Connect with us

Feature

Integritas Auditor, Peran Kunci BPK Berantas Korupsi

Published

on

Jayakarta News – Korupsi ibarat narkoba. Sama-sama jahat. Sama-sama menyengsarakan. Sama-sama sulit diberantas. Dan yang pasti, sama-sama perbuatan melawan hukum. Hukum dunia, pun akhirat.

Bukan kebetulan, jika dua jenis kejahatan itu bahkan sudah ada jauh sebelum peradaban modern ini tergelar. “Hukum jangan mencuri” misalnya, termasuk dalam Hukum Dekalog atau Sepuluh Perintah Allah yang disampaikan zaman Nabi Musa, sekitar 3000-an tahun lalu.

Hukum ini mengindikasikan terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan harus ada aturan ketat bagi umat. Artinya, saat itu pun terjadi pencurian yang mengakibatkan keluarnya larangan tegas: Jangan Mencuri.  

Masuk Tahun Masehi, dalam Injil ada kisah koruptor yang terkenal, Yudas Iskariot. Dia  adalah sang bendahara, pemegang keuangan dalam tim pelayanan Yesus. Dengan jelas Injil mengatakan, bahwa dia seorang pencuri; ia sering mengambil uang dalam kas yang dipegangnya.

Yudas diberi kuasa dan wewenang untuk mengelola uang kas, namun dia tamak. Ia menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang sehingga dia menjadi seorang koruptor di zamannya. Walaupun saat itu belum ada kata “korupsi” atau “koruptor”, kisah ini membuktikan, korupsi adalah praktik kejahatan yang sudah ada sejak zaman baheula.

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptus. Artinya, buruk, busuk, ketidakjujuran, dapat disuap dan tidak bermoral. Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ”Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.  

Korupsi di Indonesia

Di Indonesia, korupsi telah ada semenjak zaman penjajahan. Bahkan mungkin sudah ada juga di zaman kerajaan-kerajaan. Ia berkembang hingga masa kemerdekaan, orde lama, orde baru, bahkan di era reformasi hingga kini. Kasus korupsi tak pernah berhenti. Selalu saja ada di tiap perjalanan waktu.

Ir. Djuni Thamrin, M.Sc. Ph.D

“Akar budaya korupsi telah ada sejak zaman kerajaan di Nusantara,” ujar Ir. Djuni Thamrin, M.Sc. Ph.D, Kepala Lembaga Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Publikasi (LPPMP) Universitas Bhayangkara Jaya kepada Jayakarta News melalui pesan WA.

Menurut Pengajar S3 pada Ilmu Kepolisian STIK dan dosen senior di FE Universitas Bhayangkara ini, akar budaya tradisi korupsi terkonstruksi karena didorong motif meraih kekuasaan dengan berbagai cara, mendapatkan kekayaan dengan cara curang dan tidak adil, dan bermain wanita yang tidak sah. “Yang sebenarnya sangat dilarang dalam setiap agama di Indonesia. Orang awam lebih mengenal dengan 3 TA (tahta, harta dan wanita),” ujar Djuni Thamrin.  

Ia memberikan contoh mengenai tulisan Thomas Stamford Raffles. Gubernur Jenderal Inggris dalam masa penjajahannya di Jawa pada kurun waktu 1811-1816,  pernah menulis buku the history of Java. Raffles melakukan pengamatan yang tajam atas dimensi kebudayaan masyarakat Jawa yang pasrah dan nrimo pada kondisi sosial, ekonomi dan politik merupakan lahan yang subur tumbuhnya budaya korupsi, karena tidak adanya sanksi sosial yang kuat.

Masyarakat yang tidak terus terang, menyembunyikan persoalan, mengambil kesempatan kala orang lain tidak tahu, bangsawan yang gemar menumpuk harta, banyak memelihara ‘selir’ dan budak serta suka mencari muka pada majikan ataupun atasan adalah lahan subur bagi praktek korupsi ketika itu. Budaya malu, tidak menghargai waktu dan penghargaan terhadap kemanusiaan sangat tipis.   

“Dalam the history of Java, peperangan perebutan kekuasaan di masa kerajaan di Nusantara, umumnya dimulai dari tindakan korupsi baik yang terjadi dalam kalangan internal kerajaan maupun tindakan koruptif para penguasa kerajaan terhadap rakyatnya,” lanjut Djuni.  Kehancuran kerajaan-kerajaan besar di Nusantara (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.

Dalam kalangan elite kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihormati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat.

Sriwijaya berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Balaputra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang Paregreg) sepeninggal Maha Patih Gadjah Mada.

Perbuatan kejahatan yang terus berulang ini, akibat peninggalan sejarah panjang yang tidak demokratis dan cenderung tertutup. “Maka masyarakat lebih toleran terhadap praktik-praktik korupsi di sekitarnya. Bahkan, tanpa sengaja masyarakat ikut melestarikan secara berulang,” tandas Djuni Thamrin

Ia mencontohkan, dalam urusan publik seperti mengurus administrasi kependudukan yang rumit dan memerlukan waktu panjang karena struktur birokrasi yang berbelit, masyarakat cenderung mengambil jalan pintas dengan memberikan sogokan pada petugas, untuk mempercepat dan mempermudah prosesnya. Untuk masuk sekolah unggulan, tidak sedikit orang tua melakukan korupsi agar anaknya diterima.

Proses yang membuat praktik korupsi terus berlangsung adalah ketertutupan akses informasi dan proses yang tidak transparan. Karenanya, semua aspek yang menyangkut pelayanan publik harus dibuat jelas, transparan, terukur dan akuntabel.

Upaya Membenahi Korupsi

Istilah korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Melihat perkembangan peraturan pemberantasan korupsi harusnya ini merupakan cerminan niat yang kuat untuk meminimalkan tindak kejahatan ini.  

Mengenai hal ini, Djuni menjelaskan, setidaknya ada tiga dimensi besar yang harus segera dibenahi agar korupsi di Indonesia dapat ditekan sampai pada tingkat yang paling minimalis.  Yaitu: (1) membongkar kembali dimensi kultur yang hidup dalam masyarakat dan (2) membenahi dimensi struktural pengawasan dalam sistem pemerintahan, mulai dari pemerintah Pusat sampai daerah; dan (3) meninjau ulang sanksi hukuman bagi para koruptor di Indonesia, agar ada efek jeranya.

Dimensi kultural harus mengalami perbaikan gradual melalui sistem pendidikan, pemberdayaan etika dan budaya dalam masyarakat yang selama ini cenderung tidak demokratis. Sebagian masyarakat mau mendapat perlakuan khusus, mau menang dan enak sendiri, tidak tertib, tidak transparan dan cenderung untuk tidak mau menegakan pertanggungjawaban (akuntabilitas) pada publik atas apa yang sudah dilakukan.

Dimensi Struktural dan Mekanisme Pengawasan dalam kepemerintahan merupakan dimensi lain yang dapat mempengaruhi tingkat korupsi dan  fraud di Indonesia. Korupsi merupakan kategori fraud yakni menyalahgunakan kewenangan atau kepercayaan dengan melakukan tindakan yang melanggar ketentuan hukum dan regulasi untuk memperoleh manfaat langsung atau tidak langsung bagi pelaku (pemperkaya diri sendiri atau orang lain).

Tahun 2020 ini ranking Indonesia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) berada pada posisi 85 dari 180 negara, dengan skor 40 dari skala 0 (terburuk) sampai 100 (terbaik). Sementara jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh KPK ternyata menurun, menurut ICW mencatat tren penindakan kasus korupsi pada 2019 menurun bila dibandingkan 2018. Dari 454 kasus yang ditangani menjadi 271 kasus.

Menurut Djuni, meningkatnya ataupun menurunnya kasus korupsi yang dapat ditangkap oleh penegak hukum (KPK, Polisi ataupun Kejaksaan) sebenarnya bukan merupakan prestasi dalam penegakan hukum.  Seharusnya semakin kecil pengungkapan kasus dan semakin sedikit praktek korupsi, baru dapat dikatakan keberhasilan negara dalam mengalokasikan anggran pembangunannya secara efektif dan efisien.

Negara mempunyai APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah) yang terdiri dari BPKP, Inspektorat dalam masing-masing tingkatan mulai dari Kementerian, Provinsi dan Kabupaten/kota yang mempunyai fungsi pengawasan intern mulai dari proses audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi kepemerintahan yang menggunakan uang negara sesuai dengan indikator pengawasan ketat yang telah ditetapkan. Sementara auditor eksternal diperankan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI.

Dijelaskannya, BPK dapat memanfaatkan hasil pengawasan APIP terutama dari hasil reviu atas laporan keuangan pemerintah, mendukung manajemen pemerintah daerah dalam pelaksanaan rekomendasi BPK dan perbaikan sistem pengendalian internal. APIP yang profesional dan independen mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan yang dapat meningkatkan kewajaran laporan keuangan.

Jadi, mekanisme pengawasan alokasi dan penggunaan keuangan negara telah sangat ketat dan berlapis. Pertanyaannya kenapa masih ada saja kebocoran dan korupsi yang dilakukan ataupun melibatkan aparat negara? Ia menjelaskan, korupsi yang sekarang sedang berlangsung tidak lagi korupsi karena aspek pelanggaran prosudural maupun administrasi yang mudah dilacak, tetapi semua tindakan di luar daripada proyek ataupun program pemerintah secara langsung.

Misalnya melakukan manipulasi harga ataupun pencurian dana proyek secara langsung. Tetapi semua tindakan di luar projek secara tidak langsung dengan menggunakan pengaruh ataupun wewenang untuk mendapatkan dana yang tidak langsung pada penyelenggaraan proyek itu sendiri. 

Konflik kepentingan (conflict of interest) merupakan faktor yang dapat mendorong pelaku untuk menyalahgunakan kewenangan atau kepercayaan bagi kepentingan pribadi atau pihak lain secara melanggar hukum misalnya kecurangan  tidak langsung dalam penentuan lelang, skema pembelian (pengadaan barang dan jasa), suap (bribery), pemberian ilegal (illegal gratuity), sampai pada pemerasan (extortion) ataupun ancaman untuk tidak mendapat proyek lagi.

Dalam terminologinya disebut sebagai fraud, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan karena dapat dituntut. Sehingga jalan keluarnya adalah membuat semua proses penentuan dan alokasi anggaran pemerintah harus dibuat transparan yang dapat diakses oleh publik secara luas

Dimensi ketiga adalah meninjau ulang sanksi hukuman, yakni merupakan proses yang membuat jera untuk para koruptor. Sanksi hukuman yang ada dalam sistem pengadilan di Indonesia sangat tidak membuat jera pelaku korupsi. Bahkan, koruptor dapat melakukan perhitungan “untung-rugi” sebelum melakukan tindak korupsi. Sehingga sanksi berupa pemiskinan dimana semua aset koruptor seluruhnya disita oleh negara sehingga tidak ada satupun yang tersisa, akan membuat jera praktik korupsi, termasuk harta yang telah dikumpulkan sebelum melakukan tindakan korupsi.

Hukuman penjara badan tidak membuat jera. Sanksi hukuman selain pemiskinan, sita habis semua aset koruptor dan sanksi sosial-politik dimana para koruptor tidak boleh mengikuti semua kesempatan untuk menjadi pejabat publik kembali di semua tingkatan dan tidak boleh mengikuti lelang semua projek dengan dana negara, tentu akan membuat praktik korupsi menjadi minimalis.

Prof. Dr. Haryono Umar, Ak, MSc, CA

Sementara itu,  Prof. Dr. Haryono Umar, Ak, MSc, CA, menjelaskan bahwa korupsi merupakan salah satu bentuk kecurangan atau fraud. Dalam bukunya yang berjudul “Corruption The Devil” menyatakan korupsi merupakan salah satu bentuk penyelewengn (fraud) bersama-sama dengan penyalahgunaan asset (misappropriation of assets) dan rekayasa/manipulasi pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting).

Apabila tindakan penyelewengan tersebut terjadi di sektor publik, maka hanya ada satu saja kategori yakni korupsi, Artinya penyalahgunaan asset dan rekayasa/manipulasi pelaporan keuangan merupakan bentuk-bentuk (delik) korupsi.

Salah satu komponen strategi pembersih korupsi menurut Haryono dalam tulisannya Peran Akuntan dalam Pemberantasan Korupsi adalah dengan kegiatan audit.

Di Indonesia, satu-satunya lembaga yang bertugas melakukan kegiatan audit Laporan Keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Melihat Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan disebutkan  bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Peran BPK dalam 15 tahun terakhir ini bisa dilihat dari rekomendasi yang diberikannya. Ada  560.521 rekomendasi yang diberikan BPK agar dapat mendorong pemerintah, BUMN/BUMD dan badan lainnya bekerja lebih tertib, hemat, efisien, dan efektif.

Dari seluruh rekomendasi tersebut, sebanyak 416.680 rekomendasi (74,3%) telah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi. Secara kumulatif sampai dengan 2019, rekomendasi BPK atas hasil pemeriksaan periode tahun 2005 sampai dengan 2019 telah ditindaklanjuti entitas dengan penyerahan aset dan/atau penyetoran uang ke kasnegara/ daerah/ perusahaan sebesar Rp106,13 triliun.  Hal ini diungkap Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna saat menyerahkan Ikhtisar  Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019 kepada Ketua DPR dalam Sidang Paripurna DPR di  Jakarta pada 5 Mei 2020.

Peran Audit BPK

Ada sejumlah Undang-undang (UU) yang menjadi dasar hukum BPK dalam melaksanakan tugas memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara. Yaitu, ada Pasal 23 Bab VIII UUD 1945), Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1973, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Bab VIII A Pasal 23 E, Pasal 23 F, dan Pasal 23 G, Undang-undang  Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK (pengganti UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang BPK), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.  Secara lengkap semua UU tersebut bisa diakses melalui link https://jakarta.bpk.go.id/?page_id=35

Hal yang paling baru sebagai hasil dari audit BPK adalah dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019. BPK mengungkap 4.094 temuan yang memuat 5.480 permasalahan dalam pemeriksaan BPK di semester II tahun 2019. Di antaranya, 1.725 (31%) permasalahan ketidakpatuhan sebesar Rp6,25 triliun.  Ikhtisar ini memuat ringkasan hasil pemeriksaan BPK dalam periode 1 Juli 2019 sampai dengan 31 Desember 2019.  Dalam IHPS II Tahun 2019 ini juga diungkap tentang permasalah kelemahan sistem pengendalian intern yakni 971 (18%),  serta 2.784 (51%) permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp1,35 triliun.  Selain itu, terhadap permasalahan ketidakpatuhan yang dapat mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan, pada saat pemeriksaan, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp449,45 miliar (7%). (Jayakarta News: BPK Temukan Masalah Ketidakpatuhan Sebesar Rp6,25 Triliun).

Dalam melaksanakan perannya itu, menurut Haryono, faktor manusia sangat dominan. “Di sini peran manusia sangat dominan,” ujar mantan pimpinan KPK  2007-2011 ini kepada Jayakarta News  melalui pesan ponsel. Ia menjelaskan bahwa ada lima  unsur yang disebut Fraud Star, yaitu penyebab terjadinya korupsi. Adanya kesempatan, tekanan, pembenaran, kekuasaan dan kehilangan integritas (lack of integrity). Dari kelima penyebab itu, faktor penyebab utama perilaku koruptif di Indonesia adalah hancurnya integritas. 

Rahim Purba, SE, MS.i

Rahima Purba, dosen S1 Akuntansi  di Universitas Pembangunan Pancabudi Medan juga menjelaskan bahwa audit mempunyai peran yang sangat penting dalam mengurangi korupsi. “Sebab peran audit adalah memberikan keyakinan bahwa semua berjalan sesuai komitmen yang telah ditetapkan.

Audit juga memberikan feed back mengenai apakah perencanaan periode mendatang dapat dilakukan berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan atas pelaksanaan kegiatan periode sebelumnya. Audit yang dilakukan dapat mendorong perwujudan tujuan bernegara dengan parameter kunci adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Berkaitan dengan BPK, Rahima menjelaskan kepada Jayakarta News, audit dapat berperan dalam mewujudkan akuntabilitas pemerintah. Akuntabilitas merupakan salah satu pilar dari Good Governance. “Auditor atau pemeriksa harus memastikan apakah pengelolaan keuangan negara telah dilaksanakan oleh para pimpinan instansi pemerintah dari tingkatan tertinggi sampai pada strata yang paling teknis. Sebab setiap instansi pemerintah wajib melakukannya secara efisien, efektif, ekonomis, profesional, berkeadilan dan memenuhi azas kepatutan,” tulisnya.

BPK di seluruh dunia harus mengikut kerangka pemikiran “The Accountability Organization Maturity Model” dimana BPK itu adalah oversight untuk mendorong transparansi, akuntabilitas, meningkatkan ekonomis, efisiensi, efektifitas daripada suatu kegiatan.  Jadi apabila didalam pemeriksaan itu ditemukan kecurangan/fraud maka otomatis pemberantasan korupsi merupakan bagian mutlak dan utama untuk setiap audit untuk melihat oversight ini.

Dengan demikian, BPK memiliki kontribusi signifikan terhadap pemberantasan korupsi karena BPK berwenang menghitung, menilai, dan/atau menetapkan kerugian negara dalam penggunaan anggaran oleh suatu entitas. Sesuai amanat UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Temuan BPK yang mengandung indikasi pidana dilaporkan kepada aparat penegak hukum, yaitu Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian.

Salah satu satuan kerja di BPK yang sering bersinergi dengan aparat penegak hukum adalah Auditorat Utama Investigasi (AUI). Satuan kerja khusus yang dibentuk sejak November 2016 ini bertugas melaksanakan pemeriksaan investigatif atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, perhitungan kerugian kerugian negara (PKN), serta pemberian keterangan ahli (PKA). Laporan keuangan BPK ini terdiri dari audit terhadap laporan keuangan saja, audit atas  pengendalian internal, dan audit kepatuhan.

Sebagai satu-satunya lembaga yang berperan dalam audit Laporan Keuangan, maka Haryono menyatakan, Integritas sangat penting untuk mencegah perilaku koruptif seseorang. “Walaupun ada kesempatan, ditekan, ada kewenangan sehingga mudah melakukan pembenaran, namun karena dia yakin itu suatu hal yang tidak baik, maka dia tidak akan tergoda. Sebagai eksternal auditor, peran BPK sangat penting untuk meyakinkan bahwa pengelolaan keuangan negara sesuai dengan ketentuan.”

Terkait fungsi dan perannya yang pertama yaitu sebagai pemeriksa, dapat dipastikan BPK harus memeriksa tanpa pengaruh pihak mana pun. Sebab seorang pemeriksa harus mempunyai sikap independensi. Sikap ini harus dibarengi integritas yang menurut Rahmi meliputi fisik, mental/spiritual, dan sosial.  

“Ketiga hal ini menjadi sebuah elemen yang kokoh dalam setiap kita bertindak. Menurut saya, integritas itu adalah takwa, yaitu selalu bertindak sesuai perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika seseorang melakukan hal-hal buruk untuk menguntungkan dirinya sehingga menimbulkan kerugian negara dan berakibat orang tersebut melakukan perlawanan hukum, maka hal ini sudah disebut kehilangan integritas. Orang tersebut sudah hilang akal demi keuntungan tersebut. Apalagi jika orang tersebut juga memiliki power/kekuasaan yang besar, maka dia akan semena-mena dalam bertindak selama dia berkuasa,” urainya.

Kebetulan, Rahima Purba juga sedang menyusun Disertasi : Pengaruh Kualitas Audit dan Independensi Auditor terhadap Kualitas Hasil Audit melalui Deteksi Korupsi, dengan Komitmen Manajemen sebagai Variabel Pemoderasi pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Tak heran jika ia begitu antusias berbicara topik peran BPK dalam ikut serta memberantas korupsi dari negeri ini.

Audit BPK yang efektif, diyakininya bisa mengurangi korupsi. Apalagi, jika didukung sinergi dengan APH (Aparat Penegak Hukum), maka peran BPK mengawal harta negara bisa menjadi maksimal, ditambah integritas sang auditor. Auditor yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (melva tobing)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *