Connect with us

Feature

Rustamadji, Akademisi Nilai dari Sorong

Published

on

Serpihan surga yang jatuh di Katulistiwa. Begitulah orang-orang memandang Papua. Ironisnya, warga di pulau paling timur yang alamnya bagai nirwana itu, tak pernah sepi masalah. Salah satunya Suku Kokoda.

Kokoda suku  asli Papua. Mereka biasa berpindah-pindah, tak punya rumah dan tanah, tak kenal sekolah, tak memiliki tempat ibadah, dan hidup serba susah. Tapi itu dulu, zaman ketika Rustamadji bersama Muhammadiyah belum datang menjamah. Kini, kisah pilu tersebut cukup berada di ranah catatan sejarah. Kehidupan Suku Kokoda Warmon telah berubah.    

Adalah Dr Rustamadji, MSi Rektor Universitas Muhammadiyah (Unimuda) Sorong Papua, akademisi Muhammadiyah yang mengantarkan masyarakat Suku Kokoda meraih nasib lebih cerah. “Kalau kita tidak peduli terhadap mereka, tentu kondisi mereka akan lebih parah. Jadi, kita harus berbuat sesuatu untuk Suku Kokoda,” ungkapnya, seperti diberitakan media online “Suaramuhammadiyah”, 22 April 2019 silam.

Suku Nomaden

Awalnya, Kokoda suku nomaden. Berburu binatang dan mencari hasil hutan menjadi aktivitas sehari-hari demi bertahan hidup. Ada gula ada semut, demikian kata pepatah. Di tempat-tempat yang menjanjikan, kaki-kaki mereka melangkah. Tidak ada kata-kata pulang ke rumah.

Bagi mereka, berlindung di bawah dedauanan dari terik matahari, tetesan hujan, terpaan angin ataupun dinginnya malam di sembarang tempat, sudah lumrah. Pergerakan suku Kokoda dari satu titik ke titik lainnya acap kali memicu masalah. Konflik pecah tatkala mereka menempati tanah yang ternyata milik kelompok masyarakat (suku) lain. 

Pernah ada cerita, warga nomaden Kokoda bentrok dengan masyarakat transmigran, seperti yang diberitakan PWMU.CO Jumat, 30 Agustus 2019. Pemicunya, suku asli Papua itu menempati tanah yang telah diolah menjadi ladang oleh rombongan pendatang. Sengketa berakhir setelah Suku Kokoda menyingkir.   

Pascaontran-ontran dengan warga transmigran, orang-orang Kokoda bergerak ke Lapangan Udara Domine Eduard Osok. Di sekitaran bandara, rombongan nomaden ini kemudian bermukim. Awalnya, kehadiran mereka tidak memicu protes. Ternyata, tanpa penolakan   bukan berarti bebas urusan.

Lagi-lagi komunitas nomaden ini harus angkat kaki setelah sempat menetap beberapa waktu. Sebab, proyek perluasan lapangan terbang membutuhkan pembebasan lahan di kiri kanannya, termasuk areal yang ditempati Suku Kokoda.

Rumah Permanen Suku Kokoda di Kampung Warmon. (Foto: Republika.co.id)

Untunglah, kali ini warga Kokoda yang tergusur proyek perluasan Bandara Domine Eduard Osok itu mendapatkan tanah ganti. Tahun 1996, mereka direlokasi ke kampung Warmon, Kecamatan Mayamuk, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Tanah rawa jenisnya, dua hektare luasnya, sangat minim fasilitasnya. Jalinan reranting dan dedaunan menjadi rumah-rumah mereka.

Kondisi hidup Suku Kokoda tersebut menyetrum rasa kemanusiaan Rustamadji. Kisah pilu suku terbelakang itu menjadi semacam energi yang mendorongnya untuk bertindak. Bukan lantaran kurang kerjaan tatkala Rustamadji memutuskan bergelut di kampung Warmon demi membangun Suku Kokoda agar bisa hidup beradab. 

Sebagai rektor di STKIP Muhammadiyah (sebelum menjadi Unimuda), sudah tentu, waktu, tenaga dan pikirannya tercurah habis untuk memegang kemudi kampus yang resmi berdiri Agustus 2004 itu. Namun, iba hati melihat nasib sesama anak bangsa yang tak untung, tak bisa begitu saja ia abaikan. Ia ingin melihat Suku Kokoda hidup mandiri di tanah sendiri.   

Gong kepedulian Rustamadji berdinamika di seputar kehidupan Suku Kokoda mulai ditabuh tahun 2007. Sejumlah rencana ia susun. Aneka strategi ia cari. Beberapa kolega potensial yang diyakini bisa mendukung kerja besar ini ia hubungi. Skenario optimis ia lesatkan ke atas langit Papua, tinggi-tinggi.

Kunjungan PP Aisyiyah ke kampung Warmon. PWMU 30 Agustus 2019. (Foto: muhammadiyah.or.id)

Mandiri Pangan

Mandiri pangan menjadi prioritas Rustamadji untuk mulai menata hidup Suku Kokoda. Ia membentuk tim yang personilnya berasal, antara lain, dari civitas akademika STKIP Muhammadiyah Sorong. Agenda terawal, belajar berkebun dan beternak. Kala itu jumlah penduduk Suku Kokoda 350 jiwa.

”Banyak orang yang pesimis waktu itu. Menurut mereka, susah mengajari warga nomaden berkebun. Belum lagi sikapnya yang suka bikin masalah. Tapi kalau tidak kita mulai sekarang kapan suku ini bakal maju,” tutur Rustamadji seperti dikutip PWMU.CO. Seiring waktu berjalan, Rustamadji menggandeng Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk membina suku ini.

Lewat ketelatenan dan kesabaran, impian Rustamadji terwujud. Di tahap permulaan, suku nomaden tersebut belajar berkebun dengan cara-cara biasa. Lambat laun, hal ihwal budi daya tanaman warga Kokoda kian mapan. Akhirnya mereka mampu menguasai teknik pembibitan, perawatan sampai pemanenan. Kemandirian Suku Kokoda di bidang pangan didukung pengadaan pupuk sendiri. Limbah dapur dan sampah dedauan dimanfaatkan untuk membuat kompos. 

Ujian kesabaran dan ketelatenan lainnya, dirasakan Rustamadji bersama tim suksesnya ketika tiba pembelajaran beternak sapi. Bachtiar Dwi Kurniawan, Sekretaris MPM PP Muhammadiyah, menceritakan pengalamannya. ”MPM pernah memberi sapi lima ekor untuk dikembangbiakan. Ternyata semua sapi jadi kurus. Dua ekor mati. Sebab sapi hanya dikandangkan tak diberi makan,” tuturnya.

Lama-lama, mandiri protein tak berhenti pada dunia peternakan. MUHAMMADIYAH.ID pada Senin 30 Desember 2018 memberitakan rencana MPM PP Muhammadiyah menggandeng pemerintah setempat membangun area budidaya ikan air tawar. Pengelolanya masyarakat Suku Kokoda. Selanjutnya, akan dibangun pula pasar ikan. Suplai ikan yang kelak diperjualbelikan juga berasal dari laut. Kapal motor kapasitas besar akan didatangkan untuk nelayan Suku Kokoda yang sebelumnya melaut dengan perahu kecil-kecil.

Anak-anak kampung Warmon Kokoda. PWMU.CO 30 Agustus 2019. (Foto: dok kkn UMY)

Ibadah, Sekolah dan Rumah

Pembangunan tempat ibadah menjadi prioritas selanjutnya. Tepat setelah setahun berdinamika di Kampung Kokoda Warmon, bersama timnya, Rustamadji membangun masjid. Tempat ibadah ini penting untuk pusat dakwah, pembinaan agama, mengaji, dan menjalankan rupa-rupa kegiatan sosial. ”Pemahaman agama warga masih minim. Dosen dan mahasiswa STKIP Sorong yang beragama Islam dilatih membina mereka. Masjid ini menjadi tempat belajar bagi anak-anak Kokoda,” cerita Rustamadji.

Kabar terbaru, di kampung Suku Kokoda Warmon telah berdiri lima masjid ditambah dua mushola. Anak-anak mengaji di masjid atau mushola setiap sore hari. Jika dahulu Rustamadji menugaskan dosen dan mahasiswanya menjadi guru mengaji, saat ini guru mendaras bermunculan dari kalangan suku sendiri. Sholat berjamaah lima waktu sehari pun diimami warga setempat.

Urusan tempat ibadah selesai. Agenda Rustamadji berikutnya adalah pengadaan fasilitas pendidikan. Tahap pertama adalah pembangunan gedung Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Pada fase ini, datang masalah. Besi-besi untuk pondasi bangunan dijarah. Konon, uang hasil penjualan barang curian itu dipakai untuk membeli rokok. “Orang masih belum paham betapa pentingnya sekolah, sehingga tega mengambil besi,” tutur Rustamadji. Tahap pembangunan sekolah pun macet beberapa waktu. Proyek itu kembali digulirkan pascapenggalangan dana aktif kembali.

Akhirnya, pembangunan gedung sekolah selesai. Namun, sukses itu tak otomatis menghentikan  masalah. Sejumlah persoalan baru menghadang. Rupanya, pendidikan formal bukanlah sesuatu yang penting bagi warga Kokoda. Tak mudah mengajak anak-anak suku terbelakang ini masuk sekolah. Ada dua sebab yang melatarinya. Pertama, anak-anak suku ini memang belum mengenal sekolah, dan kedua, para orang tua mengharuskan anak-anak mereka membantu mencari makanan.

Rustamadji melancarkan strategi jemput bola. Tanggung jawab penjemputan ini berada di pundak anggota tim suksesnya, mahasiswa STKIP Muhammadiyah. “Mereka harus sabar membujuk agar anak-anak mau datang ke sekolah,” tambahnya. Usaha tak memungkiri hasil. Jemput bola langkah jitu. Dunia sekolah menjadi akrab dan dekat di hati warga Kokoda. 

Kegiatan belajar mengajar mendapat dukungan penuh. Bahkan awal 2019 silam, Haedar Nashir berkunjung ke Kokoda. Salah satu agendanya melakukan peletakan batu pertama untuk perluasan Sekolah Dasar (SD). Tak hanya sekolah, Rustamadji menggenapkan pembangunan dunia pendidikan lewat literasi. Rumah baca hadir di tengah kampung Kokoda.

Mulai tahun 2016, Rustamadji menggandeng mahasiswa KKN asal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka menjadi guru mengaji dan membaca. Rumah baca “Nabaca Bukuga” menjadi saksi jejak-jejak kehadiran mereka. Selain memekarkan dunia literasi, para muda asal Yogyakarta itu juga mengembangkan sumber daya manusia. Bersama mereka warga muda Kokoda belajar manajemen. 

Syamsuddin Namugur, PWMU.CO 30 Agustus 2019. (Foto: Okezone.com)

Kebutuhan akan dunia pendidikan kian meningkat. Anak-anak Suku Kokoda membutuhkan sekolah lanjutan pertama. Beruntung, Kepala Kampung Adat Kokoda, Ari Syamsudin Namugur, menyiapkan lahan 10 hektare untuk lokasi pembangunan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Muhammadiyah, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ari juga menjabat sebagai anggota MPM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Papua Barat, sekaligus ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kampung Warmon Kokoda. 

Pembangunan rumah permanen menjadi agenda tahun-tahun berikutnya. Republika.co.id memberitakan, puluhan rumah permanen dibangun di perkampungan eks suku nomaden ini. Tanah yang semula berupa rawa-rawa itu telah dibebaskan.

