Connect with us

Feature

Huta Ginjang di Antara Dua Geosite

Published

on

Jayakarta News – Satu lagi, reportase seputar Huta Ginjang. Sebuah dataran tinggi yang diapit dua geosite, dan merupaan satu di antara 16 geosite yang ada di kawasan Danau Toba. Ia terletak di Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput).

Dari bandara Silangit, pintu gerbang masuk kawasan Danau Toba, jarak tempunya hanya sekitar 20 menit. Sarana transportasi selain taksi online, ada juga bus Damri yang melintas kawasan ini. Bagi Anda pelintas darat, bisa mencapai lokasi ini via Parapat dan Berastagi menuju Dolok Sanggul, yang sama-sama menuju jalur masuk dari simpang Bandara Silangit.

Saat berkunjung ke Geosite Huta Ginjang, jangan lewatkan geosite Sipinsur, yang jaraknya sekitar 45 menit. Jika Huta Ginjang masuk wilayah administasi Kabupaten Tapanuli Utara, maka Sipinsur terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan. 

Jangan risaukan mengenai kondisi jalan. Semua jalur beraspal mulus. Nikmati setiap tikungan jalan sambil menyaksikan panorama Toba. Di sisi jalan yang lain, mata Anda akan dimanjakan oleh aneka pepohonan yang hijau.

Sesampai Anda di Huta Ginjang (atau Sipinsur), seketika ada aliran kesejukan yang menenangkan batin. Bisa jadi karena hawanya yang sejuk, bisa juga lantaran pemandangan yang elok.

Beberapa hari lalu, geosite Huta Ginjang kedatangan para wartawan peserta Kemah Pers Indonesia (KPI) Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Sumatera Barat, Jabodetabek, Medan, Padang Sidempuan, dan Siantar. Kedatangan mereka menjadi momentum bagi Bernard Siregar, Manager Geosite Huta Ginjang untuk berpromosi. “Kapan lagi bisa promosi langsung di hadapan puluhan wartawan sekaligus,” begitu mungkin suara batinnya.

Foto bareng sebagian peserta Kemah Pers Indonesia dengan Manajer Geosite Huta Ginjang, dan aparat kepolisian. (Foto: Monang Sitohang)

Lantanglah Bernard buka suara. “Geosite Huta Ginjang ini memiliki keunikan, salah satunya lapisan tanah yang tipis kemudian banyak pasir kuarsa. Tanah di sini berasal dari ledakan Gunung Toba. Makanya warnanya khas, kemerahan, kekuningan, bercampur pasir kuarsa,” ujar Bernard sambil menuding ka hamparan tanah berpasir silika di Huta Ginjang. Ia pun melanjutkan, tidak semua tanaman dari luar bisa tumbuh di tanah Huta Ginjang.

Kelebihan lain yang “dijual” Bernard adalah view atau pemandangan. Dari ketinggian Huta Ginjang, bisa meihat Pulau Samosir dan satu pulau kecil Pulau Sibandang, dua pulau berpenghuni yang ada di tengah Toba. “Jika cuaca berawan, kita seperti berada di atas awan,” tambah Bernard di depan peserta KPI.

Bernard benar. Bahkan jika kita mentap ke atas, gumpal-gumpal awan tipis serada di atas kepala. Tidak keliru jika ada istilah, di Huta Gijang, kita bisa memetik awan.

Bulan Januari hingga Maret, adalah bulan yang baik untuk menikmati sunrise maupun sunset dari lokasi ini. Angin bertiup kencang di bulan-bulan Agustus dan September. Sementara bulan-bulan selebihnya, adalah bulan “memetik awan” di Huta Ginjang.

Bernard Siregar berharap kecantikan pemandangan di bukit Huta Ginjang dapat diketahui banyak orang, tidak saja pelancong domestik tetapi juga manca negara. Untuk aksesibilitas, tidak ada masalah. Selain memang mudah dijangkau, jalanan pun mulus.

Sayangnya, amenitas dan atraksi masih minim di sini. Tidak ada sarana toilet yang representatif. Mushola bagi turis muslim, juga belum tersedia. Yang ada baru beberapa bangunan kios yang menjual aneka minuman, makanan dengan menu terbatas, serta cenderamata ala kadarnya. Satu stage dengan ketinggian yang nanggung, tampak berdiri di ujung hamparan. Di sebelahnya, terdapat satu gedung yang menurut Bernard sedia dijadikan pusat informasi geopark kaldera Toba.

Huta Ginjang salah satu dari 16 geosite yang ada di sekitar Danau Toba. (foto: monang sitohang)

Mengomenari Huta Ginjang, salah seorang peserta KPI, Heintje Mendagie yang juga Ketum SPRI mengatakan, “Kenapa ya tidak dibuat atau disediakan tanda di kawasan ini untuk mengambil spot-spot yang menarik, dengan keterangan sehingga wisatawan tidak lagi mencari-cari spot yang bagus untuk selfie,” ujar Heintje yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Pengunjung lain juga menyesalkan tidak adanya atraksi yang bisa disaksikan oleh pengunjung Huta Ginjang. “Pernah ada beberapa kali atraksi, tetapi dari luar. Ke depan, saya pribadi berharap, setiap atraksi di Huta Ginjang, melibatkan masyarakat di sekitar sini,” kata Bernard lagi.

Bernard pun sepakat, kalau saja amintas dan atraksi di Huta Ginjang memadai, dipastikan para wisatawan akan bisa betah berlama-lama.

Kemudian di kesempatan yang beda, Gagarin Sembiring, Wakil General Manager Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BP GKT) mengatakan, bahwa Huta Ginjang adalah plateau yang terjadi akibat letusan supervolcano Toba 74.000 tahun silam. Ini bisa dilihat ke arah bawah atau dinding kaldera dengan ketebalan kurang lebih 300 m.

“Beda dengan Pulau Sibandang yang memang berasal dari perut bumi atau magma yang membeku jadi lava, sedangkan Huta Ginjang itu merupakan endapan debu letusan gunung api yang super dahsyat, dan debu yang dilontarkan ke udara kemudian turun kembali ke bumi. Semburan debu vulkanik saat itu bahkan sempat menyebabkan matahari tidak tembus ke bumi lebih kurang 6 tahun lamanya,” kata Gagarin melalui pesan WhatsApp. (Monang Sitohang)

BERITA TERKAIT:

Huta Ginjang, Negeri di Atas Kabut