Connect with us

Feature

Buah Berkah Warga Ujung Meriah

Published

on

Mangga Toba asal Desa Ujung Meriah, Kecamatan Pematang Silima Huta, Kabupaten Simalungun dari petani Enchon Sialoho. (Foto: Monang Sitohang)

Jayakarta News – Anda suka mangga? Jika suka, lengkapi pengalaman menyantap mangga dengan mangga yang satu ini. Ini adalah mangga istimewa yang tumbuh tak jauh dari Danau Toba. Begitu istimewa, sampai-sampai kita akan percaya kalau buah ini adalah santapan para dewa.

Mangga atau mempelam memiliki nama latin Mangifera Indica yang berasal dari India. Konon, mangga telah menyebar ke Asia Tenggara sejak 1500 tahun silam, termasuk di Indonesia. Tak heran jika di setiap daerah memiliki pohon mangga dengan aneka macam. Mangga menjadi ciri atau identitas daerah. Contohnya mangga Indramayu yang kesohor.

Nah, ini tentang mangga khas Toba yang merebak di Desa Ujung Meriah, Kecamatan Pematang Silima Huta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Orang menyebutnya dengan nama “mangga toba”. Sebagian masyarakat menamakannya “mangga udang”.

Mangga ini memiliki ukuran kecil jika dibandingkan mangga harum manis, mangga golek, dan beberapa jenis mangga bongsor lain. Sekilas, bentuk buahnya memang bungkuk melingkar seperti udang. Ciri khas lain adalah warnanya yang kuning kilat bersih, nyaris tidak ada bintik atau noda pada penampan kulitnya.

Bagaimana dengan rasanya? Jauh dari rasa asem. Baru membayangkan saja mulut sudah penuh liur…. Rasa mangga ini sangat manis, bahkan sangat-sangat manis. Dagingnya berserat tetapi sangat-sangat lembut. Bisa jadi, zaman dahulu mangga toba ini adalah mangga santapan para dewa, Dewa Triniti atau Debata Natolu. Tiga dewa yang dipercaya masyarakat Batak tua sebagai leluhurnya.

Buah ini bergelantungan di pohon dengan aneka ukuran. Berkeliling Desa Ujung Meriah, pohon mangga toba ada yang berdiameter kecil, ada pula yang berdiameter besar. Ada yang tinggi beberapa meter, tetapi ada pula yang tingginya puluhan meter. Pada jenis pohon yang sudah sangat besar, dedaunan yang rindang sangat meneduhkan. Beberapa pohon dipercaya berusia sangat tua, ratusan tahun!

Ratusan tahun? Mungkin mitos. Sebab, lazimnya umur pohon mangga berbilang puluhan tahun. Tapi bukankah ini pohon mangga santapan para dewa? Boleh jadi usia ratusan tahun bukan mitos. Tapi lebih afdol, biar ahli botani (botanist) yang mengurus soal itu.

Yang jelas, buah mangga toba ini istimewa. Bukan saja rasanya yang super manis, tetapi juga jarang kita jumpai mangga toba dalam keadaan busuk. Penasaran dengan fenomena itu, sampai akhirnya seorang warga memberi alasan. Katanya, pohon-pohon mangga toba di daerahnya tidak tumbuh begitu saja. Ia ditanam dan dirawat. “Bahkan sejak tumbuh putik bunga, kami melakukan penyemprotan,” ujar Encon Sihaloho (51), salah seorang petani mangga toba di Ujung Meriah.

Encon Sihaloho, Kepala Desa Ujung Meriah yang juga petani buah mangga. (Foto: Monang Sitohang)
 Pohon Mangga Toba (Udang) di Desa Ujung Meriah. (Foto: Monang Sitohang)

Diakui, sikap masyarakat yang memperlakukan khusus tanaman mangga toba ini juga bukan sikap yang bersifat turun-temurun. Kalaupun dulu pernah ada tradisi merawat mangga, percayalah, tradisi itu sudah terpenggal untuk sekian lama. Sebab, yang ada di memori Enchon Sialoho, dulu mangga-mangga itu tumbuh liar, dan tidak mendapat perhatian khusus warga.

