Tugu Monas satu-satunya bangunan tinggi menjulang di Jakarta.

Menurut Yuke, di awal tahun 60-an itu Jakarta sedang membangun Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional. Bung Karno memerintahkan agar monumen itu diselesaikan terlebih dulu. Tampaknya, ujar Yuke, Bung Karno seperti merasakan hari-harinya tidak panjang lagi. Setting situasi di kala itu dan isu-isu pemberitaan sosial politik yang terus menerpa tampaknya kian mendorong Sukarno untuk menyelesaikan monumen tersebut.

Monumen itu harus bisa diwujudkan sesuai arahannya dan ia ada kekhawatiran apabila dirinya sudah tidak ada, monumen itu akan terbengkalai. Sementara masjid Istiqlal, Bung Karno sangat optimis, tanpa keberadaan dirinya pun umat muslim yang besar di tanah air ini akan mampu menyelesaikannya.

Panggung Indonesia

Arsitektur drama dalam rancangan Tugu Nasional dinamai “Panggung Indonesia”. Analogi Dramaturgi-nya, kata Yuke bahwa bangunan itu merupakan upaya arsitek menjadikan karyanya bagaikan teater atau “panggung”. Lalu, Bangunan berperan sebagai penunjuk pergelaran, dan “panggung” semacam ini memungkinkan orang bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan petunjuk visual.

Yuke mengemukakan, Arsitektur Proyek Mercusuar Bung Karno meliputi Jakarta City Planing, Gedung Pola, Kompleks Stadion Utama Asian Game, Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, Tugu Nasional, Wisma Nusantara, Sarinah Departement Store, Planetarium, Gedung ex Conefo – Gedung  DPR/ MPR RI serta sejumlah patung monumen skala kota.

Disebut Arsitektur Mercusuar, kata Yuke, lontaran kata-kata itu merupakan sindiran jurnalis asing terhadap proyek politis Sukarno dalam upaya menggapai kedudukan Indonesia sebagai negara terkemuka di antara negara di Asia-Afrika sebagai sesama eks koloni bangsa-bangsa  Eropa.

“Panggung Indonesia” juga metafora untuk menyatakan fenomena arsitektur mercusuar yang tergelar pada “Ruang yang diagungkan di sepanjang koridor jalan utama ibukota negara di Kota Jakarta 1960-an.”

Selain itu sebagai area presentasi sekaligus representasi untuk melukiskan segala sesuatu tentang Indonesia melalui skenario artistik yang divisualkan berdasarkan kaidah-kaidah arsitektural.

Karena itu pula Menumen Nasioal merupaka “panggung Indonesia”. Upaya-upaya penggalian kekhasan Indonesia menggugah rasa keindahan ketika mengalami keruangan berupa visual auditif-ornamentik melalui pemilian lokasi, orientasi bangunan, pola keruangan, penampilan fisik, tatanan interior, warna, simbol, serta nuansa. Hal itu dipertunjukkan mulai dari Terowogan, Pelataran Tugu, Cawan Tugu, Museum Sejarah Nasional, Ruang Kemerdekaan, Badan Tugu, Pelataran Puncak Tugu dan Api Kemerdekaan. Berupa produk kesenirupaan mulai dari seni lukis, seni grafis, seni pahat, seni ukir, seni patung relief, seni logam, dan seni bangunan.

Menurut Yuke, “muatan” Panggung Indonesia pada arsitektur drama Monumen Nasional itu Memiliki keunikan dalam rancangan bentuk, Memiliki dasar filosofis, Mengungkap era kesejamanan, Mengandung konsep keindonesiaan, dan Mengungkap peran Sukarno sebagai “Arsitek”

Berdasar kriteria di atas, maka Arsitektur Mercusuar yang berperan menyerupai “Panggung Indonesia” direpresentasi oleh Arsitek di Tugu Nasional.

Sebagai kesimpulan Yuke menegaskan bahwa Tugu Nasional dihadirkan sebagai peng-Agungan ke-Indonesia-an dengan mempertunjukkan benda-benda keterkenangan bangsa Indonesia secara visual-auditif, dan ornamentik. Peran sebagai area representasi ke-Indonesiaan menyerupai “panggung” sebagai frase Panggonan kang Agung tentang ke-Indonesia-an. Dengan kata lain Tugu Nasional merepresentasi “Panggung Indonesia”

Tentu banyak yang ingin tahu siapa sebenarnya arsitek Tugu Nasional ini? Dalam paparan Yuke disebutkan adanya Sayembara Tugu Monas pertama tahun 1956, dan sayembara kedua 1960. Karya mahasiswa arsitektur ITB sebagai pemenang ketiga dan keempat Sayembara Tugu Monas yang kedua, 1960. Sedangkan karya arsitek Silaban Pemenang kedua Sayembara Tugu Monas pertama.

Dalam kebuntuan itu…. Bung Karno menugaskan dua arsitek jempolan pilihan presiden. Dari dokumen yang bisa dilihat ada sketsa  karya arsitek Silaban yang merespon penugasan Bung Karno, dan juga arsitek Soedarsono. Bung Karno di sini, kata Yuke, jelas banyak berperan. Dari awal hingga akhir dan detailnya. “Termasuk mencarikan dananya juga,“ ucap Yuke

Dalam memoar arsitek Soedarsono di antaranya tercantum bahwa arsitek Dr Ir Soekarno, dan executive architect Soedarsono.

(dok yuke ardhiati)

Untuk Ibukota Baru

Dalam sesi diskusi bertema Bung Karno dan Arsitektur ini, ada pertanyaan menarik dari mahasiswa yang ternyata banyak pula yang tertarik serta mengagumi ide-ide Bung Karno. Bagaimana kita bisa melanjutkan ide-ide Bung Kano untuk kita terapkan dalam kota metropolitan baru (di Kalimantan) dengan konsep arsitektur drama tersebut?

Berkaryalah dan publish. Demikian inti jawaban Yuke Ardhiati. Dan, ujarya lagi, kita mungkin hari ini belum bisa ketemu pemegang keputusan di ibukota baru. Tapi dengan karya kita, karya tugas akhir kita yang berkenaan dengan ibukota baru, kita bisa terus berkarya. Lakukan itu. Lalu karya itu kita publish di dunia maya yang sangat luas ini.

Oleh pihak museum, karya-karya digital itu bisa diarsipkan sehingga dapat diakses oleh pemegang keputusan, dan itu sangat berguna. Karena setiap entry nama, setiap entry karya bisa sampai ke pemegang keputusan, ujar Yuke.

Dan tentu, kita pun harus percaya, bahwa karya yang bagus, karya arsitektur yang kaya nilai, akan menemukan vibrasinya dan “sampai”, mewujud. Apalagi mencerminkan keindonesiaan dan manifestasi nilai-nilai keagungan lain alam semesta.

Bahan Pengayaan          

Direncanakan kuliah daring dari Kampus Merdeka tentang Bung Karno dan Arsitektur ini hingga 15 kali pertemuan dengan topik yang berbeda-beda. Namun semua bermuara pada kisi-kisi karya arsitektur di suatu tempat yang diharapkan menjadi bahan pengayaan dalam mewujudkan karya-karya arsitektur. Yang dimungkinkan terpadu dengan konsep-konsep arsitektur kontemporer. Dan konsep dasar dari arsitektur era Bung Karno kemudian kita ramu dengan cara kreatif dalam mengelaborasi tentang ke-Indonesia-an dalam era kekinian. (iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *