Connect with us

Feature

Bung Karno dan Arsitektur Hijau Dua Istana

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Mendekati suatu “karya yang hidup”, dan tertanam kuat pesan yang diemban, serta bertabur nilai kesemestaan, maka karya itu seakan menjadi subyek yang mampu berdialog dengan kedirian kita. Lalu antara kita dan subyek karya itu seperti ada keterhubungan magnet untuk menyatakan mengapa karya itu harus dibicarakan.

Nuansa batin ini yang saya tangkap ketika Dr Ir Yuke Ardhiati memaparkan materi “Green Architecture dalam Rancangan Dua Istana”. Istana Batu Tulis di Bogor dan Istana Tampak Siring, Bali. Buah pemikiran holistik arsitek Sukarno, Presiden RI pertama mengenai green architecture.

Kiranya bukan hanya perlu keberanian untuk mendekati, dan membincangkan karya semacam itu.  Dan bukan pula bertumpuknya referensi guna menganalisanya, namun adanya ketersambungan getaran frekuensi  antara “subyek” karya dan subyek yang secara intens mendekati dan membahasnya.

Green architecture (arsitektur hijau) itu telah mewujud puluhan tahun silam, dan tidak hanya kasat mata, tapi juga harmonisasi kehijauan alam itu berpadu dengan lingkungan sekitar. Membawa aura sejuk, damai, dan anasir- anasir lain yang mengitari  bangunan maupun halaman, taman,   dan termasuk “hawa” yang hanya bisa dirasakan. Dinikmati. Kata-kata seakan tak cukup mewakili efek yang terhampar.

Lewat gambar/ foto yang terlihat, mungkin secara sepontan anda pun akan  berkata, “Woouu, ini benar-benar zero carbon. Nyaman. Adem,”. Gayuhan harapan atas mimpi-mimpi memadukan keserasian alam dan bangunan  itu, jauh waktu silam sudah tergelar. Utamanya di dua istana tersebut di atas. Sebelum advokasi masalah lingkungan hijau dan zero carbon didengung-dengungkan para aktivis lingkungan dunia.

Sang arsitek itu adalah Bung Karno, yang sadar bahwa dirinya dilahirkan untuk menjadi arsitek.  Dan ternyata, bukan hanya arsitek bangunan, namun juga arsitek bagi pembangunan bangsanya. Nation and character building salah satu program membangun bangsa. Saat Indonesia baru medeka, character building menjadi progam prioritas.

Pemaparan topik “Arsitektur Hijau dalam Rangcangan Dua Istana” tersebut disampaikan arsitek Yuke Ardhiati, pengajar di Kampus Merdeka dalam kuliah daring. Semacam kuliah umum karena Program Kuliah Merdeka ini diikuti selain mahasisawa program S2 dan S3 studi arsitektur Universitas Pancasila dan Universitas Trisakti Jakarta, diundang pula arsitek senior, desainer, dan perupa yang punya pengalaman atau pengetahuan terkait topik yang dibahas.

Bangunan Ramah Lingkungan

Menurut Yuke, green building merupakan sebuah konsep perencanaan bangunan yang mengutamakan kehidupan lebih baik bagi generasi mendatang terkait kelestarian alam, kesehatan, dan sosial. Ini dinamakan pula Bangunan Ramah Lingkungan, dirumuskan tolok ukur, dan perhitungan OTVVV serta sertifikasi greenship.

Terdapat 4 efisiensi yang kita peroleh jika suatu bangunan menerapkan sistem green building; meliputi pertama, Efisiensi Desain Struktur. Pemilihan desain struktur pendukung mulai dari pelaksanaan hingga penggunaan demi mengurangi pemborosan.

Kedua, Efisiensi Energi, merancang penghematan energi sehari-hari, aliran udara dan sinar matahari hingga sisi operasional. Diperlukan pengetahuan dan efisiensi energi listrik. Ketiga, Efisiensi Air, rancangan yang mengutamakan sumber air serta pengelolaan yang ramah lingkungan. Adanya tandon air penadah hujan, sumur resapan, dan sebagainya. Keempat, Efisiensi Material, pemilihan material yang tepat guna

Istana Batu Tulis Hing Puri Bima Sakti.

Hing Puri Bima Sakti

Hing Puri Bima Sakti, atau sering disebut Istana Batu Tulis, terletak sekitar 2 km dari istana Bogor, berada di Jalan Batu Tulis, Kelurahan Batu Tulis, Bogor Selatan. Ini merupakan rumah peristirahatan Bung Karno. Putra Sang Fajar ini pernah berwasiat agar kelak apabila telah wafat dimakamkan di lingkungan istana tersebut.

Yuke menyebutnya itu sebagai Rumah Ideologis Bung Karno. Mengutip apa yang dikemukakan Edhi Sunarso, pematung yang karyanya disukai Bung Karno, di istana pribadi, Hing Puri Bima Sakti itu  merupakan embrio, angan-angan atau pemikiran atas dibentuknya 27 provisi di Indonesia.

Di sana tidak hanya ditemukan kori ukir gaya Jawa dan Bali namun berbagai tinggalan bernuansa Indonesia, selain koleksi patung dari mancanegara

Seperti terhampar dengan perhitungan kosmologi, dan perhitungan lain-lain atas berputarnya bumi, serta padma pemikiran yang terilhami, sehingga tampaklah bangunan dan lingkungan itu sangat harmoni.

Yuke menyebutkan, hamoninya itu jika dielaborasi, tampak mulai dari pemilihan lokasi, konsep perancangan arsitektur, pembangunan, hingga wasiat yang belum terkabul untuk disemayamkan di sana, di kawasan Istana ini.

Di relokasi tahun 1950-an, di Ex. Situs sakral Keraton Sri Baduga Maharaja Siliwangi, merupakan  tanah ex permukiman  yang luasnya sekitar  4.450 m2  ditambah beberapa kavling menjadi 25.582 m2. Dibangun tahun 1965.

Dalam membahas arsitek Sukarno, tak bisa lepas dari  situasi lain yang melingkupi  dirinya sebagai Presiden dan  situasi sosial politik di zamannya.

Hing Puri Bima Sakti ini, kata Yuke merupakan tempat pengasingan pertama Bung Karno sampai tahun 1967, sebelum  beliau  dipindah ke Wisma Yaso, di Jakarta.

Menyoroti seputar lansekap di sana, Yuke mengemukakan, terdapat  serumpun patung bernuansa Hindu bertabur bersama patung-patung realis gaya Eropa, diseling patung realis karya Edhi Sunarso, Anak Bermain Air dan replika patung si Denok memberi salam, karya Trubus.

Bung Karno menginginkan sebuah Rumah Pesanggrahan di sekitar Bogor untuk tetirah dan menerima tamu selain di Istana Bogor

Hing Puri Bima Sakti sebuah mimpi Bung Karno tentang hasrat ke-Indonesia-an yang digubah holistik terhadap ekosistem alamnya

Di Pendopo berpilar beton dengan aksen padma itu terpajang seperangkat gamelan Jawa dan koleksi foto dan cindera mata koleksi Bung Karno dari seantero jagad.

Harmoni

Suatu hamparan alam sesuai kodratinya sudah memiliki keseimbangan dan harmonisasi. Memapras/ memotong bukit misalnya, bagi pecinta lingkungan sama dengan memasang bom waktu. Menguruk sungai tak ubahnya menanam ranjau. Kodrati keberadaan alam itulah yang tampak dijaga dalam mewujudkan suatu bangunan. Kalau istilah Doni Monardo, Kepala BNPB (2019-2021), Kita jaga alam, alam jaga kita. 