Dulu, pohon mangga tidak dianggap sebagai pohon istimewa, sehingga tidak ada perlakuan khusus. Sebagai pohon yang masuk kategori biasa, maka sikap warga juga biasa-biasa saja. Misalnya, mengonsumsi buahnya manakala sudah matang. Menebangnya, ketika pohon sudah tua. Perlakuan-perlakuan yang biasa saja.

“Seingat saya pohon mangga ini mulai diperhatikan warga sekitar tahun 1989. Saya ingat karena itu tahun pernikahan saya,” jelas Enchon Sihaloho, yang tidak lama lagi akan dilantik menjadi Kepala Desa (Kades) Desa Ujung Meriah.

Waktu perawatan hingga panen sekitar empat bulan. Selama empat bulan itu, pemilik pohon mangga toba akan melakukan penyemprotan dan perawatan. Dengan begitu, mangga toba bisa kinclong, bersih, mulus tanpa bercak sedikit pun. Lebih dari segalanya, berkat perawatan itu pula, mangga toba tidak ada yang berulat.

Kini, Enchon Sihaloho bukan saja petani mangga dengan 30 pohon. Ia juga pengepul hasil panen warga desanya. Ihwal kapan musim panen mangga, Enchon tidak bisa memastikan. Satu hal yang pasti, jika dulu buah mangga hanya berbuah setahun sekali, sekarang bisa dua kali dalam setahun. “Hanya saja, kita tidak bisa memastikan di bulan berapa,” tambahnya.

Mangga toba dijual Rp 10.000 per kilogram. Harga itu memang menjadi bervariasi tergantung prinsip ekonomi suplly and demand. Pasar mangga toba ada di Kabupaten Tanah Karo, Simalungun, dan sejumlah daerah lain.

Buah mangga toba benar-benar buah berkah bagi warga Ujung Meriah. Betapa tidak, satu petani mangga dengan 30 pohon, bisa memanen hingga 1 ton. Itu jika semua pohon berbuah pada saat yang sama. Jika pun tidak berbuah di saat yang sama, paling sedikit petani bisa beroleh 400 kg sampai 700 kg. “Jadi bagi kami, buah mangga ini benar-benar pohon penolong warga, yang bisa membantu para orang tua membiayai sekolah dan menutup kebutuhan rumah,” tambah Enchon Sihaloho.

Baiklah kalau begitu.

Buah mangga hasil panen dari Desa Ujung Meriah di tempat penampungan Enchon Sihaloho. (Foto: Monang Sitohang)

Beralih ke testimoni. Benarkah lidah penulis sama dengan lidah orang kebanyakan?

Seseorang bernama M.C. Fajar yang datang dari Medan ke Ujung Meriah, saat ditanya rasa buah mangga toba, spontan mengacungkan ibu jari dan berucap keras, “Mantul!” Yang dia maksud, mantap-betul.

Masih belum selesai testimoninya. “Warna kulit kilat bersih. Saya makan beberapa buah, tak satu pun yang busuk. Matangnya pas. Mantul…. Mantul….,” tambah Fajar tak henti-henti memuji rasa manis buah mangga toba.

Testimoni berikutnya dari Yusnidar, seorang mahasiswa Komunikasi, FISIP Universitas Malikussaleh (Unimal), Aceh Utara. Kebetulan, ia tengah Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sekitar Toba. Mengomentari rasa mangga toba, Yusnidar mengatakan, “Enak, manis sekali. Dijamin makan satu, pengen nambah satu lagi. Rasanya berbeda dengan mangga yang lain. Ini enak, khas, dan… mau lagi.” (Monang Sitohang)