Beberapa waktu lalu, Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir, menyerahkan sertifikat tanah hibah Muhammadiyah kepada warga Kokoda lengkap dengan 55 unit bangunan rumah permanen. Pengadaan rumah permanen tersebut hasil kerjasama Muhammadiyah dengan beberapa elemen lain termasuk instansi pemerintah yakni Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

PWMU.CO mencatat, sejumlah 55 unit rumah permanen tersebut dibangun tahun 2016.  Setahun berikutnya, 2017, menyusul pembangunan 80 unit rumah. Saat ini, sekitar 185 kepala keluarga hidup di Kampung Kokoda. Jumlah total mereka mencapai 1.000 jiwa.         

Kampung Warmon Kokoda di Kabupaten Sorong, Papua Barat. (Foto: Wahyu Suryana.Republika.co.id)

Kiprah Rustamadji di Warmon Kokoda mengubah seluruh tatanan awal Suku Kokoda yang kental dengan karakter masyarakat nomaden. Pelan tapi pasti melalui proses yang cukup panjang, kehidupan beragama, dunia pendidikan dan rumah-rumah permanen tercipta mapan di kampung Kokoda. Pemekaran di segala lini terus melaju. Teknologi mereka akrabi dan kuasai.

Jalan, air bersih, listrik, rupa-rupa infrastruktur dan fasilitas bersama tertata rapi. Kampung ini kian menampakkan diri sebagai pemukiman yang layak huni, terpadu, berkelanjutan, jauh dari pemandangan kumuh dan serba kekurangan.

Tata tertib administrasi sudah dijalankan warga Kokoda. Pemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan rupa-rupa kelengkapan surat sebagai warga negara seperti Kartu Keluarga (KK) sudah dimiliki warga di tempat ini. Organisasi keagamaan, pemerintahan setingkat RT RW pun terbentuk dan berjalan semestinya. Beberapa warga suku Kokoda telah pula diterima bekerja di sektor formal. “Suaramuhammadiyah” memberitakan bahwa masyarakat di sana juga memperkuat kegiatan berbasis teknologi seperti penggunaan komputer dan surat menyurat.

Dalam perjuangannya, Rustamadji menggandeng berbagai elemen baik di peryarikatan Muhammadiyah maupun pemerintah antara lain: Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, Lazismu, Aisyiyah, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Namun, sepak terjang Muhammadiyah di Suku Kokoda, tidak hanya dirasakan masyarakat muslim.

Di seputaran Kampung Warmon, bermukim pula masyarakat non muslim yang turut merasakan berkah kehadiran Muhammadiyah. Rustamadji mempraktikkan spirit Muhammadiyah yakni membumikan Islam berkemajuan. 

Gerakan ini membawa pencerahan di bumi Papua yang membebaskan, memberdayakan dan memajukan semua masyarakat. Semua usaha dijalankan demi memuliakan martabat manusia. Sama sekali bukan dalam rangka mengislamkan atau memuhammadiyahkan semua orang. Dakwah Muhammadiyah di Warmon Papua dilakukan atas dasar prinsip-prinsip kemanusiaan universal.

Rustamadji (kiri) dalam sebuah acara bersama Najwa Shihab. (Foto: Dok UNIMUDA Sorong dimuat “Suaramuhammadiyah” 22 April 2019)

Akademisi Nilai

Rustamadji adalah pemeran utama dibalik peradaban baru Suku Kokoda. Posisinya di pucuk pimpinan Unimuda Sorong Papua, yang sudah tentu padat acara dan sarat beban kerja, tak menghalangi semangatnya untuk berdakwah mengentaskan suku tertinggal itu dari nasib kelam. Komunitas nomaden Kokoda yang acapkali diusir dari pada diterima, dibiarkan terlantar ketimbang dirangkul, di tangan Rustamadji lambat laun berubah menjadi warga masyarakat yang terhormat dan bermartabat.

Rektor Unimuda itu bukan tipe pribadi yang datang dengan segepok proyek bantuan, dan menempatkan masyarakat sebagai binaan demi mendapatkan hasil karbitan. Biasanya praktek seperti itu sulit berumur panjang. Bukan, Rustamadji bukan tipe seperti itu. Partisipatoris adalah metode yang ia jalankan.

Ini berarti, semua keputusan untuk membangun Suku Kokoda adalah hasil dari sebuah dialog yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk seluruh warga Kokoda, siapa pun mereka. Rustamadji tahu betul karakter bawaan masyarakat Kokoda yang sulit diatur. Tetapi bukan berarti situasi ini menumbuhkan niatnya untuk tidak melibatkan warga Kokoda. 

Untuk itu ia mesti kerja keras, ekstra serius. Rektor Unimuda itu telah mencapai sebuah fase di mana Suku Kokoda yang kondang semau gue, bisa dilatih disiplin untuk serempak berbaris bersama-sama memasuki pintu gerbang perubahan: mandiri di tanah sendiri.

Rustamadji, si pembaharu Suku Kokoda, terpilih menjadi Tokoh Perubahan Republika 2018. Republika.co.id mengutip pidato Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir di ajang pemberian penghargaan itu pada April 2019. “Pendekatannya pada masyarakat Kokoda empati, dia berusaha memahami kultur dan pola pikir masyarakat Kokoda sehingga dapat diterima mereka,” kata Haedar. Rustamadji menjadikan Unimuda Sorong yang dipimpinnya sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, bukan menjadi menara gading.

Betul yang diungkapkan sesepuh Muhammadiyah Haedar Nasir, bahwa Rustamadji bukan pemimpin kampus yang nyaman duduk seharian di singgasana menara gading. Ia bukan akademisi pasar yang hanya sibuk membesarkan kampus demi mendapatkan kenaikan angka-angka fantastik: jumlah mahasiswa, proyek penelitian dan rupa-rupa seminar, ekspansi gedung serta lahan dll.

Tak memungkiri bahwa semua ukuran perkembangan sebuah komunitas kampus ia perbesar baik kualitas maupun kuantitas. Ia membidani lahirnya Universitas Muhammadiyah (Unimuda), perkembangan dari STKIP Muhammadiyah Sorong. Ia juga membangun TK dan SD Labschool di titik-titik lain Kabupaten Sorong. Tetapi Rustamadji tidak lupa untuk berperan merawat nilai kemanusiaan. Ia memberdayakan masyarakat Suku Kokoda di Kampung Warmon, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong, Papua Barat yang merupakan daerah 3T (terdepan, tertinggal, dan terpencil).

Bupati Kabupaten Sorong, Johny Kamuru. (Foto: Pryantono. Oemar/Republika)

Bupati Sorong Johny Kamuru, seperti yang dilansir Republika.co.id menyatakan bahwa  Rustamadji adalah teladan bagi generasi muda. “Melihat sosok beliau ini, jadi tantangan bagi anak-anak muda untuk bisa seperti beliau,” kata Johny. Sosok yang sudah tidak muda lagi itu tak pernah kehabisan energi untuk berinovasi memunculkan gagasan-gagasan baru. Gagasan-gasagan itu tidak berhenti di forum debat, seminar atau sekedar disimpan di dalam tembok kampusnya. Tetapi ia menjelma menjadi kerja nyata untuk mengentaskan sesama kaumnya yang terbelakang, Suku Kokoda.

Rustamadji adalah akademisi nilai. Akademisi nilai mengaplikasikan apa yang ada di lingkup perguruan tinggi untuk kemaslahatan orang banyak di luar tembok kampus. Ia menjunjung harkat dan martabat Suku Kokoda menjadi manusia seutuhnya. Sepak terjang Rustamadji berada jauh di kesunyian kepala burung Papua, tetapi aroma wanginya semerbak ke seluruh persada Nusantara. (Ernaningtyas

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *