Connect with us

Feature

Perusahaan Platform Lakukan Fungsi Mata-mata

Published

on

Agus Sudibyo, meluncurkan buku “Jagat Digital”. (foto: iswati)

Jayakarta News – Rahasia-rahasia apa yang masih kita miliki jika semua data pribadi bangsa ini sudah terekspos? Atau arah ke lokasi strategis mana, dan instalasi apa yang belum terakses di negara kita ini jika semua peta jalan sudah dalam kontrol hegemoni perusahaan besar pemilik platform?

Itulah pertanyaan yang muncul setelah paparan para komentator pada acara peluncuran buku Jagat Digital, Pembebasan dan Penguasaan, Selasa (17/9) lalu di Jakarta. Buku yang membahas tentang dunia digital yang pertama dalam bahasa Indonesia ini ditulis Agus Sudibyo, doktor lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. 

Penggunaan teknologi digital di satu sisi diakui menawarkan nilai-nilai positif, misalnya dalam bidang ekonomi memberikan dampak bangkitnya industri kreatif, serta banyak memberikan kemudahan lainnya. Namun di sisi lain juga menimbulkan kerawanan dan cenderung merupakan bentuk penjajahan di era modern ini.

Agus Sudibyo yang juga anggota Dewan Pers mengajak masyarakat agar tidak sekadar menjadi pengguna teknologi digital, melainkan juga mampu melihat persoalan yang mengiringi perkembangannya. “Yang hendak kita dorong adalah bagaimana kita berpikiran strategis dengan digitalisasi ini,“ kata Agus. “Lalu di mana posisi kita, dan sejauh mana daya tawar kita sebagai bangsa,“ lanjutnya lagi.

Dijelaskan, dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia, 150 juta di antaranya pengguna internet. Dan digitalisasi bukan hanya persoalan teknologi, atau pun bisnis, tapi juga merupakan persoalan poltik, bahkan geo politik.

Keberadaan Google, Facebook, dan Amazon pernah dipersoalkan di Eropa. Di sisi lain, perusahaan platform ini juga memiliki fungsi mata-mata atau fungsi intelijen. “Dan yang melakukan fungsi ini bukan negara maupun lembaga, tapi perusahaan trans-nasional. Dalam aras itulah dimana posisi kita?“ tegas alumnus Ilmu Komunikasi Fisipol UGM ini.

Internet atau jagat digital yang mengontrol dunia ini, katanya, hanya dikuasai lima perusahaan (the big five) yakni; Google, FB, Amazon, Microsoft, dan Apple. Sedangkan di Asia Pasific yang kini harus diwaspadai adalah perkembangan Alibaba, Baidu, dan Tencent.

Menurut Agus, sebutan media sosial (medsos) ini sesuatu yang paradok, seperti instagram, youtube. Itu institusi bisnis. Kata sosial itu membuat kita lupa, padahal itu perusahaan media, jadi antara sosial dan bisnis seperti campur aduk. Apalagi kalau sudah bicara hoax, itu sudah bercampur pula dengan ketidakberadaban yang kemudian menjadi epidemi di banyak negara.

Tentang realitas ini, Agus tampak mempertanyakan aras hubungan antara perusahaan platform dan penerbit media, baik cetak maupun online. Lalu televisi, youtube juga dianggap sebagai mitra kerja sekaligus kompeteter dari perusahaan media massa jurnalistik.

Di sini  terjadi iklan bisnis yang timpang, yang tentunya dirasakan banyak media seperti Kompas TV, Media Indonesia, Tempo dan lainnya. Perusahaan media jurnalistik tersebut tentu saja dikenakan pajak oleh pemerintah kita. Selain itu jika memberitakan  hal-hal atau peristiwa yang salah dipersoalkan ke Dewan Pers, KPI –  berdasarkan UU yang berlaku. Sementara perusahaan yang menyebarkannya tidak bertanggung jawab. “Isi di luar tanggung jawab kami,“ begitulah.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dalam sambutannya juga menggarisbawahi realitas perkembangan teknologi digital. Di satu sisi dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi, seperti lahirnya unicorn-unicorn, marketplace, e-commerce.

Unicorn besar seperti Gojek mampu membuka lapangan kerja yang cukup besar, juga mendorong impulsi keuangan serta membuka peluang share ekonomi dengan usaha-usaha ikutannya. Namun terkait pajak terhadap pemilik platform tersebut akan ada penaltinya. Dan terkait persoalan strategis lainnya Rudiantara mengatakan bahwa pemerintah terus mengupayakan regulasinya.

Saat ini dilakukan revisi PP No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Ini terkait kewajiban penempatan data center dan disaster recovery center di wilayah Indonesia. Perubahan dilakukan karena kewajiban penempatan fisik data center dan data recovery center tidak sesuai tujuannya. Alasannya menjamin data bukan sekadar fisik. “Jika harus dengan UU terlalu lama, kita tahu cukup lama prosesnya membuat UU itu,“ ungkap Rudiantara.

Terhadap Yandex, platform terbesar setelah Google, perusahaan internet milik Rusia, akan diakuisisi jika beroperasi di Indonesia. “Investasinya harus melibatkan pengusaha lokal (Indonesia),“ kata menteri.

Pemutakhiran data juga dibenahi. Terhadap perusahaan platform Menteri Kominfo menyarankan agar tidak perlu meminta data yang macam-macam terhadap pengguna, cukup mencantumkan nomor ponselnya saja. Karena semua pemakai ponsel datanya sudah teregistrasi.

Rossiana Silalahi, Pemimpin Redaksi Kompas TV dalam tanggapannya merasa galau atas keberadaan perusahaan-perusahaan platform tersebut. Mengomentari terbitnya buku Jagat Digital, ia mengatakan, mereka (perusahaan platform) meraup keuntungan besar dari operasional di negara kita, tapi tidak bertanggung jawab atas apa yang disebarkannya seperti hoax dan konten negatif lainnya. “Kita yang dapat (porsi iklan) kecil ini masih harus bayar pajak. Jadi (dalam persaingan antarmedia) kita ini hanya berebut receh,“ katanya.

Selain Rossi, tampil pula sebagai penanggap buku tersebut Ninok Leksono Pemred Harian Kompas,  M. Noeh Ketua Dewan Pers, Yose Rizal CEO & Founder Politicawave, Bambang Harymurti Komisaris Tempo Group. Peluncuran buku ini dimeriahkan pula oleh penyanyi keroncong asal Solo Endah Laras. (Iswati)

Agus Sudibyo dan Endah Laras. (foto: iswati)
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *