Feature
Mana Lebih Keramat: 30 September atau 1 Oktober?
Jayakarta News – Gerakan 1 Oktober atau disebut Gestok, menyisakan banyak catatan di lubuk bangsa Indonesia. Tragedi “kudeta merayap” yang acap disebut dengan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI), itu adalah tragedi politik sekaligus tragedi kemanusiaan. Bahkan, berdampak pada lengsernya Presiden Sukarno.
Tujuh pahlawan revolusi menjadi korban Lubang Buaya. Rentetan kejadian selanjutnya adalah aksi pembunuhan massal kepada warga negara yang dicap sebagai komunis. Demi mengenang peristiwa bersejarah itulah, Situs Ndalem Pojok Persada Sukarno, Kediri menggelar rangkaian acara Doa Bersama – Selamatan – dan Diskusi Kebangsaan untuk segenap Pahlawan Revolusi.
Kegiatan tersebut dihelat Selasa 1 Oktober 2019 di Pendopo Situs Ndalem Pojok Persada Sukarno, Ds. Pojok, Kec. Wates Kabupaten Kediri. “Penulisan sejarah, pemahaman sejarah kadang memang harus direkonstruksi. Tetapi khusus kasus 30 S/PKI atau Gestok sangat tidak mudah. Salah jalan bisa mengakibatkan perang saudara,” ujar Kushartono, Ketua DPC PCTA (Persaudaraan Cinta Tanah Air) Indonesia, Kediri.
Kushartono yang sehari-hari mengelola Situs Ndalem Pojok Kediri menambahkan, perbedaan persepsi inilah yang dihawatirkan oleh TNI/Polri. Itu pula yang menimbulkan kesan, seolah-olah mereka sangat resisten terhadap isu ini.
“Bagi kami sebelum merekonstruksi G-30-S/PKI atau Gestok, yang paling awal harus direkonstruksi adalah kesadaran berbangsa dan bernergara. Rekontruksi kesadaran berbangsa pasti tidak ada yang mudah. Tapi juga tidak sulit, jika Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa menyertai kita,” imbuhnya.
Ia prihatin, puluhan tahun pasca meninggalnya Pahlawan Revolusi 1 Oktober, bangsa ini nyaris abai bahkan cenderung melupakan. Salah satu indikasinya, nyaris tidak ada ritual “selametan”. “Padahal Bapak Bangsa kita berpesan Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan sampai kita menjadi generasi yang durhaka dan meninggalkan sejarah,” tandas Kushartono.
Ia pun berharap, dengan diselenggarakannya doa dan selamatan ini, bangsa dan negara serta pemerintah segera menuntaskan segala persoalan yang menjadi ekses peristiwa Gestok tersebut. Jika kita berhasil lulus uji, niscaya kita menjadi bangsa yang luhur, negara yang adil makmur, damai sejahtera. Indonesia Raya.
Contoh kecil yang mutlak harus menjadi kesepakatan bangsa adalah perihal tanggal 30 September dan 1 Oktober. Benarkah penetapan tanggal 30 September sebagai hari duka nasional sehingga kita wajib mengibarkan bendera setengah tiang? Bukankah meninggalnya 7 pahlawan revolusi pada tanggal 1 Oktober 1965? Dus, hari duka nasional selayaknya diperingati tanggal 1 Oktober atau tetap 30 September?
Jika kesepakatan itu sudah terjadi, niscaya peringatan tanggal keramat tadi bisa menjadi acuan budaya bagi masyarakat. Salah satunya adalah tradisi leluhur yang masih hidup di tengah masyarakat. Dalam keyakinan tradisi Jawa misalnya, pada saat hari orang tua kita meninggal dunia atau kakek/nenek kita meninggal dunia ada pantangan-pantangan. Dalam istilah Jawa pantangan atau hari nahas ini disebut geblakke (saat meninggalnya) bapak/ibu, kakek/nenek.
Ada sejumlah pantangan yang tidak boleh dilakukan di hari nahas itu. Di antaranya, larangan mengadakan pernikahan, larangan mendirikan rumah, larangan bepergian jauh, larangan mengadakan pesta, dan lain-lain.
Konsekuensi dari pelanggaran atas larangan tersebut, dipercaya bisa mengakibatkan risiko-risiko yang tidak diinginkan. Nah, jika pantangan-pantangan itu dilanggar tidak hanya oleh satu keluarga, melainkan oleh satu bangsa, bukankah wajar jika ada kekhawatiran bangsa ini akan menerima konsekuensi dari larangan tradisi itu? Atas dasar pemikiran (kehawatiran) ini panitia menggelar acara tersebut.
Yang juga hadir sebagai pembicara dan menyampaikan buah-buah pemikiran dalam diskusi itu adalah Ketua LESBUMI PCNU Kediri, Abu Mushlich. (*/rr)