Maka di sana di lingkungan Hing Puri Bima Sakti, kata Yuke tampaklah lahan dibiarkan berundak, aroma tanah, deras aliran sungai, kabut Gunung Salak, dipadu sepilihan artefak, memikat inderawi. Memikat rasa aura magis. Flora dan fauna kuno dibiarkan menjalar, generasi satwa liar masih bisa ditemukan. 

“Ini bukan sebuah kultus, tapi kawasan yang bersandar konsep eko arsitektur,“ ujar Yuke..

Istana Tampak Siring, Bali.

Tampak Siring

Ikhwal Istana Tampak Siring, Yuke Ardhiati berkata, jangan pernah berharap menemukan arsitektur tradisional khas Bali secara holistik di Tampak Siring.

Bali memuliakan arah gunung (kaja) sebagai yang utama dan laut (kelod) sebagai nista. Namun, pakem-pakem tradisional itu tidak ditemukan di petilasan Presiden Soekarno di Tampak Siring ini. Mengapa?

Melalui sebuah kompas, orientasi bangunan induk Wisma Merdeka Bangunan termasuk lay-out ex. Ruang tidur Bung Karno, mata Kompas menunjuk ke arah Timur, dapat ditafsirkan jejak orientasi yang dinutnya!

Orientasi Utara-Selatan sebagai axis bangunan Wisma Merdeka. Artinya, Sang Presiden menggunakan Kosmologi Jawa ber axis Utara-Selatan sekalipun merancang Istana yang berlokasi di Bali (1960-an).

Menurut Yuke, Bung Karno tidak menerapkan konsep-konsep arsitektur Bali secara holistik. Bung Karno memuliakan kesatuan Indonesia secara lintas etnis dan budaya melalui konsep keheningan dan kasunyatan. Di era itu Organic Architecture karya Frank Llyod Wright sedang marak. Namun pada saat itu (1960-an) soal Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tatacara bangunan pemerintahan belum ada. Baru tahun 1974 Perda itu dibuat.

Tanpa disadari, pengaruh konsep Dewa Raja masih membelit pemikiran Bung Karno. Tersublim pada sebutan Paduka Jang Mulia oleh rakyat biasa, sebutan Nan NDalem oleh Ibu Hartini kepada Bung Karno.

Istana tersebut terhampar di area 25 ha di ex. Situs Raja Gianyar Sri Maya Denawa di ketinggian 600 m di atas muka laut bersanding dengan Pura Tirta Empul, Pura Mangening, dan Pura Gunung Kawi memantapkan sebagai lokasi sempurna bagi sebuah Istana Presiden di Bali.

Jembatan simbol persahabatan di Komplek Istana Tampak Siring, Bali.

Simbolik Jembatan Persahabatan

Kepala Negara Asing yang pernah bertandang ke Istana Tampak Siring antara lain; Presiden Joseph Broz Tito dari Yugoslavia, Presiden Ho Chi Minh (Vietnam), Perdana Menteri Jawaharlal Nehru (India), Perdana Menteri Khruschev dari Uni Sovyet,  Ratu Belanda Juliana, dan  Kaisar Hirohito dari Jepang.

Simbolik menyatu dengan rakyat juga terejawantah di area istana ini.

Bung Karno melapangkan jalan rakyat Bali untuk menyumpit air minum Setyo Turi dekat Tirta Empul, juga iring-iringan Upacara Adat Piodalan dan upacara adat yang melintas Istana sambil menyunggi persembahan.

Ditambahkan Yuke, pada sekitar 1950-an didirikan 4 kelompok besar bangunan, meliputi

(a) Wisma Merdeka seluas 1.200 m2 (1957)

Bangunan peristirahatan Presiden Soekarno.

(b) Wisma Negara seluas 1.482 m2 (1963) diperuntukkan bagi Tamu-Tamu Kepala Negara Asing

(c ) Wisma Yudistira (1957) fasilitas tamu setingkat Menteri

(d) Wisma Bima (1963) diperuntukkan Paspampres. (iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *