Connect with us

Feature

Cokelat Pelanduk

Published

on

Aneka kemasan cokelat Sulteng. (foto: jto)

Jayakarta News – Gerainya di Bandara Mutiara Sis Al-Jufri terlalu kecil. Dan agak tersembunyi. Itulah Cokelat Sulteng. Ibarat pelanduk di antara gajah-gajah.

Harusnya gerai itu menempati posisi paling strategis dengan ukuran lebih besar. Biar semua pengguna jasa Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Palu bisa langsung tahu: Sulteng punya produk cokelat dengan merk lokal.

Saya pun menyempatkan waktu menengok gerai yang belum buka itu. Ada banyak produk coklat olahan di gerai itu. Dipajang di beberapa rak dan lemari display.

Beberapa bahkan sangat khas. Eksklusif. Belum ada saingannya. Misalnya: spicy ? chocolate ?. Coklat rasa pedas. Saya menebak dari bungkusnya, yang bergambar lombok.

Saya sudah kenal Cokelat Sulteng sejak bertugas di Palu tahun 1993 – 1999. Dulu, brand cokelat ini sering memasang iklan di koran “Mercusuar” yang saya pimpin.

Cokelat produksi Sulteng dalam kemasan kekinian. (foto: jto)

Namun saat itu desain kemasannya masih sederhana. Berbeda 180 derajat dengan desain kemasannya saat ini. Yang saya lihat di Bandara Mutiara Sis Al-Jufri.

Desainnya sekarang sangat modern. Tidak kalah dengan desain kemasan coklat merk asing. Tapi tetap menampilkan konsep grafis seni tradisional Sulawesi Tengah. Lihat foto-fotonya.

Tiba-tiba saya dengar bisik-bisik seorang perempuan saat menaiki eskalator menuju boarding room di lantai 2. “Memang ada  pabrik cokelat di Sulteng?” tanya perempuan muda itu kepada kawannya.

“Gak tahu saya,” jawab orang yang ditanya.

Saya sebenarnya ingin menjawab. Tapi urung. Takut dikira mau tahu urusan orang.

Sebenarnya tidak istimewa kalau Sulteng punya pabrik cokelat. Apalagi cuma satu. Harusnya Sulteng punya banyak pabrik cokelat. Macam-macam merek.

Mengapa? Karena Sulteng merupakan salah satu daerah penghasil biji kakao terpenting di Indonesia.

Tengoklah sesekali ke daerah eks transmigrasi di Parigi Moutong. Yang sekarang sudah berkembang menjadi Kabupaten.  Atau ke arah Poso.

Di sanalah sentra perkebunan kakao Sulteng yang terkenal itu. Perkebunan itu diurus para transmigran asal Jawa, Lombok, dan Bali. Sejak dekade 80-an.

Dulu, jalur darat antara Parigi dengan Palu sepanjang 45 Km sangat sulit. Lewat daerah Kebun Kopi dengan jalanan kecil dan berbahaya. Biji kakao dikirim ke pabrik coklat di seluruh dunia melalui pelabuhan di Sulawesi Selatan. Yang jaraknya ratusan kilometer. Tapi jalanannya mulus.

Makassar akhirnya lebih dikenal sebagai pusat perdagangan kakao. Meski sebagian besar kakaonya ber-KTP Sulteng. (joko intarto)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement