Connect with us

Feature

Suluk Mangir di Plataran Djoko Pekik

Published

on

Jayakarta News – Plataran Djoko Pekik di Bangunjiwo, Kasihan, Bantul – Yogyakarta meriah di Minggu pagi 10 November 2019. Hari itu, berlangsung gladen (latihan) “Wisuda Pembayun Duta” dari tafsir Naskah “Mangir” karya Pramoedya Ananta Toer.

Acara yang diprakarsai Mukhammad “Boy” Rifai itu, dibuka dengan “suluk Mangir”. Lazimnya, suluk dipakai oleh seorang dalang, ketika membuka adegan dalam pertunjukan wayang kulit. Lantunan suluk dalang, bisa berisi petuah, mantra, atau puji-pujian.

Mbah Boy, panggilan akrab pengelola Watulumbung Culture Resort itu, menampilkan suluk yang berbeda. Thoraq Band dengan vokalis lady rocker Picuk Siwi Asmara melantunkan suluk Mangir dalam hantkan musik cadas. Edan memang…..

Lady rocker Picuk Siwi Asmara melantunkan suluk Mangir dengan iringan Thoraq Band. (foto: roso daras)

Setelah itu, gladen dimulai dengan menggelar latihan babak per babak. “Naskah Mangir ini disiapkan oleh dua kelompok, yakni Padepokan Mangir, Watulumbung dan dari Solo. Gladen ini menampilkan yang dari kelompok Solo,” ujar Mbah Boy pagi itu.

Sejumlah penari putri dan penari putra, melantunkan tarian indah, dengan iringan Orkestra Gamelan pimpinan Dedek Wahyudi dari Solo. Dengan racikan koreografi yang yahud, lahirlah gerak-gerak dinamis yang sangat indah dan menyenangkan mata. Ditambah, bonus usia muda para penarinya.

Para penari pendukung “Pembayun Duto”, tafsir atas naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. (foto: totok buchori)

Sebelumnya, Asisten Sutradara ST Wiyono yang sehari-hari berperan sebagai sutradara untuk kelompok Solo, menjelaskan proses latihan Mangir hingga sesi gladen pagi hari itu. Sutradara utama Mangir, teaterawan senior Meritz Hindra tampak mengamati dengan serius.

Karya drama Pramoedya Ananta Toer ini, oleh Mbah Boy ditafsir untuk kepentingan pertunjukan yang lebih menarik. Karenanya, naskah Mangir pun disajikan dengan kolaborasi musik (pentatonis-diatonis), tari, dan teater. “Saya menyebutnya sebagai sebuah rekreasi. Artinya, membuat ulang, re-kreasi. Makanya, pementasan ini saya kasih judul ‘Pembayun Duta’,” ujar Boy.

Peran sentral Pembayun, putri sulung Raja Mataram Panembahan Senopati, sejatinya sangat menarik. Sebagai putri raja, ia disuruh ayahanda untuk menunjukkan baktinya bagi bumi Mataram, yang dalam rongrongan Ki Ageng Mangir alias Wonoboyo. Sebagai penguasa tanah perdikan, Mangir menolak tunduk pada apa pun ketentuan yang diberlakukan Panembahan Senopati.

Putri Pembayun pun melakoni tugas ayahandanya. Singkat kata, ia bahkan kemudian diperistri oleh Wonoboyo, hingga mengandung benih keturunan Wonoboyo. Pembayun terjebak pada dua cinta yang sama-sama berat. Cinta terhadap ayahanda termasuk bumi Mataram, dan cinta kepada suami. Peperangan batin terjadi, ketika tiba waktunya bagi Pembayun untuk menghadapkan Mangir ke hadapan Senopati, musuh sekaligus ayah mertuanya.

“Mbah Boy” Rifai (tengah) bersama Djoko Pekik dan Meritz Hindra. (foto: totok buchori)

“Naskah Mangir karya Pramoedia Ananta Toer ini adalah naskah berat. Itu alasan mengapa kami mere-kreasi Mangir menjadi Pembayun Duta. Dengan re-kreasi, kami merasa bebas mengeksplorasi Mangir serta menafsir sesuai kebutuhan pertunjukan,” tambah Boy Rifai.

Pentas “Pembayun Duta” atau Mangir ini akan digelar di Watulumbung, 31 Desember 2019, sebagai pemungkas tahun sekaligus pembuka tahun baru. “Tempat terbatas. Tapi jangan khawatir, kami akan bekerjasama dengan sejumlah broadcast untuk siaran langsung. Di samping, live streaming official Mangir. Para peminat di seluruh dunia bisa menyaksikan pertunjukan spektakuler ini melalui televisi dan streaming,” tambahnya. (roso daras)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *