Connect with us

Kabar

Intrusi dari berbagai ideologi ‘kacaukan’ arah Darul Islam

Published

on

MEULABOH, JAYAKARTA NEWS – Semenjak SM Kartosoewirjo di tahun 1962, perkembangan gerakan Darul Islam  semakin hari semakin mendapatkan intrusi dari berbagai pengaruh ideologi yang datang belakangan di Indonesia, khususnya Wahabi Takfiri, Wahabi Jihadi dan Syiah.

Hal itu dikemukakan  Al Chaidar Abdurrahman Puteh, dosen Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh saat menyampaikan  Keynote Speech pada acara 3rd Dirundeng Internasional Conference on Islamic Studies (DICIS) di STAIN Teungku Dirundeng, Meulaboh, Aceh Barat, Kamis (29/9/2022).  

Pengamat terorisme itu menyampaikan pandangannya dari hasil kajian  etnografis untuk disertasinya yang dilakukan  sejak  1990 hingga  2022. Studinya mencoba untuk memotret  tentang kelompok gerakan politik Islam yang telah lama muncul dalam sejarah negara Indonesia.

Dia melihat,  sejak tahun 1979, Darul Islam menjadi  gerakan yang tidak percaya diri. Sebagai gerakan malah sering terombang-ambing oleh pengaruh ideologi transnasional dari Timur Tengah. “Namun dari semua intrusi itu, terdapat komunitas-komunitas atau enclave yang masih menjaga kemurnian idealismenya secara teguh dan tersembunyi.  Merekalah yang melanjutkan “kapal” negara Islam ini dalam “sekoci-sekoci kecil” faksional,” jelas Al Chaidar.

Menurutnya, faksi-faksi inilah yang kemudian mulai membangkitkan lagi elan vital Darul Islam ke seluruh Indonesia atau merevitalisasi daerah basis yang sempat kehilangan audiensnya di wilayah-wilayah seperti Aceh, Jawa Barat, Padang, Bukit Tinggi, Labuhan Batu, Riau, Jambi, Palembang, Lampung, Menado, Toraja, kendari, Buton, Flores dan Tual.

Masalahnya,  karena intrusi dari Wahabi Takfiri banyak faksi-faksi Darul Islam ini yang kemudian terjerembab dalam terorisme dan mengubah perjuangan yang lurus (just), justru  menjadi pergerakan yang penuh intrik, penuh rahasia, penuh konspirasi, operasi-operasi bawah tanah dan bersembunyi di kegelapan peradaban yang mengakibatkan Darul Islam semakin kehilangan audiensnya dalam upayanya mengakumulasi kedaulatan (sovereignty).

Dia mengemukakan, intrusi Syiah tahun 1979 hingga era 1980-an, telah  memecah gerakan ini dan pembunuhan serta bom meledak di beberapa kota; korban-korban berjatuhan bersamaan dengan ditangkapnya beberapa tokoh-tokoh aktivisnya.

Dalam perkembangan berikutnya, kemudian datang intrusi lain dari ideologi Wahabi. Syiah dan wahabi sama-sama bersifat takfiri yang bersikap keras terhadap sesama muslim yang tak sejalan meskipun sama-sama membaca syahadat yang sama dan menghadap ke kiblat yang sama.

“Gerakan millenarian yang aslinya adalah gerakan Islam yang sangat Indonesia kemudian menjadi gerakan yang tampak seram dan menakutkan namun loyo ketika berhadapan dengan siksaan ekonomi setelah tertangkap oleh aparat keamanan karena terjerembab ke lembah terorisme yang sangat nista. Beberapa bom meledak, beberapa anggota sekte Jamaah Islamiyyah merayakan perpindahan nyawa mereka ke surga dan yakin bahwa mereka masuk ke surga dan “melihat” para pengebom bunuh diri itu sedang diseka oleh bidadari yang selalu virgin,” paparnya.

Beberapa faksi asli Darul Islam mengembangkan sikap millenarian dengan respon-respon mesianik yang menarik ketika berhadapan dengan komunitas harakah (pergerakan) yang lain yang mengklaim diri lebih lurus dan lebih sesuai dengan ajaran Islam dan berasal dari ideologi transnasional di Timur Tengah. NII atau Darul Islam yang masih bertahan hingga kini mendapatkan serangan-serangan teologis yang serius dari kalangan Wahabi Salafi dan juga Syiah, jelasnya.

Di sisi lain, banyak ilmuwan luput melihat klaim-klaim historis kalangan Darul Islam karena alasan-alasan etic dan positivistik, bukan melihat keyakinan mereka secara emic. Dari sejak awal, Darul Islam tidak terlibat dalam terorisme, meskipun pola pikir orang-orang dalam gerakan ini radikal, namun mereka tidak bisa menghalalkan segala cara (terorisme) untuk mendapatkan kekuasaan.

“Ada restrain etis dan konstrain dogmatis yang membatasi ruang gerakan mereka agar tidak melanggar moral politik pergerakannya. Maka, dakwah dan propaganda Darul Islam direstriksi oleh berbagai stigma yang mengakibatkan mereka tak mendapatkan audiens yang lebih luas. Apalagi mereka mengelola organisasi negara secara amatiran, secara seremonial, eklesiastikal dan pseudobirokratik,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan, banyak pecahan Darul Islam yang tidak sabar dan kemudian terjerumus ke lembah terorisme seperti Jamaah Islamiyyah, Jamaah Ansharu Tauhid, Ring Banten atau bahkan terjerumus ke lembah euphemisme seperti Khilafatul Muslimin yang tidak lagi menggunakan bendera Darul Islam atau NII. Beberapa faksi Darul Islam sebenarnya sudah mendirikan organisasi baru (seperti JI, JAT, Khilafatul Muslimin) yang sudah melepaskan dirinya dari ikatan ke organisasi awal sehingga apapun yang mereka lakukan tidak lagi bisa mengatasnamakan Darul Islam.

“Tidak pernah seorang pun yang memiliki keahlian managerial dan teknikal yang profesional mengurus organisasi negara yang pernah besar di tahun-tahun 1950an ini. Kini malah sebagian besar faksi Darul Islam saling mengklaim secara inward-looking, semacam involusi yang menyebabkan mereka tak pernah berkembang,” paparnya. (sm)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *